Jakarta, 3 Agustus 2010
Baru memasuki hari kedua, dan saya deg-degan saat seorang teman bilang, "Kok elo jujur banget sih dengan segala tulisan elo itu". Shit! Langsung jiper, deg-degan, Am I doing shit or wrong? Baiklah, saya coba bertahan ya, masa sih baru gini aja nggak kuat.
Kejujuran itu penting, lately, untuk mengakui saya salah dan mengakui saya pernah salah, tetapi untuk bisa menerima respons dari kejujuran kadangkala membutuhkan keberanian. (Gokill... gue kok deg-degan dan masih deg-degan, sumpah deh).
Jujur nih, saya benar-benar sedang menikmati ruangan yang pernah berkutu busuk ini dan membuat sekujur kaki merah merah dan gatal, sambil terus menunggu waktu untuk berangkat liputan masih satu jam lagi menuju Kemang, and you know what, what i`m going to do? Mampir untuk melihat sebuah konser yang sebenarnya diboikot oleh para media karena dianggap ambivalen dengan kondisi dan situasi yang ada. Hmmm, simple aja sih saya, saya mau mampir ke Aksara bookstore sejenak untuk mencari buku favorit saya yang baru, lalu saya mampir ke konser itu, lalu pulang. Hidup ini banyak pilihan ya, dari tadi jantung ini berdegub, harusnya saya bisa menyempatkan diri untuk mampir ke tempat spiritual saya, tetapi saya tetap berada di ruang ini dan melanjutkan deadline yang ada, sambil terus berdegub kencang. Hellow, ...taksi udah dateng.. .aku cabsss duluuuu lanjut lagi ya
oh ya, yang penting jujur aja ya, hidup ini kadang penuh dengan pertanyaan dan liku-liku, dan ada momen gelap dimana setiap orang harus jujur mengakui, ya inilah hidup saya, so what, kalau saya begini, ya inilah saya, itu sajja duluuu
Baiklah lanjut, sekarang saya di dalam taksi di antara kemacetan kuningan asli super duper macet ga karuan, untunglah ga sering ke daerah selatan ini bener bener beruntung....
Beberapa hari ini saya banyak berpikir tentang hidup saya. Sempat bertanya, "Jadi hidup untuk apa ya?" Setelah melihat seorang lansia duduk di depan tv melewati waktu yang terasa lamban bergulir dan melihat beribu-ribu manager memperjuangkan nama dan kekuasaan demi uang, lalu menjelang tua dia akan menjalani proses yang sama yaitu menjadi tua, mungkin sama persis, duduk di sebuah sofa empuk dan membaca koran dengan kaca mata baca. Hal itu pasti terjadi. Jika hidup hanya sekedar untuk mendapatkan uang untuk makan, pakaian, dan rumah, lalu ketika semuanya sudah terpenuhi lalu apalagi yang ingin dicari? Sudah cukupkah dengan memenuhi target awam seperti itu.
Seorang teman baru pernah menangis kejer karena tidak betah dengan pekerjaannya lalu dia pindah kerja, semuanya karena untuk bertahan hidup dan melanjutkan hidup, disisi lain, seorang teman tidak pernah memikirkan hidup tapi hanya menjalani saja, sebodoh teing deh apa yang akan terjadi, toh sooner or later akan mati, tukas mereka.
Menjadikan hidup lebih bermakna seharusnya menjadi kebutuhan setiap manusia yang ingin membuat hidupnya lebih berisi. Tidak cukup hanya melewati hari dengan hal-hal yang memuaskan kbutuhan dasar saja. Lebih daripada itu we need more, we need a life yang bisa selalu mengingatkan kita how beautiful life is
Berlindung di bawah sebuah kebenaran adalah nyaman, tetapi berkabung di antara segala kebohongan adalah melelahkan. Saya pecinta kejujuran mencoba untuk jujur pada diri sendiri dengan sedikit dipaksa, saya membuktikan bahwa apapun menjadi mungkin dengan segenggam keberanian, senafas harapan, dan juga sebungkus doa yang tulus.
Saya percaya akan kekuatan doa tapi saya lebih percaya akan kekuatan mantra, dan saya percaya akan kekuatan getaran jiwa yang tersebar luas di alam semesta. Bagaimana jadinya jika segala sesuatu di bumi ini bisa ditebak dan tidak lagi menyisakan pertanyaan, mungkin hambar akan terasa.
Sighhh
Saya lelah mendadak. Emosi terkuras, saya lelah dengan pergulatan dan segala tuntutan norma yang seringkali memaksa saya untuk bertopeng dan berlindung di balik senyum tegar, seolah semuanya berjalan baik-baik saja dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan, begitujuga saya tidak akan mengelak dari kenyataan bahwa hidup gelap adalah mengerikan. Hidup dalam kegelapan jiwa ibarat menghancurkan dan meruntuhkan benteng ketulusan cinta dan saya menolak itu.
Tanpa sebuah kata, perasaan tidak terungkap, dan tanpa sebuah janji, komitmen tidak akan terwujud. Terimalah persembahan doa dan harapan saya yang satu ini.
Masih mau lanjut? Awas ini cukup melelahkan karena saya jarang pakai outline tapi saya percaya akan kekuatan kebebasan ekspresi kata tanpa batas jadi teruslah rasakan pergolakan ini ya.
Langkah pagi tadi saya temani dengan sebuah pertanyaan, mengapa saya harus marah saat dibilang saraf terganggu dan kepala goyang goyang, lalu kenapa saya harus marah saat dihina dan dipelototi, suatu saat toh kematian tidak memberikn kesemptn untuk kembli kn
No comments:
Post a Comment