Monday, September 03, 2007

Benci Untuk Mencintai, Cinta Untuk Membenci

Jakarta, 3 September 2007
Perasaan membenci? Kalau saya mau jujur, sampai detik ini, walaupun sudah beragama, namun saya masih terbiasa untuk melakukan satu hobby jelek yaitu : membenci. Membenci itu suatu kegiatan yang dilakukan berulang-ulang, sulit dikendalikan, dan proses terbentuknya sama seperti kebiasaan untuk minum air sesudah makan. Manusia itu dapat dengan mudah mempelajari suatu hal, asalkan dilakukan berulang-ulang, bahkan keinginan untuk membunuh pun bisa dilatih (mengerikan, bo!). Dihitung-hitung sampai saat ini ada sekitar 2 orang yang masih saya benci. Sebenarnya nggak benci-benci amat, tapi ada perasaan mengganjal kalau melihat wajahnya atau mendengar namanya disebut. Kalau mau ditotal dengan jumlah orang yang saya benci tahun-tahun yang lalu, bisa lebih dari 2, tapi waktu menulis ini nih, saya berusaha mengingat-ingat siapa saja yang pernah saya benci yah, sebenarnya banyak, tapi pada detik ini, rasa benci itu sudah hilang, dan membayangkan wajahnya saja rasanya netral dan saya bingung bagaimana mungkin saya bisa benci dia yah dulu. Ini namanya perasaan. Nggak tetap, bisa berubah. Dan saya pun ambil kesimpulan kalau saat ini saya lagi benci 2 orang, belum tentu di masa-masa mendatang saya masih benci sama dia.
Sekarang gantian, soal “dibenci”, kalau mau dihitung-hitung, dan saya perkirakan, mungkin ada sekitar 8-10 orang yang membenci saya, saya bilang begini, karena saya memang pernah melakukan hal buruk yang menyakitkan buatnya.
Di masa kecil, ada 1 orang yang sering saya benci, dan akhirnya dia pun membenci saya banget. Teman sebangku yang dulu sangat menyebalkan sekali, mau tau kenapa? Well, sedikit beraroma tidak enak, karena dia sering mengemut jarinya sehingga jarinya pun beraroma air liurnya (yaks….) dan namanya juga anak kecil, saya nggak mengerti bagaimana cara menghadapi orang seperti itu. Saya pun sering melakukan aksi-aksi penentangan kebiasaan jeleknya mengemut jari dan menyebarkan aroma yang tidak enak itu. Sekarang sudah puluhan tahun berlalu, belum sempat ketemu lagi, kalau bisa ketemu lagi, saya beneran, serius, mau bilang, sorry yah, tapi beneran deh waktu itu elo bau banget, gue nggak tahan, kalau tau begitu, kan bisa aja yah, saya tutup hidung atau semprot aja wangi-wangian supaya tidak merasa terganggu dengan aroma anehnya itu. Well, itu orang pertama di masa kecil saya.
Lalu orang kedua, di masa remaja, pernah juga saya melakukan hal buruk, tapi syukurlah dua tahun kemudian kita malah jadi temenan akrab, dan bisa ketawa-ketawa kalau inget perlakuan “gila” saya ke dia. Dan secara, masa remaja adalah masa pubertas, saya pun bisa bilang, sorry yah waktu itu maklum lagi “dapet”, jadi bawaannya kesel dan mau marah aja (padahal sih memang dasarnya pemarah aja).
Yang ketiga, teman sebangku saya, lagi-lagi, masalah yang sama, karena dia jorok! Yaks. Dia suka menggali lubang hidung, lalu menempelkan kotoran hidungnya di meja kelas. Oh migosh, kok bisa yah kotoran dimain-mainin seperti itu. Dan kalau punya pengalaman yang sama, pasti tau deh, kotoran itu pun bauuuu….kalau misalkan dimain-mainin. Belajar dari pengalaman, saya sudah lebih mengerti cara menghadapi orang begini, cuek aja, kalau nggak sabar sesekali saya tegur, kalau dia nggak mau berubah juga, saya yang berubah. Saya kasih aja tissue tiap kali dia mulai beraksi dengan penggalian hidungnya. Dan syukurlah nggak lama kemudian, saya dipindahkan duduk. Amin. Doa saya terkabul.
Kenapa saya mengira dia benci saya? Karena saya pernah bilang kalau dia tuh jorok banget deh! Mustinya sih dia nggak inget lagi, tapi karena saya yang berbuat, saya ingat, dan saya merasa bertanggung jawab dengan apa yang dia rasakan waktu itu.
Selanjutnya orang keempat, tepatnya sih saya yang mbenci dia, terus malah kebalik dia sekarang yang mungkin mbenci saya, alasan klise : karena saya nggak bisa menepati janji untuk menjadi sahabat yang setia buat dia walaupun badai menghadang sekeras apapun itu. Selama 4 tahun kita tuh berjanji bakalan terus bersahabat walaupun ada masalah seberat apapun (kok “pun-pun” aja yah gue nulisnya), lalu seiring berjalannya waktu, segalanya berubah. Intinya aja deh yah : tadinya kita temenan, then saya suka dia, eh dia nikah dengan orang lain. Ya wis, beres! Dan demi keamanan bersama, udah deh, saya nyerah, melepaskan saja persahabatan yang sudah dibina begitu saja. Dianya bete!
Ada orang masing-masing berinisial MR,MT,BC,KS,KO pasti deh benci saya. Apa alasannya? Biar saya aja deh yang tau, sorry.
Lalu ada 1 orang teman lama yang mungkin dulu pernah benci saya (nggak tau deh sekarang masih apa nggak), karena saya pernah memberikan kerugian buat dia, walau tanpa saya sengaja loh, seharusnya dia yang mendapatkan satu keberuntungan, tapi keberuntungan itu malah saya yang menerima, kalau saya jadi dia, saya pasti gondok dan kesel, dan secara manusiawi, akan ada sedikit rasa benci kenapa sih saya ada. Hehehehe…syukurlah, dengan berlalunya waktu, saya dan dia sudah jarang bertemu lagi dan dengan terpisahnya saya dan dia, saya yakin, itu buat kebaikan kita berdua, kalau orang bilang, nggak boleh membenci, membenci itu dosa, dsb dsbnya, saya berpendapat, kadangkala harus ada jarak yang memisahkan dulu untuk sementara waktu, supaya rasa benci itu bisa terkikis. Kebayang nggak kalau kita harus terus-terusan berhadapan dengan orang yang kita benci, dan bersikap seolah-olah tidak ada apa-apa kok, semuanya baik-baik saja, hm, kalau itu bisa dilakukan, well itu hal yang luar biasa, tapi kalau nggak bisa dilakukan, nggak apa-apa, it`s very normal and human, I guess.
Yang terakhir, masih hangat, baru-baru saja, saya hanya menebak kalau dia adalah orang kesepuluh yang mungkin benci sama saya. Karena saya pernah bertutur kata tidak sopan, tidak menghargai dia, tidak tau terima kasih sama dia, dan juga tidak respek sama dia. Oh shit. Padahal saya udah sering belajar kalau setiap orang itu patut untuk dihargai, tapi selalu aja khilaf, tau deh, namanya juga manusia, manusia itu beda tipis sama binatang, bedanya manusia itu bisa bilang terima kasih, kalau binatang nggak bisa bilang terima kasih, karena bahasanya beda dengan bahasa manusia, itu aja.
Kalau mau diruntut, proses membenci itu terjadi karena :
1. Iri hati, sirik kalau orang lain lebih hebat dari kita.
2. Takut tersaingi.
3. Diperlakukan tidak adil, atau dianggap rendah oleh seseorang.
4. Kita tidak bisa mendapatkan apa yang kita inginkan.
5. Kalau kita dianggap jelek atau bodoh atau mungkin nggak bisa apa-apa.
Kecenderungan untuk defense dan melawan dan melindungi diri pun muncul kalau ada orang lain yang mengusik kenyamanan dalam diri kita. Bahkan kalau lagi sayang dengan seseorang, tapi nggak bisa mendapatkan hatinya, rasa benci pun akhirnya muncul, karena 5 alasan di atas tadi. Kalau nggak bisa mendapatkan cinta yang kita mau dan kalau merasa terganggu dengan seseorang (deg-degan dengan seseorang atau risih kalau bersama dengannya). Ini hanya hipotesis saya, lho, 5 alasan ini bisa jadi hanya bersifat subyektif saja, karena tiap orang berbeda-beda, dalam alasan membenci dan dibenci pun akan beda-beda.
Membenci itu aktivitas yang sungguh melelahkan, hampir setara dengan 1 jam bermain treadmill di gym, bedanya kalau olahraga kan keluar keringat, kalau membenci itu nggak keluar keringat. Kalau nggak mau buang energi dengan membenci, yah, alihkan energi ke hal yang lain. Jangan paksakan diri untuk “tidak membenci”, karena berdasarkan teori “Law of Attraction”, otak itu nggak mengenal kata “tidak”, semakin kita berusaha untuk tidak membenci, yang terjadi adalah rasa benci itu semakin menguat saja. Oleh karena itu mendingan alihkan saja pikiran ke hal lain, contoh “Rileks..”, “damai”, “Nyam nyam….donutt crispy crème rasa coklat pastinya enak yah…” atau alihkan ke hal lain dengan olah raga, menonton film atau program yang fun dan lucu aja deh.
Baru-baru ini, saya baru sadar kalau mencintai seseorang itu beda tipis banget dengan membenci seseorang, dua perasaan yang ternyata tetanggaan, dan kadang musti ngerasain dua-duanya, baru bisa saling menghargai satu sama lain. Kalau belum pernah membenci seseorang, nanti nggak tau gimana sih sebenarnya mencintai seseorang itu. Dan kalau belum pernah mencintai seseorang, nanti malah nggak nyadar bagaimana sih rasanya membenci seseorang (erm…ini analogi yang tepat nggak yah?). Kalau yang sudah nge-trend itu kan : kita harus merasakan susah dulu, baru bisa menyadari apa itu rasa bahagia. Nah, masalahnya, kalau di ajaran agama, nggak pernah kan diajarin untuk membenci dahulu, supaya nanti tau gimana rasanya mencintai seseorang. Walau rada maksa, tapi udah ngerti lah yah apa maksud saya ini. Oke. Case closed.
Topik agak nyasar, soal poligami. Ketika memilih satu topik untuk ditulis jadi ide cerita, muncul satu pemikiran, mau ngapain sih mengangkat kasus poligami, kan masih banyak anak jalanan yang nggak jelas masa depannya, mau ngapain sih bahas-bahas poligami. Owalah, mas..mas…kalau situ ngomong begini, bakal banyak loh pendukung dan supporter saya. Lihatlah film-film laris : Pocong 1,2,3,4,5,6, Jelangkung, Genderuwo, dan lain lain, ditambah dengan Hidayah-hidayah bernuansa azab. A lah! Buat apa sih bahas hantu-hantuan atau belatung di kuburan, lah wong, ada dan tiadanya pun masih diperdebatkan, mendingan bahas yang nyata-nyata saja. Masalah hubungan antar manusia adalah masalah yang bisa bikin orang waras jadi nggak waras. Kasus bunuh diri, kasus bunuh-bunuhan, rampok, perkosa, stress, depresi, itu salah satunya karena kegagalan dalam berumah tangga atau kesalahan pola asuh dari orang tua (yang mungkin kurang puas dengan perkawinannya). Karena begitu besar efek dari poligami itu, pertama saling menyakiti dan mengkhianati, lalu yang paling mengenaskan adalah masalah generasi selanjutnya : anak-anak. Bingung, kali, ketika seorang anak melihat kok bapaknya punya istri sampe 4 gitu, dan kok bisa-bisanya yah janji cinta seumur hidup sampe mati, eh taunya bilang “ah maafkan, ternyata ada seseorang lain yang ditakdirkan menjadi jodoh saya juga”. Ini bukan soal kebencian, dan ini terlepas dari agama apapun juga, karena seluruh umat agama apapun pernah menjadi perwakilan poligami, lho. Nah, balik lagi, kenapa anak-anak yang kena imbasnya? Kalau perkawinan orang tuanya gagal dan misalkan disebabkan adanya poligami, si anak pun bakal merasakan ketidakpuasan hidup, ada yang retak dari suatu lembaga keluarga, dan tak jarang anak pun menjadi korban pelampiasan kebencian orang tuanya yang nggak bahagia dengan perkawinannya itu. Di Oprah pun pernah dibahas, kalau ada kasus keretakan rumah tangga seperti ada yang selingkuh, lebih baik cerai, daripada merusak anak! Anak itu belajar dengan melihat orang tuanya. Daripada ngerusak anak dan membiarkan dia melihat kok bapaknya nikah berkali-kali, mendingan hindari saja si anak dari si bapak, biar si anak sadar kalau itu tuh salah kalau berbuat seperti itu. Kalau misalkan tetep tidak mau cerai, dan membiarkan si anak mengerti sendiri kalau udah gede juga ngerti, ya itu pun pilihan. Banyak juga anak-anak yang membuktikan, walaupun sebagai korban poligami, bisa juga sukses, dan malah berjanji nggak bakalan deh melakukan hal nista seperti itu lagi (ups..maafkan, terasa banget yah saya benci dengan poligami) owalah, balik lagi ke 5 alasan di atas, kenapa kok bisa muncul rasa benci? Rasa benci ke poligami itu muncul pun pasti karena ada alasannya lah yah.
Wuah kalau kita bertemu langsung untuk membahas topik ini, bisa begadang larut nggak tidur nih, topik yang bisa diperdebatin sampe kapanpun juga, bo. Dan saya sering berpikir jail, kalau TV itu kan ada ratingnya yah, kalau blog itu ada ratingnya juga nggak yah? Penasaran banget siapa aja yang menjadi readers setia blog saya ini. Kalau ada yang perhatiin blog ini dari 4 bulanan yang lalu, sebenernya bakal tau loh kalau blog ini nih lagi mengangkat satu dua pemeran utama, itu-itu aja, dan topik-topik yang saya pilih disini pun, berkaitan dengan tokoh-tokoh yang menjadi inspirasi saya itu tuh. Hahahaha.. iki blog sudah seperti ajang untuk saling berkomunikasi lewat hati, pikiran, dan tulisan, dan untuk bisa terus dekat, walau hanya saling membaca blog masing-masing. Yah, kalau ada yang tau kondisi nyatanya seperti ini, mungkin bakal ada ungkapan spontan, la e lah…kurang kerjaan apa, di zaman secanggih ini mau ngapain sih maen isyarat-isyaratan begini, lewat blog segala. Ketemu dong, telpon dong, sms dong. Tapi untunglah ada blog, karena hanya di blog, segala rasa bisa terungkap dengan bebas, nggak usah takut apa kata orang, nggak usah takut diomongin orang, toh bisa berdalih, namanya juga blog, apa buktinya kalau ini bukan karangan nghayal? Padahal bisa juga kisah-kisah di blog itu nyata dan nggak direka-reka semata loh.
Kalau udah ngerasain manfaat blog seperti yang saya alamin, bakal kerasa banget deh, nulis itu tuh nikmat banget. Dan kalau baca blog orang lain pun bisa dag dig dug gedebak gedebuk. Sama seperti membaca novel fiksi, saya sering menebak-nebak, emangnya ini kisah beneran si penulis atau kisah khayalannya aja yah? Dan hanya si penulis yang tau dan orang-orang tertentu yang tau apakah ini khayalan atau beneran. -Love You everyday

No comments: