Aku bekerja di salah satu stasiun televisi yang cukup terkenal di negaraku. Untuk bisa diterima di perusahaan cukup besar ini, tidaklah mudah. Banyak sekali serentetan tes yang rumit dan sulit. Aku sendiri tidak mengerti bagaimana bisa aku diterima. Sejak duduk di SD, aku sudah dikenal sebagai anak yang aneh, penyendiri, bahasa kerennya “Freak” dan sulit dimengerti. Hari-hariku sampai aku berusia 28 tahun sekarang ini, aku habiskan dengan kesendirian dan kesepian.
Setiap hari pulang kerja, aku menuju kost mungil dengan biaya yang mungil juga. Disana aku sendirian. Ada sih teman se-kost, tetapi mereka semua sepertinya sibuk dan tidak ada waktu untuk bersosialisasi dengan aku yang aneh ini. Yup. Banyak orang bilang aku aneh, walaupun dengan bahasa yang halus atau nada menghentak di belakang kupingku. Pernah aku dengar atasanku menggerutu kepada rekan kerja yang lain.
“Heran deh aku, itu orang harus diapakan lagi yah….Nggak ngerti aku cara menghadapinya!!!”
Tidak jarang juga ada yang meledek dengan lembut betapa anehnya selera musikku. Di zaman secanggih ini, aku justru sangat menikmati alunan musik Jawa Keraton yang bisa membuat teman-temanku terkantuk-kantuk atau sedikit mual mendengarnya.
“Lalu, Mas, kalau liburan, ngapain aja nih?”, gadis luwes yang pernah kuceritakan itu sepertinya masih berusaha untuk menjalin komunikasi dengan aku.
Hmm…..aku diam sejenak, tersenyum, sambil menatap ke arah luar jendela.
“Ya…paling di kost aja…”
“Nggak jalan ke mall, Mas?”
“Aku nggak gitu suka yah..”
“Ooo….”
“Aku lebih sering seharian naik bus ke arah Bogor, lalu langsung balik lagi ke sini…”
“Maksudnya?”
“Ya…aku nikmati perjalanan di bus itu aja, biar waktu terasa lebih cepat dan malam pun segera datang…”
“Loh…h eh…seru juga ya sepertinya, Mas…”
“Ya begitulah….kalau kamu?”
“hmm…kalo aku anak mall, Mas, kalo weekend aku pasti ke mall dan cuci mata liha-lihat barang yang lucu-lucu…”
“Kalau aku nggak suka dengan suasana yang berisik seperti di mall..lebih suka suasana di pedesaan Jogja…”
Percakapan singkat dengan gadis belia itu lumayan menghiburku. Aku kembali melanjutkan kesibukanku. Hah. Ini bukan kesibukan, tepatnya adalah rutinitas atau keharusan karena aku bekerja disini.
Makan siang telah tiba. Semua rekan-rekanku sibuk memikirkan akan makan dimana, mau makan apa, mau ajak siapa saja. Tapi aku? Tidak ada yang berniat mengajakku lagi sejak beberapa kali aku menolak ajakan mereka. Aku menuju kamar mandi mencuci tangan. Bolak-balik mencuci tangan berharap waktu segera lewat setiap kali aku sibuk bolak-bolak kamar mandi. Aku juga ingin menunjukkan aku juga sedang sibuk, aku tidak perlu diajak makan siang bersama.
Suasana ruangan kantor sudah sepi. Semua sudah keluar makan siang. Hanya ada 2-3 orang saja yang memang terlalu sibuk sehingga tidak sempat meluangkan waktu untuk makan. Aku biasanya makan ketika mereka semua sudah kembali ke ruangan. Entah apa yang kuhindari, aku sebenarnya ingin sekali bergabung dan terlibat dengan obrolan seru mereka. Bergaul dan berkomunikasi dengan mereka. Namun, hal itu sepertinya tidak cukup mudah. Aku sudah terlanjur dianggap aneh dan mengganggu suasana keakraban mereka saja.
Akibatnya…
Ini adalah akibat dari perbuatan, pikiran, dan perasaan burukku sendiri. Aku yang menilai negatif diriku dan aku yang tidak bisa menghargai diriku sendiri. Aku sendiri saja tidak bisa menghargai diri sendiri, apalagi orang lain.
Aku pun menjadi orang”kecil” yang sering terlupakan. Aku tidak berharap untuk mengingatkan mereka untuk tidakmelupakan aku, tetapi aku juga tidak berharap mereka terus melupakanku seperti ini. Aku masih punya harapan terpendam untuk diterima dan diajak ngobrol bareng.
Jika harapan itu hanya sekedar harapan, aku juga sudah siap menerima kenyataan bahwa aku memang tidak perlu lagi berpikir keras untuk bisa menjadi bagian dari mereka.
Sebentar lagi jam pulang kantor…
Di saat mereka semua bergaduh-gaduh girang karena segera bisa pulang ke rumah. Aku sibuk mengetik hal yang tidak jelas juga, supaya terlihat sibuk dan tidak diajak pulang bersama. Loh?! Bukan, bukan, mereka juga tidak akan mengajakku pulang bersama. Tetapi imajinasiku mengatakan mereka akan mengajakku pulang atau sekedar mengucapkan salam perpisahan…
“sampai jumpa besok…”
Aku masih tetap berkutat sendiri dengan kesepian di pojok sana. Mejaku terletak di pojok sebagai simbol aku yang terpencil dan tanpa disengaja…terlupakan.
No comments:
Post a Comment