Thursday, March 27, 2008

Cinta Lokasi

CINTA LOKASI

”...Cinta Lokasi Bisa Terjadi Dimana Saja...”

Bukan hanya selebriti saja yang identik dengan cinta lokasi, orang biasa pun bisa mengalami cinta lokasi.
Karena sering bersama, cinta bisa tumbuh. Karena sering kerja bareng, rasa bisa tumbuh. Karena sering susah senang bersama, rasa senasib pun tumbuh. Karena sering bertemu dan bercanda, rasa butuh itu tumbuh. Dan karena sering tertawa bersama, rasa ingin terus dekat tumbuh menguat.
Mengapa sering terdengar ada kasus cinta lokasi dan cinta yang sudah dibina selama bertahun-tahun kandas begitu saja karena kehadiran orang baru yang tidak disangka-sangka. Seperti yang dialami Fika, sudah berpacaran selama 12 tahun dengan pacarnya, tapi mana sangka, ketika pacarnya sudah berbeda kota, pacarnya bertemu dengan teman lama di salah satu resepsi pernikahan. Meski hanya sekali ketemu, tapi itu menjadi awal perubahan. Pacar Fika jatuh cinta pada seorang perempuan dan nggak bisa tahan untuk mendekati perempuan itu. Entah mungkin karena sudah bosan kali, 12 tahun pacaran, sejak SMP, les bareng, di kelas duduk bareng, dan kuliah pun bareng dan tinggal bareng di apartemennya.
Kasus dialami juga oleh Mita, sudah pacaran 6 tahun dengan cowonya, dan backstreet karena dilarang orang tua tapi akhirnya direstui juga, lalu Mita pergi ke luar negri untuk studi dan ketemu dengan seorang cowok baru, dan langsung Mita jatuh cinta dengan cowok baru itu. Dan hubungan 6 tahun itu kandas begitu saja, walaupun sudah diperjuangkan.
Cinta lokasi terjadi biasanya di kalangan para pemain film atau sinetron : Lydia Kandau – Jamal Mirdad, Marissa Haque – Ikang Fawzi, Widyawati – Sophan Sophian, Nicholas Saputra – Mariana Renata, Dewi Sandra – Glenn Fredly, Raffi Ahmad – Velove, Glen Alinsky – Chelsea Olivia, ada juga Ariel – Luna Maya. Sesama artis. Berawal dari pertemuan di ruang artis, dandan bareng, lalu reading script bareng, becanda bareng ala selebritis, dan tebar-tebar pesona siap dimulai. Karena 1 scene diulang sampai 20 kali, misalkan ada adegan berpelukan yang diulang-ulang, dari perasaan yang biasa saja, lama-lama bisa kerasa juga sensasi kedekatannya. Itu di kalangan artis. Ada lagi kisah cinta lokasi yang sering kejadian, yaitu di kantor. Berawal dari meeting bareng, diskusi bareng, dan lembur bareng, makan siang dan makan malam bareng, pulang kerja bareng, rasa cinta pun muncul tak bisa ditahan. Di tempat kerja, kemungkinan untuk cinta lokasi sangat tinggi. Gimana nggak, dari jam 9 sampai jam 6 sore bareng, dan frekwensi ketemu begitu tinggi, toh. Perasaan dekat pun muncul.
Tapi, nggak mungkin kan kalau kita terus ngintil dan mantau pasangan supaya nggak lari dari kita. Dan mana mungkin kita telponin pasangan kita untuk selalu tau apa yang sedang dikerjakannya. Dan apa iya kita akan menghambat karir pasangan, hanya karena takut pasangan kita terlibat dengan cinta lokasi dengan seseorang yang nggak pernah bisa kita duga.
Di tempat ibadah, cinta lokasi pun bisa kejadian. Prosesnya sama : karena sering bertemu sapa, sering bareng, ketawa bareng, melakukan kegiatan bareng-bareng, dan yang paling memicu cinta lokasi adalah ketika ada ”klik” dan moment yang ”nyambung” dan ada rasa nyaman yang muncul ketika lagi berbicara. Curhat itu berbahaya, karena curhat itu mendekatkan emosional dan curhat pula yang menjadi awal dari cinta lokasi. Ketika sudah bertanya soal hal-hal yang mendalam dan sensitif, perhatian terfokus pada orang di hadapan kita itu. Lalu tukeran nomer handphone dan mulai menjalin kedekatan yang lebih dalam lagi. Itulah cinta lokasi. Dimanapun bisa terjadi.
Waktu masa sekolah, kita pun sudah biasa menemukan cinta lokasi. Karena duduk sebangku, les bareng, sering kerja kelompok bareng, sering bertemu tak disengaja, sering tubrukan tak disengaja mungkin, atau sering ribut bareng, lama-lama rasa suka itu muncul dan rasa penasaran mulai ada dan makin dekat saja jadinya. Rasa suka dan sayang itu muncul karena kesamaan dan perasaan senasib. Perasaan senasib mendekatkan manusia-manusia. Di saat sulit, biasanya kehadiran seseorang menambah semangat hidup dan membangkitkan lagi gairah kehidupan.
Ikhlas merelakan. Kalau belakangan ini saya berkali-kali kampanye soal anti poligami dan terus riset soal perselingkuhan ataupun kisah-kisah cinta yang kandas.
Dan seorang teman (cowok) tanya : ”pasti elo bakal takut nikah ya...” Pertanyaan yang lumayan membuat saya berpikir dan mundur satu langkah sejenak. Apa iya yah saya jadi takut? Takut karena udah nulis eh nanti kemakan omongan sendiri? Syukurlah, saya malah termotivasi untuk bisa menikah dan memotivasi sahabat-sahabat untuk menikah yang bisa langgeng sampe kakek nenek nanti, eh sampe ajal aja deh, ogah dong kayak Koes Hendratmo, memang sih harmonis tapi pas udah tua eh kawin lagi ama istri kedua J . Iya yah, apa yah sebab saya menulis semua seputar ini? Dan saya sudah tahu jawabannya (personally dan dari berbagai kisah nyata orang banyak), dan saya belajar bahwa segala hal itu akan selalu dipandang dari berbagai sisi, jadi saya sih asyik-asyik aja. Kalau ada yang mengira kalau terus-terusan bahas poligami, nanti beneran kejadian baru rasa loe! Tapi dalam pandangan saya, poligami itu mirip seperti satu penyakit yang harus dicari obatnya. Kalau dokter sibuk sana sini riset untuk menemukan obat yang bisa menyembuhkan sakit batuk atau sakit kepala, kenapa nggak menemukan obat yang bisa menyembuhkan penyakit jenis ini? Penyakit poligami adalah penyakit untuk memiliki pasangan lebih dari satu dan penyakit tidak puas dengan apa yang sudah dimiliki – dalam hal ini soal pasangan hidup – Dan itulah alasan saya mengapa selama sebulan ini kerapkali menyuarakan masalah perempuan dan juga poligami. Bukan berniat untuk mengungkit kisah petuah berbau agama, sedikitpun tidak, tapi mencoba untuk melihat dari kacamata berbeda. Bahwa setiap orang memiliki pola pandang dan pola rasa yang berbeda-beda, tergantung dari pengalaman dan hasil-hasil pola asuh sejak kecil hingga kini. Dan saya pun belajar untuk tidak menyalahkan mereka yang sudah terlanjur berpoligami, karena selalu ada alasan dari pilihan itu, dan pengalaman masa lalu yang menyedihkan bisa menjadi salah satu penyebab mengapa ada orang yang sulit untuk bertahan dengan satu pasangan saja dan mudah tergoda dan jatuh cinta dengan orang baru yang ditemui. Tidak pernah ada kata puas dalam segala hal, tapi kita semua belajar untuk mengatur semua ketidakpuasan itu, bukannya mengikuti saja semua naluri ketidakpuasan dan memuaskannya atas nama cinta. Halah. Cinta itu ya cinta, tok! Cinta itu bener-bener cinta kalau tidak melukai dan menyakiti pihak lain. Kalau memiliki pasangan lebih dari satu dan mengatasnamakan itu sebagai cinta, coba diputar balikkan kalau kita yang berada di posisi pasangan kita. Apa yang bakal kita rasa kalau pasangan yang kita sayang banget itu memutuskan untuk punya pasangan lain yang kedua, ketiga, dan dengan dalih : ini cinta, ada yang butuh cinta juga, dan yang penting ikhlas dan adil kan. Cinta tidak pernah adil dan sama. Orang tua pun tanpa sadar memberikan cinta yang tidak pernah sama persis antara si bungsu dan si sulung. Dan itu pula yang menjadi alasan, bahwa cinta itu bukan soal adil atau nggak, soal ikhlas atau nggak, tapi cinta itu soal janji. Janji untuk selalu menjaga dan menghargai cinta. Dan cinta itu soal komitmen untuk selalu setia menjaga janji yang sudah diikatkan.
Dan pengaruh media sudah sedemikian hebatnya, karena berita yang jelek-jelek seputar selingkuh – cerai – poligami – lebih laris untuk naikkin rating, berita selebritis selalu seputar yang jelek-jelek saja. Berita keharmonisan pasangan artis, menjadi hal yang biasa dan nggak ada greget, untuk voice overnya saja sudah datar, tidak seperti voice over yang membahas berita jelek, bisa penuh dengan konflik dan nuansa yang dramatis. Akhirnya ini membuka pola berpikir soal hubungan juga, ada yang menganggap affair itu biasa, affair itu keren, apalagi buat sebagian anak-anak band yang mau promo album, dan affair itu membuat sebagai pubic figure makin laris order, dan affair menjadi salah satu strategi untuk mengangkat pamor beberapa artis baru. Dan semua ini kembali pada pilihan, apakah hanya sebatas itu saja makna dari hidup ataupun popularitas? Sengaja mengumbar gosip affair atau perceraian supaya makin dikenal audience dan supaya makin ngetop, meski dikenal dengan gosip yang miring dan kadang – maaf, kacangan - apa nggak pingin dikenal karena musiknya memang keren dan legendaris, bukan karena penyanyinya itu baru aja cerai? Kalau seorang public figure memiliki pandangan sempit soal hidupnya dan setiap hari wajah dan statementnya ditampilkan di media, bagaimana kira-kira pola pikir para audience dari kelas C,D,E yang begitu kagum dengan public figure yang wara wiri di media ketika melihat sidang-sidang perceraian idolanya di TV? Selesai sidang cerai, artis akan dikerubuti wartawan dan ditanya apa perasaannya, dan walau sebenarnya cerai itu sebenarnya sebuah aib, tapi dalam sekejap media merubahnya menjadi sebuah “prestasi” yang mengukir kisah perjalanan hidupnya. Bahkan ada juga seorang public figure yang dicerca karena merebut suami orang, menjadi kaya mendadak, tapi semakin seringnya berita itu, bukanlah hal yang membuat public figure ini hilang dari peredaran. Suatu hari saya melihat public figure di sebuah mal elite, dan masyarakat masih memandangnya dengan kagum “weow....artis tuh....” Saat itu terbersit sedikit saja : ok, karena dia public figure walau melakukan hal buruk, akan tetap dianggap mahluk terhormat. Bahkan seorang yang dikenal sudah berdosa besar pun bagi suatu bangsa, ketika meninggal dielu-elukan selayaknya mahluk paling suci di negri ini. Perubahan kondisi secara otomatis akan terjadi juga, kalau dulu, orang biasa tiba-tiba bercerai, para tetangga akan menganggapnya hina sekali, tapi karena sekarang public figure banyak yang bercerai, malah dianggap “wah mirip seperti artis”, alias keren juga lah walau cerai. Bahayanya, ketika public figure dengan bangga dan bertutur seperti orang paling benar dan paling mengerti ayat-ayat suci, bercerita kalau dia mengambil keputusan – maaf, poligami lagi nih – dan audience melihat dan mendengar statementnya itu, audience pun belajar “tuh, dia aja orang hebat, berpoligami, berarti nggak salah dong kalau saya juga sama seperti dia”. Hal-hal yang salah dianggap biasa, lalu dianggap tidak salah lagi, dan hal-hal yang benar mulai terlupakan dan kalah pamor. Hal-hal salah yang lebih menarik untuk digosipkan. Akibatnya : tak sedikit orang berbondong-bondong melakukan hal salah yang keren, supaya bisa ngetop dan terlihat makin “berimage” dong.
Oya, ternyata tidak sedikit pasangan yang berhasil membuktikan janji cinta dan kesetiaan, dan kasus kegagalan cinta itu tidak sebanyak kasus kesuksesan cinta. Seperti kalau di satu kelas zaman sekolah dulu, ada 40 siswa, dan biasanya akan ada 10 siswa yang gagal untuk naik ke tingkat lebih tinggi lagi, dan harus mengulang lagi karena nggak naik kelas dan nilainya kebanyakan merah, kisah cinta pun seperti itu, ada yang gagal dan itu ternyata tidak sebanyak yang berhasil. Kebetulan saja, yang gagal yang lebih sering diekspos di media, yang berhasil jarang diekspos, sehingga terasa kalau kegagalan kok banyak dan sering terjadi yah? Mau bukti? Coba aja ke badan statistik, tingkat perceraian ternyata tidak tinggi-tinggi amat kok, dan kalau ada rekan atau sahabat atau saudara yang harus menjalani itu, termasuk para public figure yang sukses karir tapi gagal dalam percintaan, ya itu karena belum mengerti dan belum lolos ujian cinta aja, jadi sedikit ketinggalan dibanding yang lain yang sudah berhasil lulus ujian cinta dan berhasil membuktikan kalau bisa meningkatkan kualitas hubungan cinta dengan pasangannya. Tapi bukan berarti itu prestasi cinta loh, itu tetap saja nggak naik kelas dan banyak merah di rapor cintanya.
Mau lulus ujian cinta? Belajar dan tahu dulu soal cinta sama yang udah berhasil membuktikan sebagai juara cinta, then kerjakan soal-soal nyatanya, kalau gagal dan skor masih rendah, introspeksi ulang, dimana yang masih kurang, latihan terus, sampai akhirnya mahir soal cinta-cintaan. Terima kasih buat semua teman-teman dan saudara dan public figure yang menjadi inspirasi saya selama sebulan ini untuk nulis banyak soal nikah, poligami, cerai. Especially buat Maia – Dhani, kisahnya terus jadi bahan analisa yang sayangnya belum ada endingnya nih. Karena kok ulur-ulur gitu dan saya curiga aja nih jangan-jangan itu salah satu strategi untuk ningkatin penjualan album aja nih, abisnya kok lagu Wonder Woman selalu diputar nggak jauh waktu setelah atau sebelum lagu EGP diputar hehehe. Kalau ternyata semua itu gosip, syukurlah, tapi kalau ternyata semua berita pasangan ini beneran, walah, gimana nasib Al, El, Dul nantinya yah kalau sudah beranjak besar nanti? Yah, tetap saja akan dianggap keren walau punya orang tua broken home, karena kan mereka anak public figure. Coba kalau anak biasa yang punya orang tua kacau balau perkawinannya, apa iya akan dipandang se”tinggi” seperti orang memandang anak-anak public figure?

Regards,
Maeya
Maerose11@yahoo.com

No comments: