Oleh : Kristi Poerwandari, Psikolog
Bayangkan Anda seorang anak kecil berusia delapan tahun, di panas terik berjalan kaki cukup jauh pulang sendiri dari sekolah. Anda kesepian, kelelahan, dan kehausan. Begitu sampai rumah Anda berlari masuk, menarik gelas dari meja makan, tanpa sengaja menjatuhkannya.
Ayah atau ibu kaget, menghampiri dengan tubuh tegang. Bukannya menunjukkan kekhawatiran, mereka mulai memaki-maki. Mengguncang dan memukul Anda: ”Dasar goblok. Anak tidak tahu diuntung! Selalu bikin masalah. Itu gelas bagus tahu?! Hari ini kamu dihukum tidak dapat makan siang!!” Mungkin Anda sangat ketakutan, tegang, dan bingung, sementara badan terasa sakit akibat pukulan.
Dengan gerakan kacau, Anda mulai memunguti pecahan gelas, mungkin begitu paniknya sehingga tangan tertusuk dan berdarah. Ayah atau ibu sama sekali tak peduli, tegak berdiri penuh kebencian.
Luka akibat tertusuk pecahan kaca mungkin sembuh dalam waktu singkat, tetapi luka batin? Bila mengalami hal di atas, mungkin kita akan menghayati begitu banyak perasaan negatif: takut, bingung, kesepian, sedih, marah, dan menyesali diri, merasa bodoh, tak berdaya, mungkin juga sangat marah dan benci kepada orangtua yang telah berlaku tidak adil. Kita juga akan merasa sangat malu karena orangtua melakukan hal begitu buruk dan karena kita diperlakukan demikian buruk.
Trauma psikologis adalah suatu kejadian yang menghadapkan kita pada ancaman genting yang overwhelming, berdampak pada tergoncangnya keseimbangan. Ketika itu terjadi, kapasitas menyelesaikan masalah dari otak kehilangan kemampuan mengendalikan situasi. Kekagetan dan ketakutannya dapat sangat melumpuhkan, apalagi bila dibarengi sakit fisik.
Luka batin akibat perlakuan orang terdekat sering lebih menghancurkan. Apalagi bila itu terjadi berulang.
Psikoanalisis mampu menjelaskan rinci betapa perlakuan buruk dari orang terdekat sejak masa awal kehidupan dapat menghantui hingga masa dewasa. Luka batin yang tak terobati mungkin menghancurkan kepercayaan kita kepada orang lain. Luka batin juga sering menghancurkan kepercayaan kita kepada diri sendiri (”Apakah aku cukup baik untuk dicintai?; ”Adakah yang sungguh-sungguh peduli kepadaku?”)
Luka batin mencerabut jangkar psikologis atau akar terdalam dari rasa aman manusia. Bagaimana orang merespons luka batinnya?
Tergantung karakteristik kepribadian, sosialisasi yang diterima, dan keseluruhan konteks hidupnya. Rasa marah mungkin terbawa hingga dewasa. Sikap menghukum dari orangtua diadopsi dalam bentuk mudahnya individu marah dan menghukum pasangan hidup atau anak. Atau rasa tidak aman yang kuat menyebabkan kita membentengi diri akibat takut dilukai.
Ada yang jadi sinis, punya kebutuhan berlebihan tak pernah terpuaskan akan seks, kekuasaan, prestise, dan lainnya. Intinya, hal-hal itu menjadi kompensasi ketidakyakinan kita sungguh-sungguh pribadi berharga dan patut dicintai.
Luka batin dalam komunitas juga berdampak bervariasi. Proses psikologis seperti generalisasi dan pembakuan stereotipe dapat menggulirkan ribuan masalah lebih lanjut.
Pengalaman buruk langsung maupun tak langsung (yang dilihat dan didengar) dengan kelompok tertentu (polisi, perempuan, guru, orang kaya, individu dengan karakteristik fisik tertentu) dapat mengental dalam ingatan dan berpengaruh terhadap perilaku kita.
Membangun kebahagiaan
Berikut cuplikan surat seorang gadis, sebut saja Cinta, di Jakarta, yang penuh luka batin akibat tindakan orangtua sejak masa kecil dia.
”Mbak, aku melakukan kesalahan lagi. Ibuku tadi marah-marah ke tukang yang sedang merenovasi rumah. Aku takut mereka dendam kepada Ibu dan malah kenapa-kenapa, jadi Ibu ku tenangkan. Eh, malah aku dimarahi habis-habisan. Katanya aku sok tahu, sok mengatur, durhaka. Mama teriak-teriak, lempar barang hampir kena ke kepalaku. Aku dituduh sengaja bikin Mama jadi stres supaya Mama masuk rumah sakit jiwa…. Aku tertekan banget, aku nangis berjam-jam. Kalau sudah begini, aku jadi ingin menghubungi lagi mantan pacarku. Tetapi, jangan khawatir Mbak, aku tahu itu bukan penyelesaian yang baik. Jadi, aku mau tidur dulu saja. Capekkkk.” (Dia baru putus pacaran dengan laki-laki beristri dan mulai menyadari hubungan tersebut tidak memberi manfaat apa pun bagi dia).
Dalam surat lain, dia menulis: ”Mbak, aku tidak mau jadi orang yang sama seperti ayah-ibuku yang penuh kepahitan dan menyakiti anak-anaknya. Aku sakit hati sekali kepada mamaku, sampai sekarang belum bisa ku hilangkan. Aku tahu sumber kekacauan emosi ibuku: ia bertahan hidup 32 tahun dengan suami kasar, sering menghina dan main tangan. Tadi ku dengar ayah maki-maki ibuku: ’Goblok kamu, anjing, mampus!’ Aku ingin menyayangi diriku sendiri. Pakai ukuranku sendiri dalam memahami diri sendiri, bukan ukuran orang lain, bukan ukuran mamaku atau papaku yang menganggap aku kurang pintar, kurang membanggakan, kurang cantik, kurang kaya, dan entah apa lagi.”
Ia akan terus bertahan di bidang kerjanya yang tidak disukai orangtua karena gajinya tidak sebanyak yang mereka harapkan. Ia juga akan melihat sisi-sisi positif dirinya, tidak dirontokkan komentar menyakitkan orangtua (”Kalau kamu gayanya begitu, enggak akan ada cowok mau. Paling yang datang orang-orang goblok, tukang porot, yang mau ambil duit kamu!”). Meski sulit, Cinta sedang berusaha keras membangun rasa cinta kepada diri sendiri dan tampaknya akan berhasil.
Bagaimanapun, mencegah jauh lebih mudah daripada mengobati. Bayangkan bila anak yang memecahkan gelas secara tak sengaja itu dihampiri orangtuanya yang khawatir, kemudian memeluknya, menenangkan, dan membantu membersihkan pecahan kaca. Ketakutan dan kekagetan anak akan berganti dengan kelegaan, perasaan terlindungi, terbasuh kasih sayang.
No comments:
Post a Comment