“…Kalau tahu akan begini jadinya, lebih baik tidak menikah saja sekalian…” Penderitaan sepertinya tidak pernah berhenti berkunjung ke dalam ruang kehidupanku. Dulu, aku bukan pemilik hidup seperti ini, dulu aku penuh dengan keceriaan, dulu aku penuh dengan segala pengharapan, dan dulu aku memiliki segalanya. Udara pun bebas kuhirup. Cahaya pun kumiliki tanpa harus berebut.
Kini, segalanya berubah dalam sekejap. Saat ini kulihat dua sosok mungil di hadapanku, wajah polos tak berdaya mencoba untuk berharap, tetapi sayang sekali tidak ada lagi harapan yang bisa digenggam bagi mereka. Aku menangis melihat mereka, bagaimana mungkin dengan tangan mungil dan langkah kecil mereka itu, mereka harus bertarung sendiri dalam hidup yang keras ini.
Aku kembali tertidur. Kutanya kepada diri ini, di kedalaman hati yang terjujur, siapakah yang menjadi penghalang segala harapan ini. Apa yang membuatku bisa menjadi terjerembab dalam segala kondisi dan situasi ini? Pertanyaan yang terus bergulir, mulai membuat kepala ini pusing minta ampun. Tidak tahan, aku butuh obat penahan sakit dan nyeri ini. Semakin aku berpikir keras mengenai hidup, rasa nyeri akan datang dan tusukan-tusukan perih serasa menghunjam pikiran ini sendiri. Maafkan, pikiran ini seperti bukan milikku lagi.
Seharusnya, akulah yang bisa mengendalikan semua ini, tapi ketika kulihat saat ini juga dua sosok dengan tangan mungil halus itu, berdiri kaku tak tahu apa yang harus mereka lakukan. Tak tahan jadinya, aku pun berteriak dalam hati dan kekosongan, sepi ini, …”…andai saja aku boleh memilih, aku tidak ingin jalan ini…”
******
“…setiap orang memiliki karma masing-masing…”
Kudengar sayup-sayup penjelasan dari seorang pemuka agama di tempatku beribadah, mencoba menjelaskan mengapa setiap orang berbeda, mulai dari nasib, wajah, sampai dengan cara pemikirannya. Karma. Sebuah kata yang seringkali mengusik diriku akhir-akhir ini. Rasanya belum bisa percaya penuh dengan apa yang disebut karma. Jika karma memang ada, siapa yang membuat karma itu ada? Jika segala kejadian dalam hidup ini terjadi karena terhubung dengan karma dari masa-masa lain sebelum sekarang, siapakah yang menghubungkan semua ini. Pikiranku mulai menegang kembali dan seperti biasa, rasa nyeri kembali datang dan menyusupi benang-benang saraf yang membuat tubuh ini bergetar tak karuan.
Bayangan dua sosok mungil kembali membuatku terjaga. Aku ingin memeluk mereka, tetapi kami tidak bisa lagi bersentuhan. Aku ingin memanggil nama mereka saja, tetapi kami sudah terpisahkan benteng besar yang mengikat kami pada perbedaan.
Semua ini terjadi begitu cepat. Beberapa hari yang lalu, aku berjalan sendiri di sebuah jalan kecil, kulihat di sekelilingku penuh dengan orang-orang yang sedang berarak-arak untuk menyuarakan sebuah kebebasan. Ya. Itu yang disebut demo. Demo yang terus muncul dan mengusik ketenangan hati, tapi aku rindu ketika demo tidak lagi hadir menemani hidupku. Aku berdiri di balik tembok dekil penuh goretan yang tidak jelas apa bentuknya. Kulihat sebagian orang mulai berteriak sambil melempar-lemparkan batu, sepertinya mereka sangat kesal, kesal sekali, karena tidak bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan. Tak lama kemudian, sesuatu yang keras sekali melayang di kepalaku. Sejak saat itulah, aku terkapar sambil melayang-layang memandang dari kejauhan dua sosok mungil kesayanganku, yang tak lain adalah dua anakku. Mereka tidak pernah tahu mengapa akhirnya harus melihatku terbaring seperti ini. Mereka menjalani kisah hidup seadanya saja, sambil sesekali melongok ke belakang. Bertanya, kemana yah mama hari ini. Siapa sih yang sudah merebut mama dari aku. Pertanyaan-pertanyaan khas anak kecil yang membuat sebagian orang tersendat-sendat dan gagap untuk menjawabnya. Siapapun dia, tidak pernah tahu apa yang akan terjadi dalam hidup.
******
“…kasihan sekali dia, hidupnya terlalu menderita, pernah saya dengar, dia berkali-kali bilang kalau dia lebih baik tidak menikah jika tahu akan terjadi seperti ini…”
“…ah…ya…ya…dia wanita yang kuat kalau dipikir-pikir….”
Dari kejauhan terdengar percakapan dua orang wanita setengah baya, membicarakan seseorang, pastinya. Membicarakan betapa hidup orang itu penuh dengan kesulitan, betapa merananya jika menjadi orang itu, dan betapa tak berdayanya orang itu terhadap nasibnya sendiri. Hidup sudah penuh tekanan, dan di sisi nun jauh dan nun dekat, selalu terdengar suara-suara kecil yang merenungkan hidup si pemilik kesusahan itu. Manusia memang hidup dalam dua pilihan, sebagai manusia sosial dan sebagai manusia individual. Di saat sendiri, seseorang mendengar apa yang dia inginkan dan melakukan apa yang seharusnya dia mau. Di saat lain, seseorang menjadi sosok yang penuh dengan kendali dari luar. Pilihan sepertinya muncul dari sisi luar, bukan lagi dari sisi kedalaman yang tegar.
Di malam ini kutermangu di hadapan layer yang sorotnya mulai menyilaukan mataku dan membuat mata nyut-nyutan. Sudah malam, kudengar alunan gitar akustik yang tenang tapi terlalu sendu untuk didengar sering-sering di malam hari pula.
Beberapa hari yang lalu…
“…sepertinya kamu sudah terlalu berlebihan, kamu sudah masuk ke jalur yang seharusnya bukan porsi kamu….”, seorang lelaki dengan nada agak tinggi menatap tajam ke arahku.
“...jujur, ini tidak ada unsur apapun juga, ini semua tulus, dia sahabatku, dan aku harus menolongnya...”, seorang gadis muda mencoba menjelaskan apa yang sesungguhnya ia rasakan.
“…udah deh, cape….cuma kamu yang paling benar di dunia ini, cuma satu keinginanku, tolonglah jangan sakiti lagi orang-orang terdekatmu…”, pintu digebrak dengan kencang sekali. Marahkah lelaki itu. Sudahlah, tidak usah digubris. Dia memang selalu saja begitu.
Di malam yang dingin, angin menusuk kulitku, bulu roma membuat aku merasa makin dingin dan tegang. Di malam ini, sudah kuputuskan untuk memilih jalan yang selama ini kuinginkan. Apa sebenarnya yang kuinginkan? Tidak ada jawaban pasti yang kian datang pada diriku.
Lelah…
Selalu saja kuucapkan kata lelah…
Hati lelah…
Tubuh pun menjadi lelah…
Sudah cukupkah kukatakan lelah…
Tubuh menjadi lelah ketika hati kerapkali merasakan lelah…
Lepaskan semua kelelahan…
Regangkan keseimbangan tubuh dan hati yang selama ini telah hilang…
Ibu lelah dan Bapak lelah, sudah lama kuberpikir, bagaimana mungkin jika si lelah enyah saja dari hidup ini…
Apakah semua akan baik-baik saja jika kulempar jauh-jauh perasaan dan kata lelah itu?
Selamat datang, kedamaian. Di saat lelah, masih selalu kuimpikan ada kedamaian suci menghampiriku, tapi dia tidak datang juga.
Terang saja, kedamaian sedang bersembunyi di balik ketidaktentraman dalam hati ini.
Damai takut keluar dari persembunyiannya.
Takut jika dia keluar, semuanya akan menjadi berubah lebih buruk lagi…
Angin malam, pikiranku mulai menerawang tiada arah, mencoba menyusuri kecepatan sekejap pikiran yang pesat bagai kecepatan cahaya dan bunyi.
******
Tadi sore, kutuliskan sebuah kalimat “apa yang tidak terlihat seringkali tidak sama dengan yang sesungguhnya”. Kutuliskan itu sebagai gambaran diriku. Kuakui, aku seringkali berbeda, aku seringkali menyerempet batas-batas kewajaran yang seharusnya kupatuhi. Aku ingin menjadi beda. Aku ingin special dan memuaskan rasa penasaranku.
Writer`s block mulai terjadi. Sudah teruskan saja menulis dan mengetik, itu nasehat dari seorang penulis senior yang kukenal. Jangan terjebak dengan apa yang disebut sebagai writer`s block. Once you got trapped by that phenomenon, you`ll find yourself without control and you might lose your way and your final destination. What kind of destination? Who cares about that? Yang terpenting adalah bagaimana kembali mengatur segala kepingan pikiran yang sepertinya sudah mencar-mencar tidak beraturan. Inikah efek dari musik yang tidak sesuai dengan nuansa hati dan aroma pikiran?
Anyway, seminggu ini cukup berat, banyak pilihan dan keputusan yang sudah kujalani. Keputusan untuk melakukan apa yang ingin kupilih, keputusan untuk bisa menunjukkan bahwa aku punya prinsip yang tidak bisa diusik seenaknya saja, aku bisa berani menunjukkan kalau aku tidak senang diperlakukan tidak adil. Hm…terlalu banyak ketidakadilan yang kualami karena perilakuku sendiri yang tidak bisa berani bersikap adil dan wajar bagi hidup ini.
Darimanakah keberanian itu muncul? Dan kebijaksanaan untuk menentukan mana yang baik dan mana yang kurang baik. Semuanya pasti ada sebabnya, ini semua adalah akibat dari tumpukan-tumpukan kisah masa lampau yang sulit untuk direkam satu persatu dan sulit rasanya untuk mengkategorikannya secara terperinci.
Besok kembali seperti semula. Writer`s block. Sebuah fenomena yang akan mampir sejenak dan mengutak-ngatik pikiran dan permainan kata-kata ketika sedang menulis. Welcome to a writer forest. Disana pohon-pohon kata sudah menanti, dengan batang-batang yang dingin dan keras. Perlahan tapi pasti menjadi sumber keberanian untuk mematahkan block-block. Writer`s block.
No comments:
Post a Comment