Hasil Survey 1 Trilyun
Ukuran kebahagiaan adalah materi?
Kebanyakan orang akan membeli rumah, mobil, jalan-jalan ke luar negri, sumbangan, kasih ke orang tua, dan untuk tabungan masa depan.
Menabung itu untuk apa? Untuk anak, untuk jaga-jaga kalau sampai sakit dan masuk rumah sakit.
Bingung
Bisa mengukur kualitas kebahagiaan seseorang. Semakin banyak barang yang diinginkan dan semakin serakah seseorang, itu bisa menunjukkan kalau dia kurang bersyukur dan sadar dengan apa yang sudah dia miliki. Selain itu bisa terlihat juga kalau orang ini lebih fokus ke kekurangan diri sendiri. Biasanya seseorang yang sudah memiliki kualitas kepercayaan diri yang tinggi dan bagus, bakal bingung mau diapain yah uang sebanyak 1 trilyun itu.
Dan orang yang bahagia bakal fokus ke hal di luar materi, karena biasanya sudah merasakan kalau materi itu bukan jaminan yang bakal terus ada. Buktinya, kalau mendadak ketabrak mobil atau motor, walaupun di dompet sudah punya uang 1 trilyun, tetep saja kan nggak bisa selamat nyawanya. Selain itu, kalau mau diukur, kira-kira dua mata yang kita punya ini bisa nggak dihargai dengan uang sebesar 1 trilyun? Dan juga kedua tangan kita dan sepuluh jari kita bisa nggak dihargai dengan uang sebesar 1 trilyun? Intinya sih kalau masih merasa miskin dan nggak bahagia, karena belum punya uang 1 trilyun atau 1 miliar, itu berarti masih belum sadar kalau sebenarnya di dalam tubuh kita secara keseluruhan sudah ada barang-barang mahal yang melebihi 23,5 trilyun sekalipun.
Kalau memang mau kaya, berapa ukuran kekayaan itu? Harus jelas, karena kalau tidak jelas, itu sama seperti lagi berlari tapi tidak tahu garis finishnya tuh sampai kilometer yang berapa.
Jangan sampai gara-gara mengukur kebahagiaan dengan uang, akhirnya jadi sering mengeluh dan menuntut pada kehidupan dan merasa minder dengan orang lain yang lebih kaya lagi. Walaupun kita sudah punya uang 1 trilyun, nanti kalau ketemu orang yang punya uang 20 trilyun, kita pun akan merasa tersingkirkan lagi. Karena pada kenyataannya akan selalu ada orang yang lebih kaya, lebih kaya, dibandingkan orang yang lainnya. So, kalau mau bahagia, nggak harus menunggu sampai punya uang 1 trilyun itu kan?
Pernahkah Anda memperhatikan ada teman atau kenalan Anda yang seringkali mendapatkan keberuntungan dan nasib baik sepertinya selalu berpihak padanya?
Salah satunya dengan memperbaiki cara berpikir, cara merespon situasi, dan cara pandang terhadap lingkungan ataupun dirinya sendiri.
2. Memiliki keinginan untuk menjalani maitri karuna dan selalu optimis penuh dengan harapan hidup yang positif.
*Maitri karuna (dalam bahasa Jepang = mencabut penderitaan orang lain dan memberikan kebahagiaan kepada orang lain).
3. Menjalankan syakubuku dengan suasana jiwa yang baik.
* Syakubuku (dalam bahasa Jepang = mengajak orang lain untuk berbuat baik).
4. Sama sekali tidak tergoyahkan oleh mitos-mitos, contoh : tidak lagi menggantungkan nasib pada tukang ramal nasib.
5. Mampu mengendalikan diri sesuai batas kewajaran dan tidak mudah tergoyahkan oleh hawa nafsu*.
*Hawa nafsu (yang buruk) : marah, benci, iri, dendam, maruk.
6. Memiliki banyak saudara dan sahabat yang baik, rukun, sehat, harmonis di sekelilingnya.
7. Tidak mudah marah dan tersinggung.
8. Mampu menciptakan nilai hidup yang baik dan memiliki prajna yang tinggi : terbiasa untuk tinjau diri (apa yah sifat jelek gue? Apa yang aib yang udah gue buat?) dan menyadari bahwa kondisi lingkungan adalah cermin dari kondisi hati sendiri.
*Prajna = intuisi/ insting yang positif
* Syoho Jisso (dalam bahasa Jepang = bahwa segala situasi kondisi lingkungan adalah cermin dari kondisi diri sendiri).
9. Berumur panjang dan tidak mudah sakit-sakitan.
10. Selalu mendapatkan perlindungan sehingga lolos dari malapetaka*.
*Malapetaka : kecelakaan, musibah tabrakan, bencana alam, dsbnya.
11. Memiliki materi yang memuaskan sesuai dengan kebutuhan, contoh : ketika sedang urgent membutuhkan gelas, pada saat itu juga bisa mendapatkan gelas.
Kurangi kebiasaan marah dan tersinggung, lalu sering-sering memikirkan kebahagiaan buat orang lain (tidak hanya mikirin diri sendiri saja).
“Tapi, dia berondong, gimana atuh?”
“Iya sih, tapi dia tipe yang gue idamkan banget, kalau mau jujur”
“Halah…coba apa sebutin sampe elo bisa bilang dia idaman elo?”
“Good look, good personality, charming, wangi, terawat, religius, smart, rajin, pembawaannya tenang, lagi”
“Teuteup aja, dia berondong, please deh”
“Ya elah, masalah amat sih, dia udah mau wisuda ini lah yah”
“Iya, sekarang coba deh mau ampe berapa lama elo berdua pacaran sampe akhirnya married?”
“Duh, gue nggak pikir sampe kesana, gimana dong”
“Lah, elo gimana sih, hari gini”
“Ya udah, sambil nunggu dia, gue kuliah master lagi sekitar dua tahunan, abis itu baru deh kita berdua married”
“Not that easy, kali”
“Gimana nggak easy?”
“Pertama, kalau pas lagi kuliah master, elo berdua
“Komitmen dong, Jeng”
“Makan deh tuh komitmen, teuteup aja long distance itu susah deh”
“Pesimis amat sih, tapi gue udah sayang nih sama dia, you know, deg-degan jantung gue pas mau ketemu dia, dan pas liat muka dia, duh, gue rasanya seneng minta ampun”
“Coba deh yang satu lagi”
“Kalau itu sih, kagak deh, dinginnya seperti kulkas, jarang panggil gue pake nama, sms nya pun dingin, kalau ketemu juga diem-dieman ajah, udah gitu, nggak pernah tau deh apa yang dia mau, apa yang dia pikirin, dan apakah dia itu minat atau nggak sama gue, sepertinya sih kagak sama sekali! Gue yakin banget”
“Sekarang gentian elo yang pesimis”
“Iya, elo yang ajarin gue soalnya”
“Ye, jangan nyalahin gue dong”
“Iye, iye, hmm, ada lagi tuh yang ono tuh yang suka gombal melulu, tapi no hope sih yah”
“Duh, itu buang jauh-jauh deh”
“Nah itu dia makanya gue fokus ke yang berondong ini”
“Duh, tapi yang lain aja deh, gimana?”
“Di depan mata gue, adanya si berondong, dan gue udah suka, ngerti nggak sih loe”
“Astaghfirullah…”
“Kenape loe, nafas ampe pasrah gitu”
“Ya udah deh, seperti biasa, kata-kata gue pasti sama juga, itu-itu aja, jalani aja, Ok”
“Ok, deh, jadi nggak apa-apa yah gue sama nih berondong, lagian nggak ketauan kok berondongnya”
“Kalau ditanya?”
“Bilang aja bukan berondong, orang juga nggak peduli”
No comments:
Post a Comment