Monday, February 22, 2010

Minder Kronis

Mencari Teman Senasib – Kenapa justru menyenangkan?
Ini memang gila, tapi beneran kejadian, kenapa ya justru kita merasa sedikit “senang” melihat orang lain lebih menderita dari kita. Contoh saja nih, kita pernah alamin patah hati dan akhirnya jadi jomblo. Lalu suatu saat kita dengar kabar kalau saingan kita yang sepertinya hidupnya sempurna – batal menikah dengan calon suaminya – akhirnya dia jomblo juga (senasib dengan kita). Seharusnya, ketika mendengar kisah sedihnya itu, kita merasa prihatin (yang jujur tentunya), tapi yang terjadi kita selenting merasa “syukurlah, saya tidak sendiri”. Oow, perasaan apa ya ini, apakah ini sisi sadis yang terselubung dalam diri kita yang disadari atau tidak disadari bisa berpengaruh terhadap kesehatan jiwa kita.

Ada lagi, ketika melihat anak jalanan yang meminta-minta, bajunya bolong-bolong, mukanya cemong kena debu, mungkin udah lama nggak mandi, kita memang sih merasa kasihan, lalu kita bersyukur “duh, untung gue nggak seperti dia, untung gue ada rumah” Apakah ini namanya bersyukur? Seolah-olah seperti bahagia di atas penderitaan orang lain, gitu yah, inilah yang sering terjadi, tanpa sadar rancu deh antara bersyukur dengan kasihan yang dangkal, owalah, harusnya sih nggak begini dong…
Ada lagi, ketika orang lain lebih hebat, kita mencari-cari kekurangannya, dan sedikit lebih tenang karena dia punya kekurangan, dan itu berarti kita “lebih” hebat dari dia. Mungkinkah ini gejala minder kronis? Ketika merasa senang dengan penderitaan orang lain dan ketika merasa tenang ketika orang lain punya kesalahan atau kekurangan dalam dirinya. Helloooww….

Minder Kronis

Mencari Teman Senasib – Kenapa justru menyenangkan?
Ini memang gila, tapi beneran kejadian, kenapa ya justru kita merasa sedikit “senang” melihat orang lain lebih menderita dari kita. Contoh saja nih, kita pernah alamin patah hati dan akhirnya jadi jomblo. Lalu suatu saat kita dengar kabar kalau saingan kita yang sepertinya hidupnya sempurna – batal menikah dengan calon suaminya – akhirnya dia jomblo juga (senasib dengan kita). Seharusnya, ketika mendengar kisah sedihnya itu, kita merasa prihatin (yang jujur tentunya), tapi yang terjadi kita selenting merasa “syukurlah, saya tidak sendiri”. Oow, perasaan apa ya ini, apakah ini sisi sadis yang terselubung dalam diri kita yang disadari atau tidak disadari bisa berpengaruh terhadap kesehatan jiwa kita.

Ada lagi, ketika melihat anak jalanan yang meminta-minta, bajunya bolong-bolong, mukanya cemong kena debu, mungkin udah lama nggak mandi, kita memang sih merasa kasihan, lalu kita bersyukur “duh, untung gue nggak seperti dia, untung gue ada rumah” Apakah ini namanya bersyukur? Seolah-olah seperti bahagia di atas penderitaan orang lain, gitu yah, inilah yang sering terjadi, tanpa sadar rancu deh antara bersyukur dengan kasihan yang dangkal, owalah, harusnya sih nggak begini dong…
Ada lagi, ketika orang lain lebih hebat, kita mencari-cari kekurangannya, dan sedikit lebih tenang karena dia punya kekurangan, dan itu berarti kita “lebih” hebat dari dia. Mungkinkah ini gejala minder kronis? Ketika merasa senang dengan penderitaan orang lain dan ketika merasa tenang ketika orang lain punya kesalahan atau kekurangan dalam dirinya. Helloooww….