Sunday, June 11, 2006

Too Easy To Cry

Jakarta, 11 Juni 2006

Aku terlalu mudah untuk menangis. Setiap saat aku teringat dengan kisah lama yang mengungkit masalah keluargaku, ayahku khususnya, aku bisa langsung menangis. Menangis, karena takut dan merasa terancam. Ya, hari ini aku berlari dari kamar kakakku, dan aku menangis di atas tempat tidur kamarku. Keputusanku untuk berhenti dari pekerjaan di sebuah perusahaan televisi besar memberikan tekanan yang cukup besar bagi diriku sendri.

Tidak semua orang akan bisa mengerti rencanaku kali ini, jika orang lain menginginkan kemapanan, pekerjaan kantoran yang tetap, gaji yang rutin, justru aku malah meninggalkannya begitu saja. Tidak ada masalah mendasar yang patut aku pertimbangkan sehingga melepas pekerjaan ini. Jujur kata, ini adalah intuisiku sendiri, ada ketukan besar dalam diriku, aku harus berhenti dan aku harus berani mengambil risiko kali ini. Sejak dulu aku ingin menjadi seorang penulis, jika ingin mengejar popularitasnya, aku sebaiknya mengikuti kontes kecantikan atau lomba-lomba modeling saja, tapi sudah kuputuskan aku ingin memilih jalan ini.

Beberapa hal yang sepertinya mengancamku adalah cercaan orang ketika aku nanti gagal, omongan orang, dan juga kekecewaan orang mengenai kenekadan aku ini. Dari kecil aku selalu mendengar kata-kata…”apa gue bilang….”, “apa coba…dari dulu kan gue udah bilang…”, “….see….emangnya semudah itu…”, “..udah deh nggak usah muluk-muluk, yang pasti-pasti aja hidup itu mah….”. okeh, dan apa lagi yang akan aku dengar nantinya? Saat ini aku berumur 24 tahun. Aku tumbuh menjadi seorang wanita yang ambisius, setiap tahun ada target yang ingin kucapai, ambisi tepatnya, aku ingin A, setelah A kudapat, aku ingin B, dan seterusnya seperti itu.

Salahkah aku jika aku selalu membuat ambisi baru tiada hentinya? Semakin orang mencerca, aku semakin terpacu untuk membuktikan kalau aku bukan sembarang bicara, kalau aku sungguh-sungguh dengan niatku ini. Kalau aku tidak main-main dengan apa yang kurencanakan ini. Tidak banyak yang tau dan bisa menerima betapa ambisiusnya diriku. Tapi, aku harus melakukan apa yang kuinginkan. Aku tidak akan bisamaju jika terus terpaku dengan omongan orang lain dan terus-menerus menjadi robot hidup yang dikendalikan oleh komentar-komentar orang lain yang konvensional dan lebih sering angkuh dan meremehkan kemampuanku sendiri.

Tulisan ini muncul, karena aku harus menyadarkan diriku, aku tidak boleh main-main dengan rencanaku kali ini. Aku takut malu! Itu saja. Klise, tapi itu nyata, aku harus menjaga nama baik keluargaku yang sudah bertahun-tahun diinjak dan berpuluh-puluh orang mencibir setiap kali melihat aku, keluargaku, dan diri kami dilihat setengah hati saja, tidak ada pesona berarti yang dianggap berharga untuk dilirik. So sorry, aku harus menekankan, aku bukan orang yang gila hormat, tapi aku orang yang normal dan butuh kewajaran saja kok. Aku tidak butuh pengakuan, karena aku bisa menilai dan mengakui sendiri siapa diriku. Aku pun tidak butuh belas kasihan, karena aku yakin aku bisa bangkit dengan seberat apapun kondisinya. Aku yakin, aku punya kekuatan besar dalam diriku, dan yang terpenting adalah aku punya sahabat-sahabat yang tidak pernah menjatuhkan impianku.

Setiap kali aku bermimpi, seorang sahabatku bilang…”…Ayo, jalani, kamu pasti bisa, aku yakin banget…” Ada juga sahabatku bilang, …”setelah aku lihat bertahun-tahun, aku melihat sesuatu yang besar dalam dirimu, kamu bisa mendapatkan apa yang kamu inginkan…”
Aku serius mendengar kata-kata dan komentar itu. Pernah kubaca di salah satu buku pembangkit motivasi, kita tidak boleh menyerap semua komentar yang ada di luar diri kita, karena pelan-pelan mau tidak mau, kata-kata itu akan menggerogoti diri kita, nilai diri kita, dan juga pikiran kita. Itulah yang coba kulatih saat ini.

Baru saja, kakakku meragukan aku apa iya aku bisa menjadi penulis seperti yang kuinginkan, sampai akhirnya aku melepas pekerjaan berharga ini.
“…nggak gampang, itu harus ada bakat…”
“…jadi gue nggak ada bakat maksud lo?...”, aku mulai emosi dengan apa yang kakakku ungkapkan ke aku.
“…nggak deh, ada anak SMA baru SMA udah bisa nerbitin buku, tau nggak itu kenapa? Itu karena dia ada bakat….kalau elo?...”
“…Oh…”, aku speechless, di dalam hati ada juga tersimpan sedikit ketakutan dan keraguan apakah omongan itu bisa ada kebenarannya. Aku takut!!!! Jika itu menjadi kenyataan, matilah. Aku nggak tau mau jadi apa diriku selanjutnya.

*******

Dua tahun lalu ketika kau baru saja lulus sebagai sarjana di salah satu universitas negri yang terkemuka, aku diragukan oleh orang-orang di sekitarku. Mereka, ibu-ibu glamour yang membicarakan betapa mahalnya tas mereka, betapa hebatnya anak-anak mereka yang sedang bersekolah di luar negri, dan juga betapa cerahnya masa depan anak-anak mereka. Lain halnya dengan aku, bagi mereka, masa depan aku sangat mengkhawatirkan dan mereka kuatir aku akan menjadi sarjana usang yang tidak terpakai dan menjadi orang yang tidak ada gunanya lagi.

Padahal, untuk masuk ke universitasku itu bukan hal yang mudah. Hampir satu tahun aku mempersiapkan diriku untuk bisa lolos ujian seleksi yang sangat ketat. Setiap hari Jumat dan Sabtu, pukul 14.30 aku berlari-lari memanggil bajaj dan langsung ke rumah untuk mandi dan langsung bergegas kembali berangkat ke tempat kursus bimbingan supaya bisa lolos seleksi ketat itu.

Dengan dibonceng motor, aku kerapkali tertidur, beberapa kali hampir saja terjatuh dari motor. Di dalam ruangan kelas, aku berbeda sendiri, kulit dan mataku berbeda, aku benar-benar asing dan tak jarang aku dilirik sebelah mata, seperti ada kata-kata yang ingin diucapkan…”..mau ngapain seh elo disini….tempat lo bukan disini tau…”
Kutahan diriku, kukuatkan diriku, aku harus kuat…sungguh harus kuat.

Akhirnya aku berhasil lolos dan kuliah juga di tempat idamanku itu. Tetap saja ada komentar tidak enak dan kadang tidak penting untukku. “…ih, mau ngapain sih ke situ…”, “…ih, awas ya kalau kamu salah pilih pacar….”, dan “….bahaya loh, kalau ke daerah seperti itu…” dan berbagai komentar lainnya yang tidak pernah berhenti melayang ke telingaku.

Setelah aku lulus kuliah. Ok. Komentar kembali terhujam dan aku siap dikuliahi. Kali ini kuliah yang berbeda. Isinya tidak jelas apa arahnya, bukan untuk membangkitkan, tetapi lebih untuk menakut-nakutin aku, menghujani aku dengan segepok mitos-mitos tidak penting. ‘…udah nih coba aja jadi sales di PT ini…lumayan kali gajinya….daripada nganggur gitu…”. Kulihat guntingan lowongan itu, ya ampun, lowongan menjadi sales dengan gaji sekitar 600 ribu. Sebuah penghinaan. Kurobek kertas itu. Maaf sungguh maaf, bukannya aku sombong dan belagu, teman-teman. Tidak ada masalah dengan jenis pekerjaan dan gaji ini, bukan pekerjaan rendahan karena tetap membutuhkan lulusan S1. yang menjadi beban aku adalah, caranya. Cara penyampaiannya yang ingin mengatakan padaku betapa kasihannya hidupku dan betapa kecilnya harapan aku untuk bisa menjadi orang besar di bumi ini.

Aku tidak muluk-muluk ingin menjadi manusia besar di bumi ini. Aku hanya ingin menjadi orang yang bisa membuktikan siapa diriku, apa yang kusenangi, dan apa yang ingin kupilih. Aku butuh kebebasan, aku jengah dengan penjajahan pikiran seperti itu. Mengapa orang-orang itu merasa dirinya paling hebat dan paling berguna di bumi, selain mereka, yang lain hanyalah sampah tak berguna dan selain mereka, yang lain hanyalah mahluk-mahluk yang membuat bumi ini lebih sempit saja.

Puas hatiku. Sudah dua kali aku bisa membuktikan kalau aku bisa menjadi seperti yang aku mau, dan aku bisa memilih jalan yang memang kusenangi, dan aku bisa menentukan ke arah mana hidupku akan kubawa. Bukan sebaliknya, mereka ingin mengendalikan hidupku dan pelan-pelan menaruh diriku ke bagian pojok paling belakang supaya aku tidak pernah lagi bersinar dan supaya hanya mereka dan penerus generasi mereka saja yang berhasil menjadi pusat perhatian.

Maaf sungguh maaf, jika tulisan ini sepertinya penuh dengan hujaman kemarahan, ya aku marah, baru saja aku marah, bagaimana tidak, jika ada orang lain yang mencoba mengusik hidupku dan menocba menjadi dewa dari kehidupanku, sedangkan ketika aku benar-benar susah nantinya, mereka mungkin akan berkilah dengan segala alasan. “..aduh, sorry aku juga lagi ada masalah berat….” Atau “….aduh, i`m so sorry to hear that, I wish I could help you, but I couldn’t…”.

Sudah kuputuskan dan kemantapkan langkahku, hello everybody, the glamour ladies, aku sudah mulai perjalananku, tolong jangan usik-usik langkahku kali ini.
Siapapun dia, betapa hebatpun dia, dan seperkasa apapun dia, aku tidak mau sekali-kali dia mengusik dan mencoba menyentuh zona-zona penting dalam hidupku. Tidak juga manusia-manusia yang menganggap dirinya suci dan paling benar sedunia ini. (apa iya ada orang yang paling benar di dunia ini, jika ada, tolong perkenalkan ke aku, hubungi aku di email ini yah : maeturelove@yahoo.com kalau memang ada orang-orang paling benar di dunia ini).

Yang terpenting dalam hidup ini bukanlah apa yang terlihat di mata, tetapi apa yang terjadi di balik yang sudah terjadi itu.

***********
Aha, sudah tulisan di halaman ke 4. ada satu orang yang membuatku terus optimis dengan rencanaku kali ini, yaitu seorang bapak muda, yang baru saja punya bayi berusia 1 bulan. Dia manager di kantorku dan dia pernah juga menjadi atasanku. Dia seorang penulis senior yang sangat rendah hati dan tidak angkuh. Ketenangannya kadang mengerikan. Dia jarang unjuk gigi, karena dia hanya turun perang ketika saat sudah genting saja.

Sebulan lalu, kutemui dia di ruangan kerjanya. Sunyi, dia tidak banyak bicara. Aku bilang aku akan segera berhenti dari pekerjaan ini. Dia hanya tertawa.
“..hahaha….kamu sudah tidak sabar yah dengan kondisi saat ini?...”, tak disangka itu ternyata reaksi pertamanya.
‘…mas, aku sungguh ingin menulis dan someday karyaku akan terjual berjuta-juta eksemplar….”
Dia hanya terdiam tanpa ekspresi dan dia menasehatiku dengan kebijaksanaannya. “…yang terpenting saat ini bukan bagus/ tidaknya tulisan kamu, yang terpenting adalah banyak/ tidaknya kamu sudah pernah menulis…”
Impian jangan ditaruh terlalu dangkal di dalam sebuah sumur, taruhlah lebih dalam lagi, kita menulis bukan untuk popularitas tapi lebih untuk eksplorasi siapakah diri kita dan kemanakah karya kita akan mengalir. Itu yang terpenting.

Ada kesejukan setiap kali aku melihat matanya dan dia memang sungguh bijaksana. I swear to the moon. Dia memang seorang yang hebat dan mahaguru di tahun-tahun akan datang, aku akan datang berterimakasih padanya, karena telah menjadi inspirasi terbesar dalam keputusanku kali ini.

Mari menulis…lebih dalam lagi…tidak hanya untuk sekedar oplah yang meningkat dan nama yang mencuat.

**************
Ancang-ancang. Aku sedang mempersiapkan beberapa ancang-ancang untuk melaju dengan pasti ke arena yang kutuju.
Keraguan masih sering muncul. Di malam yang dingin dan sepi, aku merenung, apa mungkin keputusanku ini akan merugikan diriku di masa mendatang.
Langkah pertama, aku butuh waktu lebih banyak untuk menulis, membaca, memperbaiki bahasa Inggrisku, dan memperbaiki kehidupan spiritualku.
Langkah kedua, aku ingin memenangkan satu pertarungan lagi, menguji kemampuan diriku, untuk bisa melanjutkan kuliah S2 ku tanpa biaya, bisa ke luar negri tanpa biaya sendiri, dan bisa menang di antara berjuta-juta kandidat yang lain. Ups, ini bentuk ambisiusitas diriku yang sangat jelas sekali.
Langkah ketiga, aku ingin menyusun kurikulum pakem di sekolah mingguku untuk menjadi bahan panduan sampai nanti aku tidak bisa lagi menjadi penanggungjawab sekolah rohani ini. Dan aku ingin merombak konsep majalah rohani yang selama ini masih amburadul, dan aku ingin mencetak penulis-penulis muda untuk menjadi tombak berharga di majalah rohani ini. Club menulis kreatif. Ya, aku akan menjadi founder sebuah komunitas penulis muda kreatif yang bisa menuangkan imajinasinya dan harapan-harapannya ke dalam tulisan. Seperti yang sudah kulakukan selama ini.
Langkah keempat, merintis usaha bisnis lembaga SDM dengan beberapa temanku dan tidak lagi sekedar berkicau mengenai idealismeku, tapi lebih bertindak dengan nyata.
Langkah kelima, lebih menikmati hidupku, tidak lagi meratapi nasib, mencoba melepas bebas diriku dari keterikatan fana dunia ini. Mencoba untuk berdiri tegak sendiri tanpa harus mengikat diriku hanya pada kesementaraan saja. Aku ingin mencoba bahagia dengan caraku yang lebih kekal dan tidak hanya mengandalkan keindahan dunia saja.
Untuk semua langkah-langkahku ini, aku akan terus mengolah diriku menjadi manusia yang maksimal. Jika Einstein bisa menciptakan rumus abadi E=MC nya, aku pun harus bisa menciptakan sebuah karya abadi yang bisa digunakan sepanjang masa nantinya untuk generasi berikutnya. Julukan Madam Mae tidak lagi sekedar angan-angan, karena sebentar lagi pasti menjadi nyata.
Terima kasih untuk pertengkaran hari ini dengan kakakku dan kebencian beberapa menit kepada seorang wanita glamour yang kukenal. Karena hal-hal yang rasanya menyesakkan, aku jadi bisa menulis hari ini sebanyak 5 halaman kurang. Kakakku yang baru saja meragukan diriku, dan baru saja bilang kalau aku sombong, karena aku kerap menangis, ketika cerita pengalamanku bekerja di gudang dan hampir tertimpa kardus berat. Aku menangis, dan ketika kakakku bingung kenapa aku jadi sewot setiap kali dia bercerita mengenai pandangannya mengenai rencana kedepanku. Argh….ternyata segala hal bisa menjadi inspirasi dan aku jadi teringat setiap kali aku baru bertengkar hebat dengan ibuku, aku pasti bisa menulis panjang dan kata-kata mengalir dengan derasnya. Dan baru saja kejadian bertengkar dengan kakakku dan di genggamanku ada buku biografi Stephen King yang berkali-kali gagal sebelum menjadi penulis. Aku memutuskan, harus segera menulis, saat ini juga!
Dan inspirasi lain, seorang pria yang sering memuji aku cantik, dan dia pun ganteng, dia sering datang di saat sepiku dan tersenyum miris melihatku dari kejauhan, dan dari bibirnya, dia bilang tanpa suara, “…kamu cantik…”. Rayuan gombalnya mampu merasuki diriku dan aku langsung terbang melayang dan hanyut dalam derasnya tulisan indah dan karya pun muncul lagi, karena dia memuji aku cantik. Dan smsnya yang sering kali mengajakku berimajinasi kalau kami berdua adalah sepasang suami istri yang sedang sibuk-sibuknya mengurus anak kami. Hanya imajinasi, tapi mampu menusuk ke kedalaman hatiku yang paling sunyi dan misterius tanpa ada kejelasan dimana titik terang cahaya yang bisa membuatnya lebih pasti dan jelas.

**********

1 comment:

wibowo said...

dalem mae... dalem