Wednesday, December 12, 2007

Chocolate Soup For The Soul - #23 In The Name of Gender

In The Name of Gender

Atas nama kodrat, kami berbicara. Inilah kami, pria dan wanita.

Pria dan wanita seperti busur dan panah, yang saling melengkapi. Kodrat? Apa itu kodrat?

“Huh, Kok Dhani begitu amat sih, melecehkan perempuan banget”, celoteh seorang ibu muda penikmat infotainment seraya melihat berita pertikaian antara Dhani dan Maia Ahmad.

Weits, sebenernya si Maia nya aja yang lupa kodrat, dia lupa apa yang menjadi kodratnya sebagai seorang cewek!”, bela seorang lelaki yang sering menyanjung band Dewa.

Lupa kodrat berarti lupa dengan tanggung jawab dan tugasnya, begitu maksudnya? Iya, kira-kira seperti itu, dan biasanya kodrat itu sering ditujukan bagi kaum wanita. Padahal lelaki juga punya kodrat. Semua kaum punya kodrat. Apa kodrat seorang lelaki dan apa kodrat seorang perempuan? Blur! Sejak Ibu Raden Ajeng Kartini bangkit dari kegelapan, kaum perempuan menjulang bebas kemana saja, mengepakkan sayap, dan mengukir rentetan prestasi. Bersama-sama kaum adam, kaum perempuan berjalan bersama meraih yang tertinggi yang mereka bisa.

Kini? Ada yang bilang kaum perempuan dan kaum lelaki posisinya sudah sejajar, udah nggak lagi bisa memandang sebelah mata kaum perempuan. Ini bukan tulisan seorang feminis. Karena saya bukan seorang feminis, hanya seorang perempuan biasa yang mencurahkan apa yang pernah dan yang sedang saya lihat di sekitar saya.

Kemarin malam seorang perempuan setengah baya berkeluh kesah kenapa suaminya melupakan kodratnya sebagai seorang kepala rumah tangga. Berbagai cara sudah dilakukan supaya suaminya mau bekerja, tapi….suaminya lebih memilih di rumah saja dan memohon supaya istrinya saja yang bekerja dan mencari nafkah. This is true, this is not fictive.

“Pak, udah coba cari kerja lagi belum?”, tanya si istri kepada suami.

“Ma, biar saya aja yang ngurus rumah aja yah, saya nggak mau kerja lagi”, jawab si suami.

“Kenapa bukan kamu aja yang kerja, biar saya yang urus rumah dan anak kita”, balas si istri.

“Fisik saya nggak memungkinkan, saya gampang capek, dan nggak bisa lagi keluar-luar rumah kena matahari”, jawab si suami yang berusia 45 tahun, sedangkan istrinya 40 tahun, dan anak mereka berusia 10 tahun. Si suami pernah menderita sakit kelebihan hormone tiroid.

Selang kemudian, sang istri segera mengangkat gagang telpon dan menelpon sahabatnya.

“Gue nggak tahan! Gue capek tiap hari begini, harus kerja sekaligus urus rumah tangga, gue bener-bener nggak bisa sabar lagi sama dia, Dit”, ungkap si istri kepada sahabatnya (Dita).

“Ya, elu suruh dia kerja lah!”, tukas Dita.

”Udah...tapi jawabannya selalu sama, dia mau di rumah aja, mau ngerjain kerjaan rumah tangga”, kilah terakhir si istri.

Emansipasi wanita membuyarkan aturan-aturan main yang ada. Atau justru hidup memang dinamis dan kodrat pun akan terus berubah seiring dengan perjalanan waktu. Seorang perempuan bertugas menjadi istri, ibu, guru, dan ”pengurus” rumah tangga yang baik. Itu dulu. Kini, ditambah lagi satu tugas sebagai seorang pencari nafkah yang baik, secara, biaya hidup semakin hari semakin mahal. Seorang pria bertugas menjadi suami, ayah, dan pencari nafkah yang rajin dan produktif. Kini, penambahan juga ada, seorang pria selayaknya mampu juga mengurus rumah tangga dengan baik dan tidak gengsi lagi untuk mengerjakan pekerjaan perempuan, mulai dari : mengepel, menggosok, memasak, dan juga mencuci piring.

Tapi, apa yang harus dilakukan oleh seorang istri jika si suami mau melepaskan kodrat sebagai pencari nafkah dan lebih memilih menjadi seorang bapak rumah tangga?

”Biasa aja ah, di luar negri, Amerika Australia, itu hal biasa saja!”, seru seorang ibu 48 tahun.

”Duh, nggak banget deh, masa sih, seorang lelaki pegang gosokan sambil nonton TV di siang hari bolong? Itu nggak wajar, swear!”, ungkap seorang ibu 35 tahun, lulusan S2 Australia.

”Tergantung sih apa sumber masalahnya, kalau memang si suami lagi ada penyakit kronis, mau diapain dong, daripada nanti malah nguras tabungan untuk ke dokter”

”Ok, kalau ada alasannya, tapi kalau si lelaki masih sehat bugar, tapi hanya karena penyakit malas untuk berjuang dan lebih milih tidur-tiduran santai saja di rumah, come on, dunia sepertinya udah bener-bener terbalik yah!”

Pernah beberapa kali teman saya, Berna, seorang reporter surat kabar, melewati kawasan-kawasan gang senggol, sekitar jam 11-12 siang bolong, dan disana berjejerlah pria-pria usia produktif yang duduk bengong di teras rumahnya, bersantai ria. Berna tanya salah satu dari bapak-bapak itu :

”Pak, sehari-harinya profesinya apa?”

”Oh, aduh neng, susah zaman sekarang, cari kerja susah deh”, jawab si bapak.

”Iya yah Pak, susah, tapi kalau boleh tau, untuk biaya rumah tangga sehari-hari repot juga yah Pak”

”Untungnya istri saya kerja jadi tukang cuci, lumayan deh”, tukas si bapak.

Datanglah segerombol anak kecil, ada 4-5 anak.

”Bapak, minta duit, mau jajan!”, paksa si anak.

”Duh, Bapak nggak ada duit, ntar aja deh tunggu emak pulang”, jawab si bapak.

”Oh, ini anak bapak yah?”, tanya Berna.

”Iya nih, anak saya ada 4, masih kecil-kecil, yang paling gede masih umur 10 taon”, jawab si bapak.

Berna pun beralih ke anak-anaknya.

”Ade...kalau udah gede mau jadi apa?”, tanya Berna.

”Hmm..aku mau jadi dokter gigi”, jawab anak kesatu.

”Kalau ade?”, tanya Berna ke anak kedua.

”Aku mau jadi guru”, jawabnya.

”Aku mau jadi pelaut!”, lanjut anak ketiga.

Dan tersisa seorang anak yang segera saja Berna tanya.

”Kalau kamu?”

”Aku mau jadi pengemis...”, jawabnya dengan wajah sumringah ceria.

”Oh, kenapa kok mau jadi pengemis?”, asli saya pun baru kali pertama mendengar seorang anak bercita-cita menjadi pengemis.

”Soalnya enak, tinggal minta, terus dapet duit deh...”

”Kamu tau darimana, Dek?”, penasarannya teman saya itu.

”Dari emak...”

”Oh emak?”

“Iya, emak aku cerita, tiap hari emak tinggal minta aja, terus dapet duit deh”

“Emak emangnya jadi apa?”

“Emak kan pengemis”, jawab si anak.

“Ah, nggak lagi, Neng, namanya juga anak-anak, dia nggak ngerti, jelas-jelas ibunya tuh tukang cuci baju! Udah sana kamu main”, si Bapak pun menyuruh si anak segera pergi.

Ini salah satu kisah nyata di gemerlapnya kota Jakarta dan kota-kota lainnya. Semakin banyak anak-anak yang kini berandai, suatu hari jadi orang kaya, berandai bisa segera dapet orang banyak, kalau bisa sih cepet, dan caranya ternyata gampang : jadi pengemis aja! Siapa gerangan yang mengajarkan ini kepada anak-anak yang mustinya bermimpi yang lebih tinggi lagi? Ibunya tuh! Kan, tugas Ibu adalah mendidik anaknya supaya jadi bener. Kalau anak ampe mikir gitu, itu sih karena didikannya nggak bener!

Well, kembali ke topik kodrat pria dan perempuan. Perempuan memiliki tugas besar, ketika sudah memutuskan untuk melahirkan seorang nyawa baru, yaitu mendidiknya menjadi orang yang benar dan bermanfaat bagi kehidupan. Kalau si pria? Ya, tugas pria adalah menemani si perempuan untuk mendidik anak, dan to the pointnya sih, mencari nafkah yang cukup dan memuaskan, supaya si perempuan nggak usah lagi pusing pikiran dan capek tenaga untuk banting tulang membiayai tagihan-tagihan listrik, air, ataupun telpon lainnya. Eh, tunggu dulu, zaman sekarang, seorang ayah pun berperan besar dalam perkembangan psikologis si anak! Kedekatan seorang anak dengan ayahnya akan turut mempengaruhi kualitas si anak. Tapi, tetep dong, sumber nafkah utama adalah dari si bapak? Iya. I`m pretty pretty sure, akan banyak sekali menentang pandangan bahwa kodrat lelaki adalah pencari nafkah premier dalam keluarga. Tapi saya juga yakin banget akan banyak sekali juga teman-teman yang mengiyakan pandangan ini. Bahwa kodrat perempuan, tetaplah sebagai seorang perempuan yang menjaga keutuhan sebuah keluarga dan mendidik si anak hingga dewasa nanti, dan kodrat lelaki terutama adalah menafkahi keluarga dan menjadi figur positif bagi si anak dan masyarakat. Namun, bukan berarti segalanya harus hitam putih, tanpa fleksibilitas, kalau ternyata gaji suami memang tidak memadai dan tidak mencukupi keseluruhan biaya rumah tangga, hal yang lumrah sekali jika si istri bekerja dan kadang gajinya jauh berlipat lebih besar dari suami, asalkan, masih tetap berada di koridor kodrat yang wajar, suami sebagai kepala keluarga yang mampu bersikap jantan ala lelaki, dan istri sebagai pelengkap yang mampu bersikap lembut keibuan namun ada bonusnya : dalam kondisi tertentu pun harus mampu tegar dan tahan banting sekuat seorang lelaki sejati. Atas nama kodrat dan gender, ungkapkan saja semua kegelisahan itu, biar genap, biar tak lagi mengganjal. Dengan sentuhan cinta kasih yang lembut seorang wanita dan benteng ketegaran seorang lelaki, lelaki dan wanita bisa sama-sama saling melengkapi dan memperindah dunia ini. Amin.

- with a good heart, everyday is a good day – maeya 20071212 #23

No comments: