To Do Before I Die
Apa yang paling ditakuti oleh sebagian besar orang pada umumnya? Takut miskin dan takut mati. Bicara soal takut mati, Di masa anak-anak sekitar usia 7-9 tahunan, anak kecil akan mengalami satu fase fear of death, takut mati, dan juga fear of separation, takut berpisah dengan orang yang disayangi. Saya masih ingat jelas, waktu itu masih usia 8 tahunan, dan mama saya selama 10 hari pergi ke luar kota, hampir setiap malam saya menangis karena ketakutan nggak bisa ketemu lagi dengan mama saya. Saat itu, ada pembantu saya yang menemani saya sampai akhirnya saya tertidur setelah lelah menangis. Itu berlangsung sampai 4-5 harian, entah apa yang ada di pikiran saya. Salah satu ketakutan adalah saya takut kalau nggak bisa lagi bertemu dengan mama saya! Tak jarang saya mimpi buruk yang mengerikan dan terbangun dengan mata basah dengan air mata. Di mimpi saya, saya berpisah dengan mama saya dan itu bikin saya takut sekali. Itu kejadian waktu masa-masa kecil dulu. Setelah belajar dan baca banyak buku mengenai filsafat kehidupan, saya sadar, kalau kematian itu hal yang mutlak dan nggak perlu ditakuti secara berlebihan. Ajaran agama pun selalu mengajarkan satu pesan : kalau hari ini bisa jadi hari terakhir Anda hidup di dunia ini, jadi manfaatkanlah waktu dengan sebaik-baiknya deh.
Ada satu cerita, seorang ibu 40 tahunan yang sudah memiliki 2 orang anak, hidupnya penuh dengan ketakutan. Ketakutannya yang paling besar adalah MATI. Makanya dia pun menghindari rumah sakit, rumah duka, dan juga kuburan. Walau hanya mendengar cerita orang yang mati pun, jantungnya langsung berdegup kencang, tensi darah langsung melesat hebat, dan serangan vertigo pun bisa dia alami. Ibu ini salah satu contoh dari sekian banyak orang yang sejujurnya takut sama yang namanya kematian. Bayangan orang mengenai kematian, begitu mengerikan : gelap, penuh api panas, dan lebih ekstrim lagi, penuh dengan belatung. Padahal, ketika kita tertidur lelap pun, itu kondisi yang tidak jauh berbeda dengan ketika kita mati nanti. ”Beda ah!”, kata seorang teman. ”Ok Ok, secara, kita nggak pernah bisa wawancara eksklusif ke orang yang sudah mati, no comment deh, kalau gitu”, balas saya.
Dalam forum-forum diskusi yang saya ikuti, akhir-akhir ini, seringkali kita membahas mengenai hidup dan mati. Terinspirasi dengan lagi maraknya kematian mendadak diantara rekan-rekan kami, mulai dari yang mati tertabrak, mati karena sakit, dan juga mati karena stress. Hayo, serem nggak kalau membahas soal mati? Sebenarnya, saya nggak berniat aneh-aneh, tapi dalam tulisan kali ini, ingin sekali ajak teman-teman untuk bahas secara gamblang topik ”Mati”, topik yang sering dianggap pamali dan tabu untuk dibahas. ”Awas luh, nanti beneran kejadian kalau diomongin”, ungkap seorang kenalan. Sekarang mari membahas ”kematian” dari sisi berbeda, dari sisi humanis, dan sisi realita.
Ada jenis-jenis kematian dan tiap orang pada akhirnya akan mati. Yang jadi pembahasan adalah akan seperti apakah kondisi terakhir seseorang ketika akan menghembuskan nafas terakhirnya. Kalau dalam ajaran Buddhism, kondisi terakhir ketika ajal akan menentukan dia akan terlahir seperti apa pada kehidupan yang selanjutnya, dan kondisi ketika mati juga yang akan menggambarkan bagaimana kondisi jiwanya yang sesungguhnya.
Berikut ini adalah beberapa jenis kondisi mati :
1. Mati karena penyakit tubuh entah turunan atau bukan turunan (kanker, stroke, jantung, TBC, dan lain-lain), dan terbaring di ICU rumah sakit.
2. Mati hangus dalam ledakan pesawat terbang atau gedung yang terbakar.
3. Mati bunuh diri, lompat dari gedung atau mengiris nadi sendiri. (Seperti Leslie Cheung di Hongkong?)
4. Mati sebagai korban tabrakan lalu lintas atau tertimpa benda keras.
5. Mati karena dibunuh, contoh : ditembak dengan sengaja atau tidak sengaja. (Seperti John Lennon?)
6. Mati karena overdosis narkoba. (Seperti Kurt Cobain?)
7. Mati karena umur yang sudah tua (60 – 70 tahun keatas).
8. Mati keracunan.
9. Mati di usia muda.
10. Mati ketika baru saja dilahirkan.
11. Mati karena kelaparan.
12. Mati sebagai korban perang.
13. Mati karena bencana alam : gempa bumi, tsunami, tanah longsor, dan banjir.
14.
Kondisi jenazah ada yang masih dalam kondisi utuh dan kondisi yang tidak berbentuk lagi. Ekspresi ketika meninggal pun bervariasi, ada yang tersenyum dan ada yang mukanya sudah membiru hitam karena sakit kronis yang diderita, dan bagi korban yang meninggal akibat kebakaran, kondisi tubuh biasanya sudah tidak bisa lagi dikenali. “Serem amat sih bahas beginian”, ungkap teman saya. Mungkin rasanya serem, karena selama ini kematian, sekali lagi, dianggap sebagai hal tabu yang mengerikan. Namun, ketika kita mau memaknai kehidupan dan memahami kehidupan, pelajarilah dulu kematian. Selama ini kita sibuk untuk mempelajari segala hal seputar kehidupan dan menjaga jarak jauh-jauh dengan kematian. Karena ada harapan terpendam, ingin terus hidup dan tidak mau sampai berpisah dengan hal-hal duniawi dalam hidup. Bukan berarti, dengan belajar soal kematian, kita pun jadi bersikap skeptis kepada hidup, dan berpikir ”Ah, nanti juga gue mati, ya kalau gitu, gue hidup sesuka hati gue aja”. Justru, kalau sudah paham kematian, berarti harus menjalani hidup dengan sebaik-baiknya.
Hidup adalah tempat untuk bermain dan bersenang-senang, tapi yang terjadi adalah hidup sepertinya penuh dengan penderitaan, dan tanpa sadar kehidupan lain sesudah meninggal nanti yang dibombardir akan jauh lebih menyenangkan dibandingkan hidup saat ini. Kematian bukan hal untuk ditakuti, tapi untuk disadari. Dengan lebih paham kalau siapapun pada akhirnya akan mati, kita bisa menjalani hidup dengan lebih bernilai dan lebih sepenuh hati, tidak ketinggalan lebih happy. Karena untuk bisa terlahir sebagai seorang manusia, bukanlah hal yang mudah, dibutuhkan jutaan tahun lamanya dan dibutuhkan tumpukan-tumpukan karma baik di masa lampau, supaya bisa punya kesempatan untuk lahir sebagai manusia. Bisa terlahir sebagai manusia pun, bisa sempurna dan tidak sempurna. Ada teman-teman kita yang lahir dalam kondisi cacat tubuh dan dalam kondisi perang kelaparan yang mengerikan. Tapi kita yang bisa lahir dalam kondisi tenang dan damai, masih ada kecenderungan untuk mengeluh dan nggak puas dengan kondisi kita. Mulai dari nggak puas kenapa harus lahir di kondisi keluarga yang mungkin tidak ideal dan juga nggak puas dengan kondisi hidup yang tidak sesempurna hidup orang lain. Kita pun pernah juga nggak puas dengan hal-hal sederhana dalam hidup kita : Kenapa sih pacar saya nggak sebaik pacarnya orang lain? Kenapa sih posisi karir saya tidak secemerlang posisi karir teman sekolah saya? Kenapa sih hidup saya begini-begini aja dari tahun ke tahun? Kenapa sih suami saya kok nggak kaya-kaya padahal dia baek banget orangnya?
Karena terinspirasi dari sebuah buku berjudul “100 Things To Do Before I Die”, saya pun tertarik untuk mengeksplorasi topik “kematian” ini. Di buku ini dijelaskan hal-hal apa saja yang patut dilakukan dalam hidup ini, supaya hidup nggak sia-sia, karena bisa jadi Tomorrow never comes, dan today is our last day. Kalau masih sering spontan bilang “Emangnya gue pikirin!” atau “Sebodo teing deh, yang penting gue happy”, dan pemikiran egois-egois lainnya, kudu pikir-pikir ulang. Salah satunya kalau kita benci dan kasar dengan seseorang, kita nggak peduli, padahal bisa jadi orang yang kita sakiti itu, mungkin aja, besok udah nggak ada lagi, dan kita udah nggak bisa ketemu dia lagi dalam hidup. Di rumah duka, banyak orang menangis kejer dan nggak terkontrol, nggak bisa melepas kepergian orang yang meninggal (biasanya orang terdekat : orang tua atau saudara atau sahabat), karena merasa sudah melakukan kesalahan yang menyakitinya, dan belum sempat meminta maaf. Memang ini teori yang belum tentu mudah dijalani, tapi patut dicoba, kita semua kudu berjuang ekstra keras, untuk baik sama siapa saja, kapan saja, dimana saja, karena bisa jadi hari ini adalah kesempatan terakhir kita melakukan itu.
Lalu, masih adakah hal-hal yang selama ini sering kita tunda, karena kita berpikir “jalan masih panjang”, “masih banyak waktu”, “kapan-kapan juga masih bisa”, atau “santai aja nanti juga masih bisa”. Kalau masih ada hal yang sering ditunda, kenapa juga nggak segera diberesin satu persatu. Dan masih adakah orang-orang di masa lalu yang kita benci banget dan kita belum pernah ada kesempatan untuk ketemuin dia dan minta maaf ke dia? Ini bagian yang cukup sulit, apa mungkin kita cariin satu persatu orang-orang yang pernah sakiti, dan kucuk-kucuk, bilang sama dia ”Eh, sorry yah...”. Kalau mau lakuin ini, sok silahkan, tapi bisa juga dengan melakukan hal lain, dengan punya niat yang tulus, untuk minta maaf dia dalam hati kita, dan maafin juga diri sendiri karena udah khilaf. Ada juga mungkin orang-orang yang pernah menyakiti hati kita dan sulit sekali melepas rasa dendam kesumat, huah...lagi-lagi, ini bagian yang nggak gampang, memaafkan orang yang jelas-jelas udah ngerusak hidup kita dan rencana-rencana kita. Ada satu tips ampuh untuk memaafkan orang yang pernah menyakiti kita, yaitu : dengan duduk tenang, pejamkan mata, dan bayangin orang yang kita benci itu waktu masih bayi dan polos. Pointnya adalah sejahat-jahatnya orang itu, dia pun dulunya adalah seorang bayi polos yang baik hati, namun lingkungan yang kotor membentuknya seperti itu, dan dia kurang paham harus bertindak seperti apa dan menjadi korban dari lingkungan dan pola asuh di sekitarnya. So, kira-kira apa yang ingin dan perlu Anda lakukan sebelum Anda hembusin nafas terakhir? - with a good heart, everyday is a good day – maeya 20071211 #22
No comments:
Post a Comment