Monday, August 02, 2010

Membanting Pintu


Jakarta, 2 Agustus 2010
Sesaat itu matanya melotot tajam serasa siap menerkam saya, saya terdiam sambil meremas tangan saya ini, menahan rasa amarah sekaligus rasa kesal mendapatkan sorotan sinis itu. Saya pun berlari menjauh, dan BRUKKK, saya banting pintu itu, bukti amarah saya. Tak lama kemudian saya pun tendang sebuah meja kayu selama 4 kali berturut-turut, lalu terdengar teriakan melengking, "BERISIKKKKK!!!" Saya terduduk kelelahan, menunduk sejenak, lalu meneteskan air mata kira-kira @3 tetes, lantai pun basah, dan saya merebahkan tubuh. Ah, lelah juga baru saja meluapkan amarah, orang bilang kalau marah dikeluarkan itu lebih baik daripada ditahan, tapi saya lihat tembok itu retak karena baru saja pintu saya banting. Maaf, Pintu.

Beberapa jam sebelumnya.
Seorang wanita menelpon saya sambil berteriak-teriak, adiknya jahanam, sudah jadi maling, pinjam uang tidak pernah kembalikan. Saya di dalam busway arah Senen ke Harmoni dan melihat seorang ibu menggendong bayi dan menggandeng 2 anak lelakinya, sambil menjaga keseimbangan tubuhnya supaya tidak oleng. Dan kembali terdengar suara wanita itu berteriak dengan bahasa-bahasa kasar dan kebun binatang di ramu jadi satu. Telpon terputus. Tak lama kemudian adiknya menelpon saya tapi tidak saya gubris, lalu dia sms dan bilang, "Jangan dengerin dia, dia tuh gila, udah mau umur 40 tahun belum kawin dan masih mau milih-milih, rada-rada deh dia!" Plurk. Saya hapus sms itu. Sungguh kakak adik yang aneh. Dan lebih aneh lagi mengapa saya yang harus mendengar pertengkaran mereka di telpon?

Lalu 3 hari kemudian seorang teman ingin menginap di rumah saya, kami bertemu di Plaza Indonesia berlanjut dengan dinner di Hoka Hoka Bento. "Saya mau kost", katanya. Dia baru saja bertengkar dengan kakak lelaki dan perempuannya dan kakak lelaki mengusirnya dari rumah. Kakaknya membanting pintu sampai engselnya copot, itu berarti keras sekali. sedangkan kakak yang satu lagi tidak mau beli odol padahal warung di sebelah rumah ada yang menjual. Teman saya berjuang dengan kemelut perasaan cintanya pada kedua kakak kandungnya, tetapi dia mantap untuk segera meninggalkan rumah itu. Bukan karena takut digerayangi dengan pelorotan hutang, tetapi karena teman saya ingin melihat akankah hidup kedua manusia itu menjadi lebih baik jika tidak lagi ketergantungan pada teman saya ini.

Belasan tahun lalu terdengar BRAKKKK, kretek kretek... tembok retak, baru saja ada pintu yang dibanting. Itu bukti amarah, karena tidak mendapatkan uang pinjaman dari sang istri. Bahasa kotor pun keluar XXXXXJALKDJALKJDKAJIEOJDLKDJKLDjlk intinya : kalau tidak kasih pinjam uang, cerai aja deh SLKJS:LJKEHWKEJWLKJRE:LKJDK, lalu tetap tidak dapat uang, banting lagi pintu itu sampai sekering listrik serasa hampir copot terkena getaran bantingan pintu yang dashyat kerasnya. Sunyi pun terasa, tapi tembok itu meretak dan entah kapan tembok akan meruntuh kesal karena selalu saja dibanting oleh para pelaku yang marah dan marah.

Kepuasan terbesar saat marah adalah membanting pintu sampai pintu itu mengeluarkan bunyi keras yang maksimal, pintu tidak pernah bisa memilih akan seperti apa nasibnya, akankah ia disayangi, atau hanya dibanting saja di saat para manusia sedang marah. Pintu hanya membisu mendengar pertengkaran, sekaligus cinta saat malam tiba dan pintu harus terkunci rapat agar bisikan cinta tidak terdengar sampai keluar. Itukah makna pintu? Hanya sampai disitukah, Pintu? I dont think so... Filosofi pintu begitu mendalam, Saya yakin itu.

Selamat pagi menjelang subuh.

No comments: