Wednesday, June 11, 2008

Dicari : Sales Promoter Agama Berkualitas

DICARI : SALES PROMOTER AGAMA BERKUALITAS

Menganggap agama sendiri yang paling baik? Ih fanatik sekali kalau begitu, hah? Tapi bagaimana mungkin menjalankan agama bercabang-cabang, mau tidak mau para pemeluk agama belajar untuk memilih satu ajaran yang paling diyakini bisa memberikan ketenangan bagi jiwa. Apa beda fanatik dengan percaya? Apakah beragama berarti memaksakan orang lain untuk bisa sama seperti kita, sama jalannya seperti kita, untuk bisa bahagia? Apakah beragama berarti menjelekkan agama lain dan berusaha dengan berbagai cara untuk memenangkan agama sendiri?

Ketika ada teman mengalami masalah, kita berusaha mengajaknya untuk ikut dan mencoba ajaran agama yang kita yakini kebenarannya. Ketika kita pernah mengajak orang lain untuk ikut dengan agama kita, itu berarti kita tidak bisa lagi bersikap seperti dulu, ada batas-batas yang harus kita jaga. Ini soal nama baik agama. Awalnya kita mengajak orang lain untuk bisa bahagia dengan menjalani ajaran agama kita, lalu ketika kita memiliki masalah dan tidak bahagia, muncul dilema baru : saya kan sudah pernah membanggakan agama ini bisa memberikan kebahagiaan, bagaimana mungkin jika saya menunjukkan kalau saya tidak bahagia. Agama itu akan dipertanyakan dan orang akan bertanya balik pada kita. Gimana sih sampean yang bilang kalau udah jalanin agama bisa bahagia, tapi kok sampean sendiri belum bahagia.

Gengsi? Pastinya. Bingung? Biasanya. Hal ini pernah saya alami dan sempat membuat saya berpikir, udah ah nggak perlu banyak berkeluh kesah pada banyak orang, terutama mereka yang pernah kita ajak untuk ikut ajaran agama kita ini. Tapi lebih baik bercerita pada mereka yang sudah bisa berpikir terbuka bahwa memang tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini.

Agama perlahan jadi seperti sebuah produk, dan pemeluknya adalah si sales promoternya. Seorang sales berjuang untuk meyakinkan ke banyak orang kalau produk yang ditawarkannya itu punya something special dan menjamin pelanggan nggak bakal kecewa jika memilih produk itu. Kadang sales pun tidak pakai produk itu sehingga tidak menjiwai produk itu dan cenderung menawarkan dengan cara yang memaksa, dengan target utama : bisa dapat untung. Beda dengan sales yang memang benar-benar mengakui kualitas produknya itu memang ok dan terjamin dan dianya sendiri pun sudah membuktikan kalau dia memakai produk itu, dia puas. Apakah agama sama dengan produk-produk yang dijual oleh sales promoter itu? Jika agama sama seperti barang yang di jual di pameran-pameran, berarti agama menjadi alat untuk mendapatkan keuntungan. Ketika kita sudah berorientasi pada keuntungan, biasanya kita pun cenderung berpikir untung rugi saja, dan biasanya jarang mau rugi. Padahal kunci dari keyakinan beragama adalah tulus, bukannya untung rugi. Ketika tidak mau rugi, kecenderungan untuk melakukan hal-hal yang melenceng dari aturan pun akan muncul. Tidak ada orang yang mau merasakan kerugian di dalam hidup ini, bahkan seorang anak bayi pun sudah bisa menunjukkan kalau rugi itu tidak enak. Rugi itu menyakitkan dan rugi itu membuat dirinya tidak bahagia. Di zaman ini sayangnya agama dianggap sama seperti barang. Tujuan punya agama adalah untuk mendapatkan keuntungan, dengan berdalih untuk bisa bahagia. Ujung-ujungnya duit. Iya, orang berbondong-bondong beragama supaya bisa kaya. Ini fakta. Ada yang sudah kaya, lalu lupa agama, tapi ada yang kalau sudah berhasil, makin yakin dengan agamanya. Tapi ada juga orang yang mencoba berkilah, ah nggak kok uang itu nggak bisa bikin kita bahagia dan bukan jaminan kebahagiaan. Ada juga yang mencoba menjiwai agamanya dengan cara yang merusak diri sendiri, karena menangkap konsep ”kepahlawanan” dalam beragama. Karena terinspirasi dari kisah hampir semua tokoh agama yang mengalami penyiksaan dan perlawanan dan penentangan, sampai akhirnya diakui keberadaannya. Sebut saja Yesus, Budha Sakyamuni, dan Nabi Muhammad SAW, hampir semuanya pernah mengalami penyiksaan ketika ingin menunjukkan kebenaran agamaNya, dan ketika ingin membuktikan bahwa segala ajaran yang ingin disebarkan itu memang benar-benar bisa menyelamatkan nasib banyak umat manusia di dunia yang makin kacau balau ini. Maka terjadilah chaos agama. Ketika ada yang menghina ajaran agama tertentu, si pemeluknya marah, dan segera terpanggil untuk menyadarkan si sesat dan melakukan kekerasan salah satunya. Tapi agama tidak ada yang mengajarkan umatnya untuk marah, untuk benci, dan untuk membunuh orang lain. Jika dikaitkan lagi dengan produk dan sales promoter, kondisinya akan mirip seperti ini : ketika sales promoter menawarkan produk kepada satu klien, dan kliennya mencibir kalau produknya tuh jelek dan murahan, maka si promoter akan langsung memukul atau menghabisi klien itu. Tapi jarang terjadi seperti ini kan? Karena promoter bertanggung jawab untuk menjaga image produk dan akan kehilangan kesempatan untuk menjadi promoter produk itu jika melakukan kesalahan bertindak, apalagi tindakan kekerasan. Mengapa agama malah jadi lebih rendah perlakuannya dibandingkan sebuah produk/ benda di pameran?

Agama itu apa? Agama itu hanya punya tujuan satu : supaya manusia bisa hidup dengan damai, tentram, tenang, dan bahagia. Tapi naluri manusia untuk memiliki sesuatu yang disayanginya dan untuk membagikan sesuatu yang disayanginya kepada orang yang disayanginya, membuat manusia pun terdorong untuk lupa kalau dunia ini penuh dengan warna dan tidak semua hal bisa sesuai dengan apa yang kita harapkan dan apa yang kita anggap benar. Ketika bertemu yang beda agama, tanpa sadar menganggap diri sendiri paling benar, lalu berharap orang lain bisa sama seperti diri sendiri. Jadi apa sumber masalahnya : Agamanya atau karakter si pemeluk agamanya?


Regards,
Maeya
maerose11@yahoo.com

No comments: