Thursday, October 09, 2008

Lepas Dari Ko-Dependensi


Oleh : Kristi Poerwandari, Psikolog

APAKAH Anda terus memikirkan dan berusaha keras memperbaiki hidup seseorang yang sering menyakiti Anda, merasa bertanggung jawab atas kesejahteraannya dan terobsesi untuk membuatnya ’menjadi lebih baik’? Apakah Anda mencari berbagai alasan untuk membela dan terus mencintainya hingga menomorduakan kebahagiaan dan kepentingan diri sendiri?

Bila demikian halnya, tampaknya Anda mengalami ko-dependensi. Istilah ini jarang dibahas dalam teks ilmiah psikologi meski psikolog yang banyak menangani kasus relasional akan sepakat betapa ko-dependensi banyak terjadi.

Karakteristik ko-dependensi

Istilah ko-dependensi muncul tahun 1979 (Beattie, 1990) di negara Barat ketika praktisi kesehatan mental melihat adanya individu-individu yang hidupnya menjadi ’tak terkendali’ dan ’tidak sehat’ karena mengembangkan pola penyesuaian diri tertentu sebagai akibat kelekatan emosionalnya pada pencandu obat-obatan atau alkohol. Sering mereka adalah pasangan atau anak dari alkoholik. Dalam perkembangannya, istilah ini bermanfaat untuk menjelaskan konteks yang jauh lebih luas daripada itu. Mungkin sederhananya menunjuk pada individu-individu yang menampilkan penyesuaian diri yang tidak lagi sehat, akibat ketergantungan emosionalnya pada seseorang lain yang bermasalah karena ’tidak mampu atau menolak’ untuk bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Orang lain itu bisa mengalami ketergantungan pada napza, alkohol, judi, seorang yang charming tetapi menolak menafkahi keluarga, pelaku KDRT, atau pasangan yang tidak pernah setia.

AM, 35 th, seorang istri yang sering dianiaya suami yang ternyata telah memiliki anak remaja di luar nikah menulis surat sbb:

”Bu, saya kesulitan melupakan dia. Saya ternyata benar-benar tergantung secara psikis pada dia. Padahal saya sudah menyibukkan diri, tetapi kalau ada kesempatan satu menit saja tidak melakukan apa-apa, saya pasti langsung ingat dia. Rasanya perih.

Apa ini cinta? Mengapa saya terus memikirkannya dan ingin ia mampu bertanggung jawab? Saya pikir ini bukan cinta. Karena setiap harinya saya selalu berusaha menekan kemarahan dan kekecewaan saya pada dia. Bahkan saya sering mengumpat agar ia mendapatkan azab dari Tuhan, tetapi saat itu pula saya berusaha menekan kemarahan tersebut karena mendoakan orang lain agar mendapatkan kesengsaraan adalah perbuatan dosa. Itulah yang sering menahan saya untuk tidak bersikap agresif pada keadaan ini. Sebenarnya saya kasihan pada anaknya yang pasti juga ditelantarkan olehnya. Nasibnya sama seperti saya dulu.

Bu, biasanya butuh waktu berapa lama untuk pulih dari kasus semacam ini? Saya butuh pertolongan….”

Siapa yang dapat mengembangkan ko-dependensi?

Siapa pun dapat mengembangkan ko-dependensi, apalagi ketika kita jatuh cinta, sangat terpukau dan kemudian mengidealisasi pasangan. Meski demikian, yang lebih rentan mengembangkan ko-dependensi adalah ia yang mungkin dibesarkan dalam keluarga atau lingkungan terdekat di mana orangtua tidak mampu memberikan kasih sayang dan rasa aman. Malahan keadaan menuntut yang bersangkutan untuk ’dewasa sebelum waktunya’, mengubur rapat-rapat kebutuhannya akan perlindungan, mengharuskannya mengambil alih tanggung jawab orangtua.

Seorang yang menampilkan ko-dependensi bisa saja seorang yang sangat berprestasi dan berhasil dalam karier. Bayangkan seorang anak yang sejak balita hingga remaja melihat kekacauan dalam keluarga: menyaksikan perilaku ayah yang mabuk dan main perempuan, ibu yang kemudian sakit-sakitan dan menjadi pemarah, dan ia mau tidak mau harus merawat adik-adiknya yang tak terurus. Individu demikian mungkin berkembang menjadi orang yang tidak mengenal kebutuhan-kebutuhannya sendiri, tidak pernah yakin bahwa ada yang sungguh-sungguh mencintai. Untuk memperoleh penerimaan, ia malah lebih sibuk mengurus orang lain, tetapi batinnya sendiri mungkin sangat kosong. Pembelajaran kompleks di masa kanak terbawa hingga dewasa, membuatnya mudah terjebak pada hubungan-hubungan yang tidak sehat. Ketika bertemu dengan seseorang yang tak mampu bertanggung jawab atau senang menyakiti, ia akan bernalar: ”pasanganku sebenarnya mencintaiku tetapi tidak mampu menunjukkannya”; ”ia sebenarnya baik hanya sinis”; atau ”kalau aku tinggalkan ia bisa bunuh diri”. Salah satu karakteristik ko-dependen adalah adanya dorongan untuk ’menjadi penyelamat’ atau ’mengambil alih tanggung jawab’. Dapat dimengerti bila umumnya pasangan bukannya menjadi lebih baik, malah semakin taking for granted dan seenaknya.

Keluar dari ko-dependensi

Untuk keluar dari ko-dependensi kita perlu meyakini beberapa butir berikut: (1) untuk dapat mencintai orang lain secara sehat, kita wajib mencintai dan mengurus diri sendiri dulu. Analogi paling baik adalah peringatan di atas pesawat terbang: saat ada gangguan dan masker udara turun, kita tidak boleh memakaikan masker itu kepada orang lain dulu, termasuk ke anak, melainkan harus memakaikannya ke diri sendiri dulu. Bila tidak, semua pihak dapat telanjur kehabisan oksigen dan tak tertolong. (2) Menetapkan prinsip-prinsip dasar yang harus ada dan tidak boleh dilanggar dalam menjalin hubungan khusus. Misal, prinsip saling menghormati; prinsip keterbukaan; prinsip tanggung jawab yang setara. (3) Salah satu prinsip penting adalah: manusia dewasa akhirnya bertanggung jawab atas hidupnya sendiri. Kita tidak perlu mengambil alih untuk bertanggung jawab atas kebahagiaan dan kesejahteraan hidupnya. Kita juga tidak perlu terobsesi mengubahnya karena perubahan mendasar hanya dapat dilakukan atas kesadaran sendiri, bukan karena paksaan dari luar.

Jadi, meskipun cinta setengah mati pada seseorang, akhirnya kita perlu menetapkan waktu yang jelas dan sikap yang tegas agar tidak menghancurkan diri sendiri dengan terjerat ko-dependensi. Akan ada masa-masa sulit di mana Anda mungkin menangis setiap malam, tetapi itu menjadi proses penemuan diri dalam dunia yang membentang luas. Meski banyak kekacauan di dunia ini, masih ada orang-orang baik yang akan kita temui dan dengan mereka kita dapat menjalin hubungan saling menghormati.

Sumber : Kompas.com, September 2008

No comments: