Sunday, June 18, 2006

Speechless

My favorite movies. Apa film yang paling gue suka? Ada beberapa, yaitu film sejak gue kelas 3 SD: Home Alone 1&2 (unforgettable banget nich), Ada Apa Dengan Cinta, film series Korea : Full House, Stairways to Heaven, dan juga film lain yang bernuansa Natal pastinya.
Talking about Christmas, memang tidak ada habis-habisnya, I really love Christmas, love it crazily. If I could always feel the romance and the peace of Christmas. Winter yang menyenangkan, salju, ornament Natal yang indah, warna merah dan hijau yang menyejukkan, dan juga alunan musik lembut Natal. Buat gue, Christmas adalah momen yang penuh dengan sentuhan indah hidup.
Natal tahun lalu, masih ada rasa luka dan sakit hati gue dengan seseorang, gue kirim sebuah kartu ucapan Natal, di dalamnya tertulis satu kutipan minta maaf dari gue. Honestly, tidak ada yang salah diantara kita, tapi gue tetap menuliskannya. Gue pun tidak mengerti. Hanya ingin menuliskan sesuatu baginya, tidak berharap akan dibalas atau direspon. Ternyata, dia benar-benar tidak merespon, sampai detik ini tidak pernah gue tahu apa sebenarnya salah gue sampai akhirnya dia tidak menyukai diri gue. Ada satu kebencian mendalam yang bisa gue rasakan setiap kali dia melihat diri gue, gue bisa merasakan ada goresan ketidakpuasan dari wajahnya. Tapi…nothing I can do.
Too much destinies have to be happened, and noone could explain why it could be.
Sudah cukup gue memohon maaf atau berbasa-basi lagi dengannya, berharap bisa berdamai dan setidaknya dia bisa tersenyum tulus padaku, berharap dia bisa memperlakukan diriku sama seperti yang lain. Tidak seperti saat ini. Di saat kami berpapasan, kulihat ada senyuman sinis dari bibirnya, tatapan jengah yang tidak bisa berbohong, dan juga nada suara yang mneyiratkan ketidaksenangan dengan keberadaanku di dekatnya.
Masih ingat, tahun lalu, ingatanku termasuk yang tajam. Selama empat hari, dia buang muka, tidak mau menatap mataku, bicara seperlunya saja padaku, itupun kalau aku tanya lebih dulu. Aku mulai gelisah mengapa dia menjadi seperti itu. Kuberanikan diriku untuk bertanya padanya apa sebenarnya yang salah dari diriku.
“…lo tuh terlalu banyak omong, udah deh diem aja….bisa nggak sih, sepertinya lo mau nunjukkin kalo elo bisa segalanya…” sebuah suara melengking melesat di saraf-saraf telingaku. Seseorang sedang meluapkan ketidaksenangannya pada diriku.
“…iya maaf ya….semoga masalah ini tidak merusak hubungan kita berdua….”
“…sorry, gue nggak berminat untuk menjalin hubungan yang lebih dari ini…” pedas, tapi tegas, dan itu pasti bahwa dia memang sudah tidak mau menerima diriku. Sudahlah, usaha sudah kulakukan, jika dia tidak mau menerima diriku, aku harus bisa menerimanya.
Sejak saat itu, kami menjadi aneh, banyak kejadian yang sepertinya kian memperburuk hubungan kami berdua. Dia dengan angan-angannya dan aku dengan jiwa menggelora dalam dada ini. Aku yang berharap bisa menjadi seseorang yang berharga, dan dia yang juga punya harapan lain di dalam pikirannya. Aku tidak pernah mengerti dan tidak pernah tahu apa yang sebenarnya harus kulakukan. Haruskah aku mengorbankan diriku sendiri, anganku, demi menyenangkan hatinya?
Di sini kuberdiri sendiri, sesekali kulihat dari jarak kejauhan, apa yah yang sedang dia lakukan, apakah dia baik-baik saja? Apakah dia marah kalau aku menjauh dari dirinya. Kuakui, aku menghindar dari dirinya, aku takut setengah mati, setiap kali melihat matanya mulai merajalela ke diriku dan sekeliling diriku, setiap kali suara tingginya yang melengking mulai menyuarakan keinginan pribadinya, dan setiap kali aku harus mengalah supaya dia bisa merasa bahagia dan puas dengan apa yang diinginkannya. Sekali lagi, berulang-ulang kali, aku sudah mengalah deminya, padahal siapalah dia, hubungan kami sama sekali tidak intens, kami hanya berpapasan di satu ruas jalan, tapi dia berhasil menguras banyak energi, kesedihan, dan air mata diriku. Malu. Tapi ini memang kenyataan, aku begitu ngeri dengan dirinya. Dia yang begitu misterius dan tidak bisa ditebak, dia yang sepertinya paling benar dan aku yang dimintanya untuk menjadi kurcaci bawang yang mengendap-ngendap dari barisan belakang saja. Tidak boleh maju sembarangan, sebelum dia bisa berada di barisan terdepan.
Terima kasih, dunia, dan wahai kau orang yang sudah mengikatku dalam ketidakbebasan yang selama ini sangat kurindukan. Tidak disangka-sangka, segalanya menjadi seperti ini, berakhir tidak seindah dongeng atau cerita rakyat pada umumnya. Seharusnya kita berdua bisa baik-baik saja jika tidak ada benang-benang kusut yang melukai hati kita berdua ini. Dan kita berdua mungkin saja bisa menjadi sepasang sahabat yang bisa saling percaya dan saling mendukung. Ternyata kita memang tidak berjodoh sebagai sahabat, kita malah lebih berjodoh sebagai rival. Sayangnya, ini bukan rival yang sehat dan bukan rival yang membahagiakan. Ini hanyalah rival yang membuang-buang energi dan waktu, suatu saat rival ini akan menghancurkan salah satu dari kita.
Sebentar lagi, aku akan mengalah demi kebebasanmu dan semoga saja hatimu lebih tenang dari sebelumnya. Aku mengerti bagaimana perasaanmu dan aku memahami sudah terlalu banyak kepahitan yang kau alami, ini kali aku mengalah untuk terakhir kalinya dan tidak ada lagi hal seperti ini lagi di masa akan datang.
Sukses untukmu, Rivalku.

********
Harta…
Rumah…
Bagaimana dengan nasib kami selanjutnya?
Warisan dimanakah warisan itu…
Hentikan!!!!
Sudahkah puas dengan apa yang ada di tangan ini dan apa yang terlihat di depan mata.
Kenapa sih terus saja meminta dan meminta, tidak pernah berhenti berpikir apa sebenarnya yang ingin dicapai dalam hidup ini.
Pergulatan untuk menjadi si nomor 1 sepertinya baru saja dimulai, bahkan baru pada tahap pemanasan saja, juri keadilan mulai melihat sisi kanan dan sisi kiri, manakah yang akan menang dalam pertarungan ini. Pertarungan untuk mendapatkan sebuah warisan, sebuah rumah besar yang diidam-idamkan siapa saja yang pernah menempati rumah itu.
Seseorang hadir mencoba menjadi pemenang yang tegar dan tidak main jalan belakang, ornag yang lain memilih untuk diam sejenak, melihat lebih jelas lagi apa sesungguhnya yang sedang terjadi. Adakah jalan damai yang saling menguntungkan kedua belah pihak, tanpa harus menjatuhkan satu sama lain. Jawabnya, tidak ada, harus ada yang menang dan harus ada yang kalah. Inilah hukum kewajaran alam semesta. Mana yang harus dipilih : harta benda atau harta jiwa? Kuinginkan dua-duanya, karena aku butuh dua-duanya, tanpa benda, aku merasa kosong tak berdaya, tanpa jiwa aku seperti benda mati yang bisa gentayangan sesuka hati, tapi tidak pernah mengerti apa sebenarnya yang harus kulakukan. Kutakbisa memilih. Biar saja aku jalani yang sudah terlanjur terjadi.

******
Tadi pagi, seseorang kirim sms, tanya apa kabar dan dia kok tau yah kalau gue teh udah mau resign, pertanyaan sms isi basa-basi tanya kabar yang sedikit datar bagi gue. Beberapa bulan lalu, gue berharap banget sama dia, sumpeh! Siapapun yang sempet baca blog ini, pasti tau betapa gue pernah berharap dan terus memikirkannya, walaupun tidak ada kisah menarik diantara gue dan dia. Dia yang berasal dari keluarga lurus, tidak pernah merokok, jarang minum, lebih sering di rumah main game. Di saat jam kantor sudah selesai, buru-buru dia pulang ke rumah, bebersih, makan bersama keluarga, dan menikmati kamarnya sambil bermain playstation kesukaannya. Itulah dia. Dunianya jauh berbeda dengan aku. Pertama, aku bukan si lurus-lurus saja, hidupku sudah terlalu berbelok-belok dan melelahkan sekali, tapi aku senang bisa menjalani semua ini.
Seseorang ini sepertinya hanya sambil lalu saja di kisah hidup dan kisah cinta gue. Yap, ada getaran yang justru semakin memisahkan gue dan dia. Kalau orang orang percaya akan adanya jodoh yang sudah ada sedemikian rupa, gue kadang percaya sebaliknya, jodoh apapun sebenarnya tidak ada sedemikian rupa tanpa sebabnya. Gue percaya jodoh antara manusia tergantung pada kejadian-kejadian sebelumnya di antara mereka dan tidak mungkin jodoh terjadi sebegitu cepatnya tanpa stimulus awal yang kuat dan kokoh.
Kemarin malam, seseorang yang lain juga kirim sms, bilang kalau dia tidak bisa pulang liburan yang masih 5 bulan lagi, terlalu lama untuk berpikir soal liburan. Sms basa-basi yang mengharapkan gue untuk bisa merespon lebih. Rasa tertarik tidak bisa dipaksakan. Itu yang gue pelajari dari hubungan gue dengan seseorang ini. Bagaimana mungkin rasa tertarik bisa muncul hanya mengandalkan teknologi sms dan permainan kata-kata saja. Sekali lagi, aku seperti seseorang yang pongah dan berlagak seolah-olah hanya aku yang benar dan hanya aku yang berhak menilai siapapun yang sedang mendekati diri ini.
Huah…kangen banget jadinya gue dengan tetangga sebelah rumah, sekarang di negri panda. Kalo mau diukur, rasa suka gue cukup besar ke dia euy, teman masa kecil gue yang nakal banget tapi sering membuat gue tertawa terbahak-bahak, sampai keluar air mata. Argh….mulai deh nghayal lagi…
Mas Aris Ananda, minta tolong….bagaimana jika ide seringkali terhenti dan tidak bisa kukendalikan. Alunan musik kupasang, kali saja bisa menjadi bahan inspirasi, kali saja bisa membuat suasana lebih baik lagi, semoga saja.
……………………………
……………………………
……………………………
……………………………

ketika kata-kata tidak bisa menggambarkan apa yang sesungguhnya kupikirkan, mungkin saja ini lah makna sesungguhnya sebuah hal yang sunyata.

Nyata…
Ada di pikiran ini…
Melayang….
Ketangkap….nggak…ketangkap….
Sunyata….
Dan nyata kembali…
Terus melayang….menari mengelilingi alam nyata…
Pelan-pelan semua hilang….hilang begitu saja….

*********

No comments: