Pertengkaran demi pertengkaran. Semua karena ada harta juga. Karena harta kami bertengkar. Karena harta juga kami bisa tertawa dengan lepas dan bebas. Harta membuat kami lepas kendali, emosi meledak tiada batas, ingin berteriak dan menangis di saat yang bersamaan.
Mengapa harta harus mengusik kedamaian yang selama ini sudah dibina. Kemarin malam baru saja kami tertawa terbahak-bahak di ruangan hangat yang sejuk itu, di antara hembusan angin malam yang mulai menusuk saraf-saraf tubuh. Lalu, hari ini pertengkaran kembali terjadi.
Siapa sangka, ternyata kami begitu haus akan harta, mudah sekali hanyut dengan godaan indah dari sebuah harta, iming-iming harta tepatnya.
Kenapa bisa lahir di keluarga ini, keluarga yang sedemikian pemarahnya dan mudah sekali tersinggung. Hati begitu lemah dan mudah sekali sakit, marah akan meledak ketika segalanya tidak sesuai dengan keinginan hati. Saya percaya, semua ini terjadi bukan karena kebetulan. Saya dengan sifat saya ini, dan saya bersama orang-orang di sekeliling saya ini. Ada yang mudah sekali tersinggung dan akan terus menyimpan dendam kesumat itu kalau perlu sampai ke liang kubur nantinya. Ada juga yang terjebak dengan keserakahan manusia, ingin sekali punya segala materi, uang, rumah bagus, mobil mewah, dengan segala cara mencoba mendapatkan semua itu.
Seperti yang seharusnya, kami, saya tepatnya, tidak boleh menyalahkan kondisi yang ada, semua ini terjadi karena memang sudah menjadi akibat dari perbuatan saya di masa lampau. Yang terpenting untuk saat ini adalah saya harus bisa menerima dan tidak lagi mencari-cari kesalahan di luar diri ini. Berat sekali. Tapi ini yang harus saya tempuh, tidak ada lagi jalan lain. Tiada guna menghitung berapa banyak kesalahan orang lain yang pernah menyakiti diri ini, tiada gunanya juga untuk membela diri dengan segala cara, melindungi diri dari kenyataan bahwa diri ini memang penuh dengan dosa.
Dosa? Dosa menjadi kemelut hidup yang tiada hentinya mengetuk ketenangan hati. Dosa masa lampau katanya akan terus dibawa sampai hidup saat ini dan hidup akan datang tergantung pada ketahanan diri menghadapi segala konsekuensi dosa yang sudah dialami. Siapa yang bisa menerima fakta seorang bayi polos pun sebenarnya sudah penuh dengan dosa, dari yang sudah saya pelajari, itu adalah hukum kewajaran yang tidak bisa dielakkan. Setiap orang membawa gudang karmanya masing-masing yang mengukir nasib hidupnya akan bahagia atau tidak.
Perasaan sedikit kosong dan hampa, lagi-lagi terusik dengan keramaian awam. Ingin sekali enyahkan semua ini, enyahkan keberadaan dosa. Tapi dosa tidak akan pernah bisa lepas, sebelum menebusnya dengan sebab yang setimpal. Peluh mulai menetes, pertanda kelelahan perjalanan yang tiada ujung akhir. Kemanakah akan berlari diri ini tanpa adanya kebenaran yang sesungguhnya. Sudahlah. Lupakan saja, mungkin ini yang terbaik.
No comments:
Post a Comment