Tuesday, October 02, 2007

Hilangnya Taman Lourdes

Jakarta, 2 Oktober 2007

“…Hidup menjadi begitu sederhana, ketika kita tau apa yang penting untuk dikejar dalam hidup kali ini…”

Well, ketika dunia menjadi riuh ramai dengan hal-hal hedonis, emosi sesaat, nafsu untuk memenangkan harga diri, dan juga obsesi untuk membuktikan siapa “saya” sebenarnya. Segelintir orang berlari-lari mengejar hal yang absurd dan entah apa makna yang ingin diperolehnya. Dan sebagian orang tergeletak dalam pertanyaan hidup : “Apa sih maunya mereka! Aneh sekali, melebih-lebihkan sesuatu yang biasa, membesar-besarkan hal yang sederhana, atas nama harga diri. Halah! Makan tuh harga diri, biar kenyang! Dalam hati ada yang bergumam…”

** Sigh **

Kulihat dia dari sebuah ruang penuh sesak, hanya dari kejauhan kulihat bayang-bayangnya. Argh, lagi-lagi, dia itu hanya manusia bodoh yang mencoba untuk terlihat sedikit pintar, dengan bergaya bak seorang raja minyak besar, nyatanya, dia itu kosong, nggak ada isi! Tapi, mencoba untuk mempesona untuk bisa dipuji nantinya. Kasihan. Hidup seperti itu mana bisa tenang. Mengharapkan pengakuan dari orang lain. Krisis percaya diri. Lari ke kanan lari ke kiri, bertanya-tanya “Hey, kamu suka aku kan…Hey, kamu nggak marah kan sama aku…Hey, apa sih yang bisa aku perbuat untuk kamu…”

Dan…

Di sebuah Taman Lourdes, penawar segala rasa rindu hedonis para manusia. Dewa Adramius, Dewa Jalayrus, dan Dewa Tiberius berdiri dengan jubahnya masing-masing. Jubah kejantanan kaum Adam di Taman Lourdes. Dewa Adramius, sosok tegar, suara bergelegar bak petir, berikrar akan memberikan penawar damai bagi bumi ini, berdiri tegap, menunjuk dengan jari kekarnya “Wahai, Kalian, Manusia-manusia, hitung saja sisa harimu, dan ku akan segera mencabut semua waktumu, kalian sungguh tak tau diuntung, menyia-nyiakan waktu untuk perbuatan bodoh tak berarti seperti itu! Lepaskan semua jubah manusia kalian, memalukan jika sampai Paduka Belarmius mengetahui apa yang kalian perbuat di sini…” Satu detik berlalu, Dewa Adramius lenyap seketika, hanya menyisakan bayangan ungu yang menyilaukan mata. Lalu muncullah Dewa Jalayrus, ketenangannya menusuk hempasan lirih jiwa, dia hanya diam dan melangkah pelan, melihat sekelilingnya, sekelibat manusia tertatih-tatih merogoh sisa nyawa di tanah kotor itu. Dewa Jalayrus masih terdiam, setengah meringis, menatap sinis para manusia, kapan tiba waktunya pulanglah kau ke taman lain yang lebih pantas untukmu. Kesenyapan royak, Dewa Tiberius kini muncul dengan sebilah pedang tajamnya, mengikis segala keraguan hati bahwa di Taman Lourdes inilah persinggahan terakhir para manusia dengan segala mimpi-mimpi palsu dalam gulana hatinya. Dewa Tiberius tak pandang bulu, ditebasnya satu demi satu…tanpa ragu, lirih lirih terdengar pelan, nafas-nafas berdesakan, untuk bisa menyisihkan sedikit raga untuk dibawa ke Taman Lourdes nanti. Dan Dewi Abremius terjaga dari mimpi seabadnya, melihat sepi, kosong, gelap, dimanakah Taman Lourdes yang pernah ditinggalinya, dinafasinya, kini, Taman Lourdes hanya tinggal mimpi…

** Wooozzzz **

Memalukan sekali melihat orang-orang yang sempurna ini masih merintih tidak bahagia karena kurang sempurna, padahal mereka sudah sangat sempurna, tapi mereka belum merasa cukup, dan terus mencari keburukan dari rupa ataupun raga mereka sendiri.

No comments: