Wednesday, June 25, 2008

Sahabatku, Sepatuku, Obsesiku

“…Lebih menghargai hidup dan mensyukuri apa yang sudah saya miliki…”
Hampir 10 tahun sejak masa sekolah, hoby shopping saya geluti. Apa saja yang indah, pasti saya beli. Apa saja yang enak, pasti saya makan. 2 tahun ini, banyak yang berubah. Saya belajar hal-hal berharga yang nggak akan saya dapat kalau saya tidak melewati fase-fase perjalanan hidup saya : sulit dan non sulit.
1. Kisah sepatu. Tahun 2006 saya beli 1 sepatu hitam merk Bucherri dengan harga 225 ribu, harga yang cukup tinggi, biasanya saya beli sepatu seharga 50 ribu, tapi rutin sekali atau 2 kali seminggu, dan hanya hitungan 2-3 bulan biasanya sudah buduk. So, saya putuskan untuk beli sepatu bermerk cukup terkenal, karena waktu itu saya pakai untuk mengajar. Ups, di usia 17 tahun, pernah saya alami insiden, di pesta sweetseventeen, sepatu saya patah dan saya harus nyeker untuk pulangnya. Kapok sembarangan milih sepatu, ditambah lagi tante saya 6 tahun lalu terpeleset di pasar, karena sendalnya licin, padahal sendalnya saya yakin betul harganya di atas 400 ribu. Bayangkan, sandal merk mahal saja bisa bikin tante saya terpeleset dan harus berbaring di ranjang selama 5 bulan, kakinya harus dipasang pen, wuuff, pastinya sakit banget, dan kalau ke WC harus digendong oleh suami/ anak-anaknya. Ok, balik lagi, jadi sepatu yang saya beli di tahun 2006, sampai sekarang masih saya pakai, dan saya makin cinta dan makin bersyukur, sepatu ini sudah 2 kali saya sol ulang, dan makin nyaman dipakai, sepatu ini juga sudah menemani saya melewati pengalaman-pengalaman menarik selama bekerja. Hanya sepatu kulit biasa, tapi ada kesan mendalam yang saya rasakan tiap kali lagi berjalan dan menunduk melihat ke arah sepatu. Dalam hati bergumam, bisa saja saya beli sepatu lain, tapi saya merasa sepatu ini beda, sungguh beda, dan satu pelajaran berharga yang saya dapat adalah : benar juga apa kata orang, beli barang jangan karena murahnya, tapi karena kualitasnya, ya, walau sepatu ini sedikit mahal, tapi bisa tahan 2 tahun, ya mudah-mudahan sampai 5 tahun, gitu? Bukan hanya sepatu saja, tas pun pernah saya alami. Jangan sembarang pilih tas, apalagi tas yang dijual di emperan, semua tergantung si pemakainya sih, ada pemakai yang memang apik, tapi bagi yang kurang apik, sebaiknya pilih tas dengan kualitas yang teruji, ya nggak harus tas LV sekitar 5-6 jutaan, tas standar yang ada merk di middle level, it`s ok lah. Kenapa? Karena tas yang memang teruji kualitasnya, tidak mudah putus talinya, lalu kulitnya tidak mudah buduk, dan yang terpenting, modelnya pun nggak malu-maluin. Soal sepatu dan tas dan satu lagi adalah baju. Wuf, dulu saya setiap minggu pasti ke ITC untuk hunting t-shirt/ blus model baru, penuhlah lemari ini, tapi kini sudah setahun, kantor saya di ITC, syukurlah, saya malah nggak minat lagi hunting t-shirt/ blus-blusan loh, sebagai gantinya hunting DVD bajakan. Ada alasannya kenapa, beberapa kali bertemu dengan narasumber yang hidup serba kekurangan ekonomi, saya belajar bahwa mereka punya 1-2 pasang baju saja sudah bersyukur minta ampun, bisa punya sandal jepit yang udah butut pun, itu bener-bener bagus daripada nggak ada alas kaki sama sekali. See?
2. Persahabatan. Baru saja saya dapat kiriman email soal Renungan Coca Cola, bagus deh, kutipannya begini nih : “Lingkungan Anda mencerminkan harga Anda. Lingkungan berbicara tentang RELATIONSHIP. Apabila Anda berada dilingkungan yang bisa mengeluarkan terbaik dari diri Anda, maka Anda akan menjadi cemerlang. Tapi bila Anda berada dilingkungan yang mengkerdilkan diri Anda, maka Anda akan menjadi kerdil” . Kutipan yang indah banget dan ”ngena” banget. Sejak kecil hingga kini, saya ketemu dengan berbagai tipe manusia dan karakter, dan tak jarang ada yang bisa bikin ketawa sampe keluar air mata, tapi tak jarang juga banyak yang bisa bikin nangis dan gondok karena makan hati. Ada orang yang positif dan bisa membangkitkan semangat hidup dan membuat saya merasa berharga, tapi ada juga orang yang negatif dan setiap kali ketemu bawaannya mau kritik dan mencari kejelekan saya saja. Dua hal yang lumrah dan pasti akan selalu terjadi. Yin Yang akan selalu berlaku di dalam hidup ini. Dan siapapun yang pernah saya temui adalah harta dan guru terbaik buat saya – dan tentunya kita semua lah yah – kalau ketemu teman yang menyenangkan dan positif, saya bersyukur karena ternyata saya diterima dan cocok dengan mereka. Kalau ketemu orang yang ogah berteman dengan saya, reaksi normal biasanya adalah menghindar dan mencibir mereka ”huh, siapa loe...” dan terbawa juga untuk mencari kejelekannya, untuk melindungi harga diri saya. Tapi, kenapa harus begitu? Kenapa kok saya harus terbawa menjelekkan dia juga? Wups. Manusiawi? Auk ah, jawab aja sendiri. By the way, busway, Cuma mau sharing, dengan siapa kita bergaul akan turut mempengaruhi hidup kita juga nantinya. Bukannya pilih-pilih dan tidak membuka diri kepada siapa saja yang kita temui, tapi hidup terlalu berharga jika kita menghabiskan energi untuk mereka yang lebih sering membuat kita merasa “kerdil”, mereka yang tidak membuat kita lebih berkembang jadi lebih baik. Tapi hati-hati juga, jangan sampe, justru kita yang menjadi orang yang cenderung memojokkan orang lain dan merendahkan harga diri orang lain. Untuk sadar soal ini, butuh latihan rutin berulang-ulang.
3. Obsesi itu perlu. Karna sering mendengar kata “ayolah bersyukur, ayolah belajar untuk berpuas diri, jangan serakah, jangan maruk, bla bla bla…”, sempat ada salah kaprah, oh kalau begitu, nggak perlu lagi punya obsesi atau mimpi muluk-muluk? No. obsesi itu jadi bumbu penyedap untuk jiwa kita supaya lebih semangat lagi mengisi hidup ini. Ada satu buku yang sangat well-recommended, ditulis oleh John Gray (penulis Men From Mars, Women From Venus), judul bukunya “HOW TO GET WHAT YOU WANT AND WANT WHAT YOU HAVE”. Tidak mudah memang untuk mengatur keseimbangan supaya kita bisa selalu bersyukur atas apa yang sudah kita miliki, sambil tetap bergelora untuk mengejar obsesi yang bisa membuat perubahan bagi dunia ini. Obsesi apapun itu, nggak ada yang nggak mungkin. Masih ada obsesi yang tertunda? Saya masih banyak, mulai dari belajar melukis dan pameran di satu galeri lukisan, belajar bahasa Korea, Belanda, kuliah lagi dengan bebas biaya dunk, dan mau buktiin quote yang bilang “YOU CAN BE THE CHANGE YOU WISH TO SEE IN THIS WORLD” . But, ada yang penting juga, yang saya dapat, bahwa : saya tidak akan pernah bisa merubah nasib orang lain, yang bisa saya perbuat adalah merubah nasib saya untuk bisa baik seperti yang saya harapkan, dan menularkan rasa bahagia saya kepada orang di sekeliling saya, hingga nasibnya pun berubah.
Regards, Maeya (maerose11@yahoo.com)

Wednesday, June 11, 2008

Antara Cinta dan Tergila-gila

Antara Cinta dan Tergila-gila (sumber : www.perempuan.com)
Memang sulit membedakan antara cinta sejati dan cinta yang tergila-gila di saat seseorang sedang jatuh cinta. Sehingga terkadang banyak orang terjerumus pada arti cinta yang sebenarnya. Untuk itu pahami makna dari cinta agar tidak tersakiti saat kehilangannya, simak dibawah ini.
Cinta adalah sesuatu yang dimulai dari persahabatan, yang terus berkembang tiap harinya. Di dalamnya, ketertarikan fisik hanyalah salah satu aspek dari perasaan yang dibagi bersama. Sesuatu yang mengajarkan anda menjadi sabar dan merencanakan masa depan dengan percaya diri dan tidak terburu-buru.
Cinta adalah sesuatu yang melibatkan pengertian dan kerelaan menerima dia beserta apapun kekurangannya. Saat kedua orang yang terlibat di dalamnya bisa menjadi diri mereka sendiri dan merasa nyaman satu sama lain. Sesuatu yang melibatkan kejujuran, rasa hormat dan percaya.
Di dalam cinta tak ada rasa curiga sehingga yang ada hanya rasa tenang dan aman. Sesuatu yang selalu memberi anda kekuatan dalam menghadapi apapun. Sesuatu yang diberikan dan diterima. Saat anda tetap merasa dekat dengan pasangan, walau berada jauh sekali.
Cinta juga sesuatu yang tetap bisa seimbang dengan aspek hidup lainnya selain hubungan. Sesuatu di mana keduanya bisa menghadapi baik masa senang maupun sulit di antara mereka. Sesuatu yang membuat anda berpikir dan melihat lebih jauh. Singkatnya, cinta membuat anda menjadi orang yang lebih baik.
Sedangkan cinta yang tergila-gila adalah gairah instan yang akan habis seiring dengan berjalannya waktu. Sesuatu yang sangat melibatkan ketertarikan. Ketika kalian bersama, yang diharapkan terakhir hanyalan intimitas.
Sesuatu yang tidak hanya melibatkan rasa curiga, tapi juga tidak percaya pada pasangan, maupun kepada diri sendiri. Sesuatu yang membuat kita mengambil keputusan terburu-buru. Saat anda selalu memiliki perasaan tak aman bahwa anda akan kehilangan pasangan anda suatu saat.
Tak pernah puas akan pasangan anda dan merasa terganggu dengan berbagai kekurangannya. Sesuatu yang membuat anda merasa gelisah dan stres saat dia tidak sedang bersama anda. Sesuatu yang membuat anda merasa gembira dan bersemangat, tapi bukan bahagia dalam arti yang sesungguhnya. Sesuatu yang bisa membuat anda melakukan hal-hal yang bisa anda sesali nanti, tidak seperti cinta. Jadi cinta mana yang saat ini anda rasakan?

Dicari : Sales Promoter Agama Berkualitas

DICARI : SALES PROMOTER AGAMA BERKUALITAS

Menganggap agama sendiri yang paling baik? Ih fanatik sekali kalau begitu, hah? Tapi bagaimana mungkin menjalankan agama bercabang-cabang, mau tidak mau para pemeluk agama belajar untuk memilih satu ajaran yang paling diyakini bisa memberikan ketenangan bagi jiwa. Apa beda fanatik dengan percaya? Apakah beragama berarti memaksakan orang lain untuk bisa sama seperti kita, sama jalannya seperti kita, untuk bisa bahagia? Apakah beragama berarti menjelekkan agama lain dan berusaha dengan berbagai cara untuk memenangkan agama sendiri?

Ketika ada teman mengalami masalah, kita berusaha mengajaknya untuk ikut dan mencoba ajaran agama yang kita yakini kebenarannya. Ketika kita pernah mengajak orang lain untuk ikut dengan agama kita, itu berarti kita tidak bisa lagi bersikap seperti dulu, ada batas-batas yang harus kita jaga. Ini soal nama baik agama. Awalnya kita mengajak orang lain untuk bisa bahagia dengan menjalani ajaran agama kita, lalu ketika kita memiliki masalah dan tidak bahagia, muncul dilema baru : saya kan sudah pernah membanggakan agama ini bisa memberikan kebahagiaan, bagaimana mungkin jika saya menunjukkan kalau saya tidak bahagia. Agama itu akan dipertanyakan dan orang akan bertanya balik pada kita. Gimana sih sampean yang bilang kalau udah jalanin agama bisa bahagia, tapi kok sampean sendiri belum bahagia.

Gengsi? Pastinya. Bingung? Biasanya. Hal ini pernah saya alami dan sempat membuat saya berpikir, udah ah nggak perlu banyak berkeluh kesah pada banyak orang, terutama mereka yang pernah kita ajak untuk ikut ajaran agama kita ini. Tapi lebih baik bercerita pada mereka yang sudah bisa berpikir terbuka bahwa memang tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini.

Agama perlahan jadi seperti sebuah produk, dan pemeluknya adalah si sales promoternya. Seorang sales berjuang untuk meyakinkan ke banyak orang kalau produk yang ditawarkannya itu punya something special dan menjamin pelanggan nggak bakal kecewa jika memilih produk itu. Kadang sales pun tidak pakai produk itu sehingga tidak menjiwai produk itu dan cenderung menawarkan dengan cara yang memaksa, dengan target utama : bisa dapat untung. Beda dengan sales yang memang benar-benar mengakui kualitas produknya itu memang ok dan terjamin dan dianya sendiri pun sudah membuktikan kalau dia memakai produk itu, dia puas. Apakah agama sama dengan produk-produk yang dijual oleh sales promoter itu? Jika agama sama seperti barang yang di jual di pameran-pameran, berarti agama menjadi alat untuk mendapatkan keuntungan. Ketika kita sudah berorientasi pada keuntungan, biasanya kita pun cenderung berpikir untung rugi saja, dan biasanya jarang mau rugi. Padahal kunci dari keyakinan beragama adalah tulus, bukannya untung rugi. Ketika tidak mau rugi, kecenderungan untuk melakukan hal-hal yang melenceng dari aturan pun akan muncul. Tidak ada orang yang mau merasakan kerugian di dalam hidup ini, bahkan seorang anak bayi pun sudah bisa menunjukkan kalau rugi itu tidak enak. Rugi itu menyakitkan dan rugi itu membuat dirinya tidak bahagia. Di zaman ini sayangnya agama dianggap sama seperti barang. Tujuan punya agama adalah untuk mendapatkan keuntungan, dengan berdalih untuk bisa bahagia. Ujung-ujungnya duit. Iya, orang berbondong-bondong beragama supaya bisa kaya. Ini fakta. Ada yang sudah kaya, lalu lupa agama, tapi ada yang kalau sudah berhasil, makin yakin dengan agamanya. Tapi ada juga orang yang mencoba berkilah, ah nggak kok uang itu nggak bisa bikin kita bahagia dan bukan jaminan kebahagiaan. Ada juga yang mencoba menjiwai agamanya dengan cara yang merusak diri sendiri, karena menangkap konsep ”kepahlawanan” dalam beragama. Karena terinspirasi dari kisah hampir semua tokoh agama yang mengalami penyiksaan dan perlawanan dan penentangan, sampai akhirnya diakui keberadaannya. Sebut saja Yesus, Budha Sakyamuni, dan Nabi Muhammad SAW, hampir semuanya pernah mengalami penyiksaan ketika ingin menunjukkan kebenaran agamaNya, dan ketika ingin membuktikan bahwa segala ajaran yang ingin disebarkan itu memang benar-benar bisa menyelamatkan nasib banyak umat manusia di dunia yang makin kacau balau ini. Maka terjadilah chaos agama. Ketika ada yang menghina ajaran agama tertentu, si pemeluknya marah, dan segera terpanggil untuk menyadarkan si sesat dan melakukan kekerasan salah satunya. Tapi agama tidak ada yang mengajarkan umatnya untuk marah, untuk benci, dan untuk membunuh orang lain. Jika dikaitkan lagi dengan produk dan sales promoter, kondisinya akan mirip seperti ini : ketika sales promoter menawarkan produk kepada satu klien, dan kliennya mencibir kalau produknya tuh jelek dan murahan, maka si promoter akan langsung memukul atau menghabisi klien itu. Tapi jarang terjadi seperti ini kan? Karena promoter bertanggung jawab untuk menjaga image produk dan akan kehilangan kesempatan untuk menjadi promoter produk itu jika melakukan kesalahan bertindak, apalagi tindakan kekerasan. Mengapa agama malah jadi lebih rendah perlakuannya dibandingkan sebuah produk/ benda di pameran?

Agama itu apa? Agama itu hanya punya tujuan satu : supaya manusia bisa hidup dengan damai, tentram, tenang, dan bahagia. Tapi naluri manusia untuk memiliki sesuatu yang disayanginya dan untuk membagikan sesuatu yang disayanginya kepada orang yang disayanginya, membuat manusia pun terdorong untuk lupa kalau dunia ini penuh dengan warna dan tidak semua hal bisa sesuai dengan apa yang kita harapkan dan apa yang kita anggap benar. Ketika bertemu yang beda agama, tanpa sadar menganggap diri sendiri paling benar, lalu berharap orang lain bisa sama seperti diri sendiri. Jadi apa sumber masalahnya : Agamanya atau karakter si pemeluk agamanya?


Regards,
Maeya
maerose11@yahoo.com