Blame The Hormone
Jeng-jeng geulis, pernah merasakan serangan sedih mendadak? Uring-uringan dan jadi sensitive sekali tanpa sebab? Then, nggak berapa lama kemudian pergi ke toilet, dan barulah sadar...oow, si bulan telah dateng! Somehow, saya mengalami hal seperti ini : bertanya dalam hati ”kok gue belum ”dapet” yah?”, then besokannya langsung beneran ”dapet” ditambah dengan sedikit perubahan emosi yang drastis. Dari yang ceria, bisa langsung jadi sensitif dan gampang tersinggung. Biasanya, kalau mengalami situasi ini, saya dengan santainya pun bilang ”ah...blame the hormone...” Ya, wajar donk, gue lagi dapet, makanya gue sensitif. Dan beberapa bulan lalu, saya menceritakan pengalaman ini ke beberapa guru spiritual saya, dan langsung saja saya “dibantai”.
Nggak ada hubungan antara hormon datang bulan dengan emosi kemarahan. Mana boleh menyalahkan kondisi tubuh dengan kebiasaan emosional tidak terkendali. Dan segudang nasehat lainnya. Intinya, emosi seperti apapun bisa kita kendalikan, nggak peduli ada hormon A kek, ada hormon B kek. Dalam pikiran, saya masih bergumul, tapi...kalau berdasarkan hasil penelitian medis, ada kaitan erat sekali loh antara hormon dengan kondisi psikologis manusia. Alhasil, saya belajar juga untuk mengurangi dalih-dalih ”Blame The Hormone” dan belajar untuk mengendalikan emosi pada tanggal-tanggal rawan, yaitu tanggal ”dapet” saya. Walau masih sering loss dan kelupaan dengan tanggal rutin ”dapet” lalu kebablasan udah keburu bad mood, baru sadar, duh, mustinya menjelang tanggal ini harus lebih waspada, karena emosi bakal lebih labil. Nasehat paten yang bakal sering terdengar adalah : setiap hari harus menjaga perasaan, jangan hanya pada tanggal-tanggal tertentu saja, donk!
Kita Tersenyum karena Bahagia VS Kita Bahagia Karena Tersenyum
Carl Langer pernah melakukan satu penelitian, kalau ternyata ada hubungan erat sekali antara perubahan tubuh dengan perubahan psikologis kita. Simplenya nih – moga-moga penangkapan saya nggak salah, amin – selama ini kita mengira karena kita merasa bahagia makanya kita pun tersenyum. Tapi kalau kita lagi nggak bahagia, kita belum tentu bisa tersenyum dengan lepas. Ternyata, walaupun kondisi emosi lagi nggak bahagia, tapi kalau fisik kita tersenyum/ tertawa (dipaksa pun nggak apa-apa), lama-lama kondisi dari yang nggak bahagia pun bisa berubah menjadi bahagia. Meragukan teori ini? Coba dulu deh mending. Setiap kali udah mulai kesel, mulai stress, mulai mumet, segera tersenyum, kalau perlu tertawa terbahak-bahak (tanpa sebab pun nggak apa-apa, beneran deh!). Perhatikan baik-baik, setelah melakukan ini, perasaan berubah atau nggak. Di India, ada satu club ketawa, jadi sejumlah orang berkumpul untuk tertawa bersama-sama, tanpa stimulus apapun itu, pokoknya hanya berkumpul dan tertawa bareng, dan tujuannya supaya bisa lebih sehat secara mental. Di Jakarta juga ada terapi sejenis, hanya saja belum terlalu sering disorot. Dan reaksi pertama orang pada umumnya, kalau misalkan mendapat saran “ketawa aja terus, tanpa sebab juga nggak apa”, reaksinya biasanya akan seperti ini : “Idih, nanti gue dibilang orang gila, nggak waras!” Pilihan untuk mengurangi stress dan penat pun jatuh pada beberapa kegiatan rutin : nonton, ke mall, belanja, ngopi di satu cafĂ©. Hehehehe. Padahal ada kegiatan yang super murah meriah, eh malahan gratis, yaitu ketawa dan tersenyum aja, bisa memberikan efek yang besar banget buat kondisi psikologis kita. By the way, jadi keinget, ada satu buku berjudul “The Power of Smile” yang membahas kekuatan dari senyuman. Dan senyuman paling ampuh untuk menenangkan hati adalah kalau tersenyum melihat anak bayi dan anak kecil. Kalau ada waktu luang, perhatiin deh anak bayi dan anak kecil yang innocent yang kalau tertawa bisa tergelak-gelak, lama-lama kita bisa terbawa juga…hehehe…Yuu…mari tersenyum…
- with a good heart, everyday is a good day – maeya 20071124
No comments:
Post a Comment