Dan kata terakhir tidak selalu harus menyedihkan,
Tidak semuanya harus hitam dan putih, karena masih banyak warna lain yang lebih indah untuk kita berdua, bukan?
Argh, dia mendadak bilang : terima kasih yah, bilang seperti itu untuk diri ini. Dan kutermenung bertanya dalam hati. Apa maksudnya? Dan pertanyaan ini takkan mudah dijawab olehnya, hanya dia dan Tuhannya yang bisa menjawab dan bisa mengerti makna dari selenting kata-kata itu.
Sepertinya saatnya sudah tiba, ketika meniti kenyataan baru, bahwa cinta tidak seharusnya begini. Cinta bukan mengawang-ngawang tak berujung. Cinta bukan bermain-main tanpa lelah. Anak kecil pun harus tidur setelah bermain-main seharian. Begitu pula cinta, cinta tidak seharusnya dipaksa untuk terus menerjang deraan terjal yang melelahkan.
Tapi, hanya satu pinta hati ini. Bisakah kita tetap seperti ini saja? Tidak perlu ada kata terakhir untuk menyudahi seperti kisah-kisah roman yang hanya berujung pada dua pilihan : sedih atau senang saja. Dan bisakah kita tetap sedekat ini? Kubertanya bagaimana kabarmu? Lalu kau bertanya apa yang sedang kulakukan saat ini? Tanpa pertentangan, tanpa kebencian, tanpa kekecewaan terpendam, tanpa keluhan tersembunyi…Yang tersisa, hanyalah harapan bahwa kita ternyata masih bisa baik-baik saja, tanpa harus saling menyakiti, saling mengkhianati, ataupun saling melukai…
Cih… ada orang bilang, itu semua teori. Pokoknya, harus dipilih! Iya atau tidak! Tidak bisa di tengah-tengah seperti itu.
~ Kepala pening ~
Pernahkah merasakan dada sesak, kepala nyut-nyut, lalu melayang-layang, terhuyung-huyung, seolah siap terjatuh terkulai?
INT. – Sebuah Pusat perbelanjaan. – Tadi Siang –
Hampir saja kuterhuyung, kepala tak lagi kokoh, berat badan pun tak lagi seimbang lagi, sekejap kuseperti tidak memiliki tubuh ini. Dimana energi itu. Sempat terkuras dengan berbagai pertanyaan hidup.
~ Pertanyaan-pertanyaan hidup ~ Kepala semakin pening
Dan di saat kepala ini serasa mau meledak dan meletupkan berbagai kegalauan dan pertanyaan, ku malah berhadapan dengan seorang teman yang – entah karena angin apa – menghampiriku dengan segala pertanyaan berat yang selama ini telah menguras energi dan perasaanku. Dia seperti seorang malaikat yang hadir karena telah kuundang sejak lama, sejak kepeningan menemani mimpi-mimpiku di malam hari. Dan malaikat ini hadir untuk membantuku merapihkan benang-benang kusut yang belum juga bisa terurai. Dia hadir untuk menjadi teman untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang selama ini kusimpan sendiri dalam kepalaku, dadaku, tanganku, coretan di kertas sembarangku. Iya, dia telah sedikit membantuku, sekaligus menambah pertanyaan-pertanyaan baru yang memekakkan saraf-saraf otak ini.
Buat apa sih elo beragama?
Ketika ada masalah, gue punya pegangan hidup, dan gue mendapatkan jawaban dari masalah-masalah itu.
Dan agama bisa memberikan semua jawaban itu?
Gue yakin bisa, kecuali hal-hal yang memang sudah tertulis secara gamblang di kitab suci, kalau itu memang tidak ada jawabannya, dan ujung-ujungnya akan terjawab dengan : “Inilah karma, inilah takdir, inilah jalan hidup, ini memang sudah harus terjadi, dan sebagainya…”
Apa dengan menjalani agama, elo pun merasa puas dengan hidup elo?
Semuanya dalam proses, dan jujur saja, kadang kala, ada beban besar ketika menjalani semua ini, karena dimanapun gue berada, gue membawa agama itu, dan perilaku buruk nantinya bisa merusak makna dari agama itu.
Tapi agama tidak seharusnya menambah beban elo?
Iya…
Nggak bener kalau agama malah memberikan beban buat elo?
Begini, sederhana saja, seringkali orang beragama terlalu sibuk mengurusi hal-hal besar, mencoba membantu korban kelaparan, mencoba menolong korban perang, mencoba melakukan aksi sosial di luaran, hingga lupa kalau ada hal kecil yang seringkali terabaikan. Keluarga. Padahal keluarga adalah arena untuk membongkar semua kebobrokan hati ini, dan hanya di dalam keluargalah, semua sifat asli yang buruk ataupun baik bisa terkuak.
Tapi, seperti ada yang mensugesti diri elo, apa bener agama hanya seperti itu saja?
Entahlah, tapi di pikiran gue, ada yang kurang, ketika di ruang lingkup ini, gue belum bisa memberikan perubahan sederhana yang membahagiakan orang-orang terdekat.
Nanti elo bisa tertekan karena agama, kenapa tidak jadi diri sendiri saja apa adanya?
Bukannya nggak jadi diri sendiri, tapi… well, ini masalah prinsip, gue malu kalau di luar bisa baik, tapi di dalam kandang sendiri malah amburadul. Dan buat gue, ini penting sekali, ini pertapaan penting buat gue, dan ini misi penting yang besar dalam hidup gue, susah mungkin untuk dijelaskan. Ketika orang sibuk mengurusi politik besar di organisasi, gue lebih memilih untuk merapihkan kondisi di keluarga gue.
Apa elo berniat mengubah kondisi keluarga elo?
Nggak. Bukan seperti itu, tapi gue selalu belajar bahwa keluarga adalah cerminan paling terdekat, untuk tau sudah sebersih apakah hati ini. Bukan berarti gue merubah keluarga dan orang lain. Gue nggak bisa merubah orang lain, gue hanya bisa merubah diri gue sendiri, supaya tidak melakukan kesalahan-kesalahan seperti yang sudah pernah terjadi di riwayat keluarga gue.
Tetep saja, elo sedang memaksa untuk tidak menjadi diri sendiri, Sayang…?
Yah, mungkin bisa terlihat seperti itu, tapi inilah pilihan hidup gue, gue mencoba untuk lebih bahagia dan tenang, dan menyelesaikan tugas-tugas kelahiran gue, nggak hanya mengejar hal-hal yang selalu saja dikejar orang banyak. Dan gue pun pernah mengejar itu juga.
Oh ya, elo percaya dengan kekuatan karma?
Iya, percaya. Tiap orang punya karma masing-masing, dan punya kekuatan terpendam untuk mengatasi karmanya pada kehidupan kali ini. Gue pernah ada contoh nyata, seorang teman lama, mamanya meninggal ketika melahirkan dia, lalu dia giat menjalankan agama dengan harapan bisa mengatasi karma keluarganya (meninggal di usia muda), namun ketika dia melahirkan, dia juga meninggal. Kalau secara karma, kita mungkin bisa dengan mudah bilang, yah kok udah beragama tapi masih bisa mati muda juga? Tapi kalau dari sisi sains, tidak mengherankan, bisa jadi, dia memiliki kondisi tubuh dengan panggul kecil seperti mamanya, dan ketika melahirkan pun sulit sekali untuk mengeluarkan si bayi, seharusnya dia pun bisa menghindari karma ini, dengan memilih metode Caesar, jangan memaksakan diri untuk melahirkan secara normal. Ini salah satu contohnya. Dan buat gue, siapapun tidak berhak untuk menganalisa karma orang lain. Ketika ada orang yang bertahun-bertahun religius namun belum juga robah nasib, bukan hak kita untuk bilang ada yang salah dengan dirinya maupun dengan hati kepercayaannya. Tidak! Karma bukan untuk digunakan untuk menganalisa orang lain. Urus saja diri sendiri, itu sudah sangat-sangat cukup.
Yes, tapi jangan sampai salah kaprah dalam menilai karma itu sendiri. Seperti ini, misalnya, sering kali gue mendengar ada omongan selenting, kalau rajin berdoa, rajin berbuat baik, nanti bisa beruntung nasibnya, bisa menikah, bisa mendapat pasangan yang sempurna (kaya, baik, cantik/ ganteng, dsbnya), lalu kalau tidak menikah? Ah, berarti something wrong tuh dengan apa yang selama ini dilakukannya. Dangkal sekali jika agama hanya diukur dari berapa banyak mobil yang dimiliki seseorang, diukur dari seberapa mewah pesta pernikahannya dengan pasangan hidupnya, dan hanya diukur dari segala sesuatu yang kasat mata saja. Ada juga kasus, seorang wanita muda, di usia yang belia sudah mati tertabrak motor, lalu terdengar sayup-sayup, ada yang meragukan kekuatan agama, buat apa beragama tau-tau mati muda juga tuh. Agama pun dipersalahkan. Bukankah setiap orang akan mati pada akhirnya? Bukan berarti pasrah pada nasib yang ada, tapi kurang bijaksana jika hanya menilai sesempit itu saja. Manusia lahir dengan membawa jutaan karma di kehidupan masa lampau, buruk dan baik, dan tidak cukup jika hanya berbuat kebaikan dalam hitungan tahunan saja, lalu bisa sekejap menjadi sempurna, dan tidak juga bijaksana jika kita hanya memandang orang yang telah mati muda ini, telah gagal sebagai manusia, pada kehidupan kali ini. Memang, jika bisa lahir dengan usia panjang dan mengisi hidup dengan hal-hal bermanfaat, itu suatu rezeki besar dan keberuntungan besar, yang tidak ternilai. Tapi bukan berarti, ketika seseorang berhadapan dengan kematian, kita langsung menilai, ada yang salah dengan dirinya dan caranya menjalankan agamanya. Kalaupun memang ada yang salah, bukanlah tugas dan hak kita untuk menganalisanya. Sekali lagi, urus saja kejelekan diri sendiri, itu sudah lebih dari cukup. Selebihnya barulah mencoba memberikan manfaat bagi banyak orang, dengan ketulusan hati tentunya.
~ Pening sedikit berkurang ~ diskusi bersambung nanti yah…
Mengatasi kemarahan, kebencian, dendam, butuh banyak waktu, tidak bisa hanya dalam sehari dua hari saja.
Kantong ikan busuk seberat 1 kg yang dibawa selama seminggu, mirip seperti rasa benci dan marah kita karena hal sederhana, yang terus kita bawa selama bertahun-tahun lamanya, mulai dari bangun tidur sampai kembali tidur lagi. Tentunya melelahkan jika terus menggenggam erat kantong busuk itu, kenapa tidak kita memilih untuk melepaskan kantong itu dan membuang jauh-jauh aroma baunya dari hidup kita? Itulah kebencian, seringkali selama seumur hidup, kita membawa rasa kecewa, sedih, benci, marah kepada suatu kejadian atau orang-orang yang pernah mengecewakan kita, dan terus membawanya sepanjang hidup kita. Perlahan bau busuk (kebencian) pun menggerogoti kebahagiaan hidup kita.
Masihkah ada orang atau peristiwa yang saya benci dan sesali sampai saat ini?
No comments:
Post a Comment