Tuesday, January 08, 2008

Chocolate For My Life 2n Ed - #1

Selamat Datang Di Tahun 2008.
Ketenangan air bisa memecahkan dunia. Ketenangan pikiran bisa mengubah hidup menjadi lebih baik lagi. Jika bukan uang yang harus kita kejar, jika kebahagiaanlah yang seharusnya kita kejar, apakah hidup akan sungguh bahagia pada akhirnya? Belum tentu! Tergantung konsep bahagia itu sendiri. Dan di tahun 2008 ini, tema kebahagiaan seolah menjadi tema hangat dan panas yang akan terus saya bahas, saya tulis, dan saya gali. Ketika semakin banyak orang resah dengan hidupnya. Tidak puas dengan hidupnya. Selalu membandingkan hidupnya dengan hidup orang lain. Dan ketika orang semakin terobsesi untuk menjadi kaya, sebelum akhirnya memiliki waktu untuk mewujudkan kebahagiaan mutlak yang selama ini dinantikan.

Orang bilang kalau punya uang cukup dan berlebih, tenanglah hidup ini. Dalam hidup ini selalu ada perbedaan. Beda nasib. Beda hidup. Beda perjalanan kesulitan. Beda keberuntungan. Dan beda yang lainnya. Namun, ada satu yang sama. Sama tujuan. Semua orang hidup dengan tujuan yang sama : mau bahagia, nggak mau susah. Kalau boleh milih, pinginnya terus menerus bahagia, tanpa kesusahan sedikitpun. Sayangnya, putih tidak akan ada tanpa kehadiran hitam, bahagia takkan muncul tanpa sedih terlebih dahulu. Begitulah hidup.

Sekejap menjadi ahli soal hidup? Nggak juga, ini proses belajar untuk lebih memaknai hidup. Begitu banyak jalan untuk lebih memaknai hidup : beragama lebih tekun, terjun ke dalam aksi amal sosial, atau melepas sejauh mungkin dari hiruk pikuk metropolis, untuk menemukan jati diri sesungguhnya. Apa makna hidup saya yang sesungguhnya?

Ketika ke kamar mandi, saya bertemu dengan seorang ibu yang menjajakan kue basah jualannya, menawarkan siapa saja yang hendak buang air kecil. Ada lagi seorang penjaga kamar mandi, yang selalu siap sedia untuk menyiapkan tisue-tisue bagi wanita yang hendak buang air kecil. Ada begitu banyak profesi dalam hidup ini, entah siapa yang melakukan pembagian kelas sosial, tau-tau muncul begitu saja, tanpa diperkirakan.

Pembagian kelasnya adalah seperti ini :

Kelas C,D,E : para pekerja kasar, tukang parkir, penjaga toilet, supir angkot, pembantu rumah tangga, buruh pabrik, office boy, satpam, hansip, tukang cuci piring, cleaning service gedung-gedung dan hotel. Apa lagi?

Kelas A,B : pekerja kantoran, manager, bos-bos, supervisor, bagian marketing, sekertaris, atau para karyawan bank.

Perbedaan mencolok pun terjadi : ada si kaya dan ada si miskin. Si miskin ada yang pasrah karena tidak mungkin bisa seperti si kaya. Si kaya terus berjuang untuk bisa tetap kaya dan lebih kaya, kalau bisa. Cara-cara pun diusahakan supaya bisa jadi si kaya. Tidak pernah ada yang berandai : semoga saya jadi orang miskin. Semua berharap bisa jadi orang kaya. Di sudut sepi hiruk pikuk dunia, tak sedikit orang miskin yang terpuruk dalam depresi berat dan akhirnya mengalami gangguan jiwa. Ada juga seseorang yang dulunya miskin, mendadak kaya, tapi kembali miskin lagi, tidak bisa menerima kenyataan hidup, terus berpikir keras untuk jadi kaya, tak bisa dihindari, orang ini menjadi gila. Sakit jiwa. Lupa ingatan. Sering bengong. Tidak lagi percaya pada siapapun. Orang mengalami gangguan jiwa ketika tidak ada lagi orang yang bisa ia percayai. Semua karena impian semu : ingin sekali segera berubah nasib, ingin sekali pergi jauh dari kemiskinan. Jika banyak orang sudah jengah dengan pembahasan si kaya dan si miskin, bagi saya, kisah ini tidak akan pernah habis. Selama ada si kaya. Dan selama ada si miskin. Semua kisah ini akan terus bergulir.

Salahkah Jika Mencintai Seseorang Tanpa Batas?
Mencintai itu harus tulus dan tanpa perhitungan. Mencintai yang sesungguhnya tidak harapkan untuk kembali. Mencintai hanya berfokus untuk memberikan yang terbaik. Mencintai pun berarti belajar untuk menerima kondisi apapun dengan lapang dada dan dengan rasa syukur.

Namun, mencintai pun ternyata harus ada batasannya. Batasan moral, katanya!

Mencintai tidak lagi tulus tanpa pamrih. Ketika memilih seseorang yang akan kita cintai, begitu banyak perhitungan untung rugi. ”Kalau saya sama dia, apa saya bisa bahagia? Apa saya bisa tercukupi lahir dan batin?”. Dan ketika mencintai seseorang, tidak lagi, bisa menerima apa adanya. ”Dia pemarah, emosional, dan yang parahnya, dia itu kere” Itu bukan cinta lagi namanya. Dan kini, cinta menjadi buyar ketika berbaur dengan segala unsur semua yang dianggap sebagai cinta. Cinta itu nggak boleh sembarangan diberikan kepada orang yang salah. Pilihlah orang yang tepat untuk Anda cintai, jangan sia-siakan cinta Anda untuk orang yang nggak pantes.

Keluarga keturunan darah biru akan melecehkan mereka dari kaum papa. Keluarga dari agama tertentu akan meragukan apakah bisa sejalan dalam menjalani bahtera rumah tangga.

Keluarga level menengah akan berpikir 100 kali ketika melihat calon menantu atau mantunya ternyata tidak sempurna fisiknya. Keluarga level atas akan melihat sebelah mata ketika melihat anaknya akan memilih seorang pekerja kasar, dari kaum marginal, miskin! Padahal cinta kan awalnya muncul bukan karena sisi fisik dan materinya. Cinta muncul ketika ada percikan chemistry yang sulit dijelaskan dengan wujud nyata, hanya sang rasa yang bisa mengerti gejolak rasa itu. Dan cinta pun sulit sekali untuk memilih. Cinta itu mirip seperti kita menyukai satu warna tertentu. Tanpa terencana, ketika ada warna merah, putih, biru, kuning, tapi kita malah memilih warna hijau di baju seorang yang baru saja melewati kita. Faktor kebiasaan dan juga faktor pengalaman lalu yang membuat seseorang memahami apa yang akan dipilih dan apa yang disukainya.

Kalau mencintai dengan tulus orang yang kita sayangi masih dianggap salah juga pada beberapa kasus, bagaimana dengan membenci dengan tulus orang yang kita sayangi? Picik. Naif. Realita. Walau kita menyukai warna hijau, tapi ketika banyak orang lebih menyukai warna biru, warna hijau pun dianggap jelek, hina, aneh, norak, dan nggak sesuai. Dan ketika kita memilih warna hijau, tapi budaya melarang masyarakatnya untuk memakai pernak-pernik warna hijau, kita pun dituntut untuk menyukai warna lain, jangan warna hijau! Orang yang tetep bersikeras menyukai warna hijau, harus mampu membuktikan kalau warna hijau itu lebih indah dibandingkan warna biru. Kenyataannya, warna hijau itu perpaduan dari warna biru dan kuning, namun, tetap saja itu bukan biru! Biru ya biru! Ga ada embel-embel apalah, beda ya beda...nggak bakal bisa sama lagi!

Untungnya, perubahan itu selalu terjadi. Waktu zaman sekolah dulu, saya fanatik sekali dengan warna biru, pokoknya segala macam barang harus warna biru! Lalu seiring berjalan waktu dan trend yang ada di sekeliling saya, saya mulai menyukai warna pink, disusul dengan warna putih, dan kini warna hijau tosca menjadi warna favorit saya. Ada saat juga dimana saya sangat suka sekali dengan warna putih. Untuk fashion, saya cenderung pilih warna putih, karena mudah dipadu padan, dan terkesan suci bersih. See? Minat berubah, kesukaan berubah. Hari ini kita mungkin tergila-gila dengan satu hal, belum tentu besok atau 2 jam kemudian kita masih tergila-gila dengan itu. Manusiawi bukan, kalau ternyata, orientasi orang mengenai cinta pun berubah? Dan orientasi uang mengenai kebahagiaan pun akan berubah? Yang tidak berubah, hanya satu : tetap ingin merasa bahagia. Apapun yang terjadi.

No comments: