Wednesday, June 14, 2006

ICU dan Mama

Jakarta, 14 Juni 2006

Di sebuah rumah sakit besar di Jakarta, siang hari, cukup terik, di sekeliling terlihat beberapa orang menunggu, terbaring di lantai, beristirahat, kelelahan, sudah semalaman menunggu kerabat/ temannya di depan ruang ICU.

“Bagaimana, Dok”, dua orang mata memandang pria berjubah putih, menanti sebuah kepastian mengenai harapan hidup bunda.
“ya terserah mau segera operasi atau tidak”, dengan wajah sangar di dokter menjawab.
“Tapi kemungkinan berapa persen, Dok?”, pertanyaan kembali bergulir, ingin segera kepastian.
“Saya nggak bisa bilangggg!!!!! Semuanya relatif dan saya tidak bisa menjamin setelah operasi semuanya akan langsung beres”, lantang dan pasti, agak mengerikan untuk didengar, tapi sepertinya sangat logis dan masuk di akal.

Di saat harus memilih antara nyawa dan uang, dan ketika uang mengendalikan sebuah nyawa. Nyawa manusia yang terkatung-katung ketika tidak ada kepastian uang yang dimiliki oleh si pemilih nyawa tersebut.

Hati miris melihat pemandangan itu, bagaimana mungkin sebuah nama “uang” bisa menjadi berkuasa di saat genting seperti ini. Tidak ada yang bisa berkutik, uang tetap berbicara, dan siapapun tidak bisa mungkir pada kenyataan. Manakah yang harus dipilih : tetap hidup dengan menghabiskan segenap uang yang dimiliki atau melepaskan satu hidup demi memberikan kenyamanan bagi dua atau tiga hidup lainnya? Sebuah dilemma akan terus muncul dalam kehidupan ini, ketika manusia harus kembali berhadapan dengan kefanaan, uang adalah bukti nyatanya. Selama ini, uang menjadi seperti momok yang mengukung kebebasan dan kebahagiaan seseorang. Tanpa uang, seseorang tidak bisa hidup, tetapi selalu terdengar nyaring wejangan-wejangan bijak mengatakan, jangan terikat dengan uang, ketika diri ini mati, kita tidak bawa uang.

********
“Dok, boleh saya lihat mama saya?”, sebercak wajah memelas dari seorang wanita muda, berdiri kaku dan tegang, di depan pintu ruang ICU, mencoba memohon pada penjaga ruang ICU, untuk berbelas kasih, memberikan kesempatan untuk bertemu dengan mama. Mama yang sedang sekarat.
“Maaf, belum waktunya untuk besuk pasien, silahkan tunggu dulu di luar”, aturan tetaplah aturan, si penjaga ruang ICU tidak akan menggubris wajah sememelas apapun jika A memang harus A, tidak bisa kemudian menjadi B. Itu aturannya.
Wajah si anak murung, kecewa, menangis dalam hati, dan meneteskan air mata, bagaimana bisa di detik itu, untuk bisa bertemu dan melihat wajah mamanya pun harus dijatahkan waktunya. Dalam sekejap, seperti ada jurang pemisah antara si anak dan mama.
“Maafkan, Nak…Bukan maksud Mama menjadi seperti ini”, ada suara-suara kecil di udara ini, mengirimkan pesan dari mama untuk si anak. Mama yang terbaring lemah tak sadarkan diri, saat itu menjadi seseorang yang lepas bebas tanpa kendali dirinya sendiri. Dirinya tidak bisa mengendalikan nyawanya sendiri. Mesin-mesin berdenyut, menderit, mengeluarkan suara-suara khas alat teknologi canggih, mencoba menahan pergerakkan aliran tubuh yang tidak seimbang lagi, karena telah terjadi kekeliruan dalam system tubuh.
Suara mesin yang mengilukan bagi siapapun yang mendengarnya, kabel-kabel berserakan, hembusan nafas berkejar-kejaran, mencoba untuk menahan nyawa supaya bisa tetap bertahan.

Aku terdiam melihat semua ini. Ada jurang antara seorang mama dan seorang anak. Tidak bisa lagi berinteraksi dan saling tersenyum, atau saling merespon sentuhan, tidak bisa lagi bilang “…sedang apa kamu, Nak…” atau “….sudah makan atau belum, Nak…”. Untuk saat ini ruang ICU seolah menjadi saksi pemisahan ironis ini. Hubungan darah bukan lagi jaminan seorang mama dan anak bisa terus bersama. Akan selalu ada awal ikatan lekat, dan akan selalu ada akhir dari segala kelekatan itu.

Ya ampun, sudah terlalu sering dan terlalu banyak kesempatan yang terlepas untuk bisa menjadi anak yang baik kepada seorang mama yang setia dan berkorban terlalu banyak.

Di pagi buta, mama bangun diam-diam dari tempat tidur, supaya tidak berisik dan membangunkan yang lain. Bereskan perkakas yang akan dipakai untuk mulai memasak. Bergegas segera untuk berangkat ke pasar. Biasa….beli sesuatu untuk sarapan pagi anak-anakku. Mereka pasti sibuk bekerja, sibuk belajar di sekolah, dan sibuk segalanya, aku harus melakukan segala cara supaya mereka tetap betah di rumah ini. Aku akan siapkan makanan yang enak untuk disantap, minuman bergizi supaya mereka menjadi orang yang cerdas di tempat mereka bekerja atau sekolah.
Jalan masih sepi, gelap, tapi ada satu dua becak melewati jalan itu. Kususuri jalan ini, angin pagi sedikit menusuk ke tulang tubuhku, tapi untung aku pakai mantel yang tidak terlalu tebal ini. Kulewati jalanan aspal ini, peluh sedikit menetes, tapi itu tidak ada artinya, aku hanya ingin yang terbaik buat si kecil dan si besar di rumahku. Mereka pasti bahagia dengan semua ini. Ya, walaupun mereka tidak bahagia banget, tapi setidaknya mereka tidak perlu repot-repot memikirkan kebutuhan makanan ini.
Kutenteng keranjang dengan beban 10 kilogram ini, ada beberapa daging yang disukai anak sulungku, dan ada beberapa bungkus nasi yang selalu diidamkan anak bungsuku. Ayo, langkah, ayo lebih cepat lagi, sebelum mereka terbangun dan terburu-buru berangkat keluar. Ayo, kakiku cepat, otot agak kaku, mungkin karena belum banyak pemanasan sebelum berjalan dengan jarak cukup melelahkan ini. Sudah terlihat pagar rumahku yang mungil, ayo terus, sedikit lagi, aku ingin melihat senyum anak-anakku di saat kutiba dengan semua kesukaan mereka.
“…Oow, aku kesiangan….Ma, aku jalan dulu ya….ada ulangan yang susah banget sedunia…”, si bungsu berlari-lari sambil mencoba mengikat tali sepatunya, seragam sekolah abu-abu masih cukup berantakan, tidak teratur.
“…Tunggu….ma….” Sudah terdengar suara hentakan pagar rumah ditutup. Si bungsu sudah terlanjur pergi. Padahal sudah ada sebungkus nasi ulam kesukaannya yang kemarin-kemarin terus diungkapkan ke mama, betapa si kecil sudah lama tidak makan nasi ulam di pasar subuh langganannya. Pelan-pelan mama membereskan, dan menutup kembali bungkusan nasi ulam. Ya, masih bisa untuk sore nanti. Kali saja, si kecil masih ngidam nasi ini.
“…Ma, nanti malam aku lembur, tidak bisa makan malam di rumah yah…., bisa jadi nggak pulang ke rumah…”, si besar sambil melilitkan dasi bercorak garis biru vertical terburu-buru sambil melihat arloji di tangannya. Sudah kesiangan untuk berangkat ke kantor. “…Wah, mama udah siapin rendang kesukaan kamu loh, Nak…” Dengan nada keceriaan, mama mencoba membujuk si besar untuk berusaha bisa tetap makan di rumah.
“..liat nanti deh yah, Ma…penting banget nih lembur kali ini, bisa dapat bonus berlipat-lipat…..aku jalan dulu yah, Ma…’
“…Makan dulu nih…”
“…Aduh, udah jam segini, Ma….bisa gawat kalau telat….”
“…Sedikit saja lah….’
“….Nggak ah, Ma…”
Si besar dalam hitungan detik sudah keluar dari ruangan yang semula bisa menjadi tempat mereka berbagi kesenangan bersama, berbagi makanan kesukaan, berbagi nasi ulam langganan mereka. Seorang wanita berdiri sambil tersenyum kecil melihat ke arah luar jalan. Mendeham sedikit, ah….anak-anakku memang sudah besar ternyata.
Semua makanan yang sudah disiapkan dirapihkan secara teratur, ada tudung saji yang sudah siap menutupnya supaya tidak ada lalat menghampiri, sekilas terlihat tudung saji bagai tirai yang akan segera menutup pertunjukkan. Pertunjukkan sudah berakhir, harus segera ditutup dengan tirai merah terang.

Adakah kekecewaan dalam rasa wanita setengah baya ini? Ketika kesepiannya ditemani oleh dentingan jam dinding, suara bajaj yang lalu lalang sibuk sekali, dan juga jarak yang memisahkan sementara dia dan anak-anaknya. Wanita ini duduk di atas kursi kesayangannya yang empuk, memejamkan mata sejenak, meregangkan kepegalan tadi pagi ketika berjalan dengan jarak cukup jauh, dan tersenyum puas ketika membayangkan anak-anaknya sudah tumbuh dewasa. Saat itu juga, ada sedikit tangisan kecil di sudut lain hatinya, aku rindu sekali anak-anakku. Aku ingin tertawa lebih riang lagi seperti waktu dulu mereka masih kecil dan seperti waktu tempo dulu mereka masih penasaran dengan segala jenis jajanan kesukaan mereka.

*********
Di sebuah ruangan ICU yang cukup besar dan terang benderang, terbaring seorang wanita dengan lilitan selang-selang diiantara lubang hidung, alat bantu pernafasan, dan juga jarum infus mungil yang melekat di sisi urat nadinya. Nafas berkejar-kejaran, di sisi kanan terlihat monitor grafik yang terus berubah-ubah. Di samping ranjang serba putih, duduk dua orang anak, si sulung dan si bungsu, menatap tak berdaya. Sudah terlambatkah kami untuk melepas rindu yang selama ini terlupakan? Jika kata maaf sudah tidak ada artinya lagi, perlukah kami mengucapkannya lagi, walau hanya sekali saja, dan terdengar samar-samar saja?

“…Kapan aku bisa makan nasi ulam lagi bersama Mama…?”
“..Kapan kita akan makan rendang andalan Mama?”
“…Kapan, Ma?...”
“…Jawab dong, Ma…”
“…Ma….Mama???..”
- terdengar pacuan suara mesin monitor jantung semakin berlomba-lomba menjad
i suara yang paling lantang -

No comments: