Tuesday, June 02, 2009

Tayangan Yang Menyentuh atau Menipu?

Di suatu rumah seorang anak lelaki 5 tahun yang menderita Hidrokel (kelainan cairan di buah zakar) bersama ibunya baru saja pulang dari rumah sakit. Si anak baru saja membuka jahitan di buah zakarnya. Tiga orang wartawan ikut sampai ke rumahnya dengan tujuan untuk mewawancara si anak dan si ibu untuk kemudian dijadikan sebuah tayangan liputan. “…gue nggak dapet nih feelnya..”, ungkap seorang perempuan yang bertugas untuk mewawancara. Dan rekannya pun menjawab, “masa sih, belum wawancara kok udah merasa gitu, kan anak ini hebat, usia 5 tahun tapi begitu tegar”. Satu rekan lagi hanya menggeleng dan mengangkat bahunya. No Comment, itu jawaban yang tersirat dari bahasa tubuhnya.
Dan wawancara mulai dilakukan. Pertama, para wartawan ini akan menanyakan beberapa hal kepada ibunya, sambil sesekali mengarahkan pertanyaan, supaya bisa dijawab dengan sentuhan humanis seperti yang diharapkan nanti di tayangan itu.
“Bagaimana rasanya ketika melihat anak Ibu meringis kesakitan di ruang operasi?”, tanya wartawan pertama.
“Ya namanya seorang ibu pastilah yah sedih, tapi ya udahlah jalani aja”, si ibu menjawab dengan wajah sumringah.
“Bu, kalau boleh tau, apa sih sumber kekuatan Ibu, sampai bisa terlihat tegar seperti ini?”, tanya wartawan kedua.
Si Ibu tidak langsung menjawab, tapi tertawa dulu, dan sedikit bingung mau jawab apa. “Ya, apa ya, hahahaha, ya saya nggak mau ambil pusing aja lah, makanya saya terima kasih ya udah dibantu”, jawab ibu itu – sekali lagi, dengan wajah sumringah yang ceria -.
Wawancara pun telah selesai. Salah satu dari wartawan terlihat tidak puas, karena tidak mendapatkan apa yang dimau, yaitu liputan yang “menyentuh”. Menyentuh, maksudnya adalah ketika nara sumber bisa merasa bersyukur atas berkah dan bantuan yang sudah diperoleh dari pihak yang membantu. Selain itu, menyentuh berarti ketika nara sumber bisa mengeluarkan air mata ketika menceritakan masalah hidupnya. Menyentuh berarti ketika nara sumber dipeluk atau disentuh oleh relawan yang mendampinginya. Itu yang rata-rata diharapkan dari hampir sebagian besar liputan dengan target humanis : mencari kisah yang menyentuh dan bisa menjadi inspirasi bagi pemirsa yang menontonnya. Masalahnya, tidak semua nara sumber akan bereaksi seperti yang diharapkan pada umumnya.
Kita mungkin berpikir jika seorang ibu memiliki anak dengan kelainan buah zakar, itu adalah hal yang menyedihkan sekali, sengsara, itu pasti, dan biasanya si ibu akan mudah menangis karena menderita melihat anaknya sakit seperti itu. Tapi siapa sangka, ada juga sosok ibu yang memang memiliki karakter ceria dan tidak mudah menangis, dan wajah tetap ceria sumringah, walaupun masalah yang dialaminya sebenarnya berat. Ketika berhadapan dengan situasi seperti ini, bisa saja kita, khususnya yang berpandangan sempit mengenai konsep ”menyentuh” akan mengambil kesimpulan : ”saya nggak dapet feel dari kisah ini, lah wong anak sakit seperti itu kok, masih bisa senyum-senyum gitu?”. Memangnya setiap orang harus memiliki reaksi yang sama terhadap suatu masalah? Dan memangnya setiap orang dituntut untuk ”cengeng” ketika menghadapi masalah hidup yang berat?
Hari Minggu kemarin (31 Mei 2009), Kompas membahas satu topik mengenai fenomena Televisi yang kini berbondong-bondong mengangkat kisah kemiskinan sebagai tayangan. Ini sebagai respons kegelisahan pemirsa yang selalu bilang televisi mengangkat kisah kemewahan saja. Ternyata, jawaban ekstrim, yaitu mengangkat sensualitas kemiskinan pun bukanlah solusi terbaik, sebenarnya. Seperti biasa, trend akan terus berubah, bisa jadi tema kemiskinan menjadi tema hangat yang sedang diminati pemirsa pada saat ini, tapi bagaimana beberapa bulan yang akan datang nanti? Reality show bermunculan dengan mengambil kisah-kisah orang susah dan miskin di Indonesia, entah apa niat terjujur dalam diri para tim kreatif, apa iya target sukses adalah membuat orang termehek-mehek saja, atau mengajak orang untuk lebih mensyukuri hidup? Di sisi lain, ada beban moral dan tanggung jawab sosial yang perlu dipahami, bahwa nara sumber (yang kebetulan miskin dan tinggal di rel kereta) bukanlah obyek untuk mendongkrak rating televisi dan menarik semakin banyak pemasok iklan untuk mengisi slot tayagan, mereka juga manusia. Jangan juga mengambil keuntungan dari kesusahan orang lain, mewawancara kisah tragis dalam hidup mereka, menguras air mata mereka, mengarahkan seorang kepala sekolah (yang akan menjadi teladan bagi murid-muridnya) untuk bersujud ke tanah ketika mendapatkan 11 juta dari program reality show, dan juga menampilkan segala privacy kehidupan personal yang sebenarnya tidak akan pernah diungkapkan oleh mereka yang memiliki uang dan harta.
Sebuah kejadian sempat mengusik nurani saya ketika beberapa bulan lalu kakek saya dirawat di rumah sakit karena sakit jantung. Pada saat itu saya jadi teringat beberapa kali saya pernah meliput seorang pasien di rumah sakit, kebetulan pasien itu dibantu oleh yayasan sosial, dan itulah tugas saya : meliput suasana pasien itu ketika lagi sakit sampai akhirnya sembuh. Saya pun bertanya pada diri saya : andai saja pada saat itu, di rumah sakit ada wartawan yang tiba-tiba ingin meliput kakek saya yang sedang terbaring lemah, apakah iya saya mengizinkan si wartawan untuk meliput? Saya sepertinya akan menjawab : tidak, terima kasih.

No comments: