Dan...
ada rasa burn out yang tidak terbendung, sampai akhirnya jiwa ini mulai kebal dengan segala sentuhan haru biru.
bertemu dengan berbagai jenis orang yang sakit aneh-aneh, membuatku tak mampu berdalih, aku lelah dengan semua itu. seperti tadi pagi, aku melihat seorang anak bayi umur 7 hari, di lehernya ada tumor daging besar, besar sekali. ngilu sekali rasanya. lalu aku bertemu seorang teman dan dia memperlihatkan foto-fotonya ketika baru melahirkan anak pertamanya. Ada darah, ada warna merah, yang membuatku ngilu. Asli deh, ngilu banget.
Dan...
Memori yang dulu-dulu muncul ke permukaan. Hampir 2 tahun aku berkecimpung di lingkungan yang mempertemukan aku dengan berbagai pasien dengan penyakit berbeda-beda. ada seorang anak tumor mata sampai matanya membengkak dan menonjol ke depan. ada seorang anak yang buah zakarnya seperti bola tenis, besar sekali. ada juga seorang anak yang keterbelakangan mental dan meneteskan air dari mulutnya, tiada henti, dan neneknya harus menggendongnya naik turun kereta. ada seorang perempuan tumor wajah dan wajahnya tidak ada bentuk lagi, dan setiap kali aku mengikuti aktivitasnya dari pagi hingga sore hari. ada lagi kisah seorang bapak yang baru sembuh dari katarak. seorang bapak yang mengalami pengeroposan tulang mulai dari pinggang sampai kaki, dan istrinya pun pergi meninggalkannya karena tidak kuat lagi hidup susah dengannya. Dan baru saja di hari ini juga aku bertemu dengan seorang bapak yang mengalami kanker kulit di wajahnya, wajahnya sudah berlubang, mirip seperti kasus Tumini yang mukanya habis tiada bentuk, semua daging mengelupas tak terkendali.
Dan...
Aku bertanya pada diriku, sudah cukup lama ku bertanya, kemana perginya rasa terharuku dan rasa empatiku dan rasa simpatiku? Begitu banyak sesama yang sulit dan menderita karena penyakit, dan aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri, tapi aku hanya melihat dan menyaksikan, dan sesekali membayangkan bagaimana rasanya jadi dia. Alhasil, lama-lama, aku merasa tak berdaya dan aku lelah tiap kali harus membayangkan diriku juga sakit seperti mereka. Aku membayangkan jika tumor wajah, jika tumor mata, dsbnya. Dan aku tidak bisa mengendalikan emosiku, aku seolah tercebur dalam permainan emosi yang melelahkan. Ini bukan empati, ini bukan simpati. Kalau ini empati, harusnya aku merasa berharga jika bisa mendampingi mereka. Tapi yang terjadi, aku malah merasa tak berdaya karena aku merasa berdosa tiap kali aku merasa tidak puas dengan hidupku, tapi nggak bisa aku hindari, ini fakta, aku butuh kemajuan dan perkembangan lebih maju. Apakah aku harus berpuas diri dengan apa yang kumiliki saat ini, dengan alasan : masih banyak orang susah dan orang tidak normal yang lebih menderita dari aku?
Dan ...
Pikiran ini membludak gila. Aku capek. Aku mimpi buruk. Aku sedih, memarahi diriku, karena aku seringkali merasa ada yang perlu diperbaiki dalam hidupku, tapi aku terngiang dengan kata-kata mutiara yang mengajakku untuk selalu bersyukur setiap kali melihat penderitaan orang lain. Apakah bersyukur hanya bisa dilakukan jika kita membandingkan hidup kita dengan hidup orang lain yang lebih menderita? Apakah melihat orang lain menderita adalah berkah bagi aku karena aku lebih beruntung dari mereka? Hatiku berontak, karena aku percaya bahwa untuk bersyukur, tidak harus selalu berkata "...duh untung ya badan kita masih normal, tidak seperti si pasien itu yang tumor....etc.."
Dan...
Aku memilih untuk hengkang, sebelum emosiku habis terkuras tanpa kendali. Aku butuh ketenangan jiwa dan aku mau meluruskan kembali rasa bersyukurku, tanpa embel-embel merasakan penderitaan orang lain. Merasakan saja tanpa memberikan solusi, itu nol besar. Lebih baik aku menciptakan satu hal yang positif bagi diriku, daripada aku hanya merenung melihat banyak orang susah di sekitarku. Gile ya, ini yang namanya burn out. Social worker rentan dengan burn out, karena harus selalu bermain dengan hati dan emosi, tidak dengan logika. Aku sempat memarahi dan mengecam diriku kejam, karena aku kok tidak lagi merasakan haru ketika berhadapan dengan seorang anak kecil yang sedang sakit parah? Aku kehilangan makna dalam hatiku sendiri. Aku sudah bebel dengan apa yang kulihat di hadapanku. Dan aku terkapar sendiri dengan segala emosi yang amburadul.
Dan...
Aku lebih tenang bisa menentukan arah hidupku, meski ada satu kegundahan baru. kodependensi. Seperti biasa, ingin membahagiakan orang lain, tapi lupa untuk membahagiakan diriku sendiri. aku mau melakukan something that I love to do, bukannya something that people love to do and what people adore me at. Haiayaa... buat apa omongan orang selalu mengatur hidupku?
to be continued
No comments:
Post a Comment