Nikahin/ Nggak Nikahin #2
Jakarta, 12 Maret 2008
“Mae, ngeri amat sih, abis baca artikel elo, gue jadi takut kawin!”
Ups. Siapa sangka tulisan pertama saya soal ”nikahin/ nggak nikahin” mengundang banyak kontroversial sana sini, walau via email saja. Sekedar review ulang, di tulisan sebelumnya saya pernah menuturkan betapa masalah financial akan menjadi sumber masalah dalam pernikahan. Pertanyaan pun muncul : kapan gue kawin dong kalau mau nungguin bisa beli rumah yang minimal 100 jutaan atau biaya pesta nikah yang 100 jutaan juga, kalau hanya mengandalkan hasil kerja keras pribadi tanpa sumbangan dari orang tua atau keluarga gue?
Bukan soal uangnya, tapi uang itu salah satu elemen kesiapan menuju pernikahan. Ada orang yang dengan mudah, nggak pikir panjang, pokoknya gue mau nikah!!! Emang udah punya tabungan?, tanya bapaknya. ”Bodo amat! Pokoknya mau nikah!” Owalah, cah bagus, kerja dulu baru mikir nikah, kilah bapaknya lagi. ”Pokoknya, Pak, aku mau nikah dulu, baru nanti cari kerja!..titik!!!” Hah, kok begitu caranya. Dan it truelly happened, dan waktu saya mendengar kisah ini, saya bengong nggak percaya, seorang lelaki yah usianya 30 an ke atas, menghabiskan hari-harinya dengan main PS dan tidur siang plus nonton televisi, tapi setiap hari bilang ke bapaknya : kalau dia sungguh mau menikah. Ini mau nikah atau Cuma mau ”nikahnya” aja yah, dalam hati saya.
Ok deh back to topic. Beberapa teman komplain kenapa sih menuliskan hal-hal yang nakut-nakutin aja soal nikah, please deh May. Walah hualam, niat saya nggak neko-neko kok, Cuma mau sama-sama buka pikiran, buka hati, dan buka kesadaran. Jangan main-main loh dengan niat menikah. Berawal dari niat segalanya memang bisa terjadi, tapi berawal dari niat yang tujuannya rendah, segala keburukan pun mungkin terjadi. Saya hanya kuatir, ketika seseorang : saya/ Anda/ mereka/ kita belum siap menikah tapi maksa menikah hanya demi status dan demi mengisi kekosongan beberapa kebutuhan.
Bukan hal aneh mendengar kasus perceraian dan itu menjadi aneh bagi saya! Di negara ini kini perceraian dianggap biasa. Berawal dari pengaruh-pengaruh infotainment yang menggiring pola berpikir publik, berbagai artis heboh dengan kasus sidang perceraiannya, yang nggak penting untuk ditonton tapi mendongkrak rating TV! Berita perceraian artis lebih menarik ketimbang berita anak jalanan yang nggak pernah diurus sama ibunya. Saya pun korban infotainment. Bertahun-tahun menikmati tayangan gosip, memang asyik, tapi sempat pada satu titik puncak, anjrit, setiap malam mimpi saya : mimpi infotainment, mulai Ahmad Dhani, Bambang Halimah, busyet. Ini alarm bagi saya, sudah saatnya kurangi konsumsi gosip artis. Bukan hanya artis saja yang mengalami kasus perceraian, orang biasa yang jauh dari riuh duniawi glamour pun ada yang berbondong-bondong mengajukan kasus perceraian. Entah dipicu berita maraknya perceraian artis atau itu memang keinginan terdalam mereka. Dalam budaya di sekitar saya, perceraian dianggap sebagai hal yang tabu, dan kalau perlu di nomorterakhir kan saja! Walau sudah ditinggal suami, walau sudah disiksa suami, nggak apa, daripada harus cerai. Tapi zaman berubah.
Pentas monolog ”Perempuan Menuntut Malam” hari Sabtu 8 Maret 2008 kemarin pun menjawab semua kegelisahan kaum perempuan khususnya. Masih seputar membuka wacana, belum ada solusi pasti. Ada kisah perempuan yang pusing karena putrinya disiksa suami tapi masih belum juga mau cerai, karena alasan : tidak percaya diri kalau harus hidup sendiri, padahal perempuan ini adalah wanita karir sukses. Alhasil putrinya memutuskan untuk bercerai juga, pesan pentingnya : bukannya soal cerainya loh, tapi kalau perempuan harus percaya diri dan menghargai dirinya. Bertahun-tahun banyak perempuan membiarkan dirinya menjadi korban karena takut tidak bisa melanjutkan hidup jika meninggalkan suami yang melecehkannya. Kisah kedua soal perempuan dan politik, keren banget! Rieke Dyah Pitaloka memang jago! Berbagai sindiran nan lembut dituturkan dalam monolog yang lugas dan cerdas, bahwa perempuan selalu saja dinomorduakan. Ketika wartawan politik telpon, pertanyaan pertama adalah : Bu, gimana cara membagi waktu berpolitik dan berumah tangga? Tapi mana pernah ada pertanyaan : Pak, gimana cara bagi waktu kerja dengan berkeluarga? Lalu ketika perempuan belum menikah dan sibuk berpolitik, akan ditanya : kok nggak kawin kawin sih, Jeng. Ketika sudah menikah dan belum punya anak, muncul lagi tanya : kok nggak brojol-brojol sih, Mbak. Dan ketika sudah punya anak dan sibuk berpolitik, tetangga bergunjing : ih kok tega yah ninggalin anak seperti itu, kasihan deh. Dan sindirian lain soal poligami. Ini bagian yang menarik banget! Celetukan Rieke ”nendang” banget. ”Hah, poligami ada di kitab suci?”, tanya seseorang.
Lalu dijawablah ”Eh, udah bisa ngeja kitab sucinya belum! Jangan sembarangan ambil-ambil kesimpulan dong, Mas”
Bahas soal poligami pun mengingatkan saya soal film terbaru ”Ayat-Ayat Cinta” karya Hanung Bramityo. Ada dua hal yang saya debat dengan sesama penonton : soal poligami dan yang kedua, soal ”perempuan boleh dipukul”. Tanpa ada maksud menyindir ajaran agama apapun, tapi di film itu dibahas, kalau ada kitab suci yang memperbolehkan perempuan untuk dipukul oleh suaminya, ketika melakukan kesalahan. Tapi, tokoh lelaki utama di film itu menjelaskan, perempuan boleh dipukul, ketika sudah diperingatkan dan diingatkan terlebih dahulu, tapi ketika masih saja khilaf, bolehlah dia dipukul. Pertanyaan lagi, Mas : ada ga kitab suci yang menuliskan ”kalau lelaki boleh dipukul kalau ternyata dia tidur dengan perempuan lain yang bukan istrinya?”.
Ini bukan masalah gender. Ini bukan gerakan feminis. Dan saya bukan aktivis LSM perlindungan hak perempuan. Ini hanya curahan dan pergumulan pikiran, owalah, perempuan – nikah – kekerasan – bla bla bla bla... Sedih sekali jika mendengar kasus baru soal pernikahan yang siap retak, sedih sekali jika membayangkan ada berjuta anak-anak yang harus menangis di malam hari mendengar pertengkaran kedua orang tuanya dan melerai dua manusia dewasa yang saling pukul-pukulan, dan sedih sekali jika mengetahui ada yang tanpa pikir panjang nggak peduli tanggung jawab – tapi memutuskan untuk nikah. Simple saja, kalau memang sudah siap nikah, berarti siap untuk menjaga komitmen untuk memenuhi kebutuhan nyawa-nyawa baru (anak-anak) – kalau memang ingin punya keturunan – dan berarti siap untuk menjaga komitmen untuk menikah 1 kali saja seumur hidup. Kalau memang belum bisa janji untuk sekali seumur hidup saja, dan masih terbersit motto ”kalau nggak cocok yah cerai ajah”, mending nggak usah nikah dulu deh! Kasihan anak-anak nanti, bro/ bra...! * (Bro = brother, Bra = lawannya Bro)
Anak-anak butuh kasih sayang. Dan penelitian menunjukkan luka masa kanak-kanak akan berpengaruh besar hingga dewasa nanti. Kita pun semua membawa kenangan masa kanak-kanak, luka-luka yang terpendam, dan tanpa sadar kita akan melampiaskannya pada orang lain yang tak terduga, biasanya orang terdekat kita, salah satunya anak-anak kita nantinya. Ada satu tips berharga banget, saya dapet dari salah satu buku berjudul ”How Can I Forgive You” by Janis Abrahms Spring : bagi siapa saja yang pernah mengalami luka di masa kanak-kanak, segeralah sadari dan temukan itu dan sembuhkan luka itu, dan kalau memang bisa, sebelum memutuskan untuk menikah dan punya anak, luka masa kanak-kanak itu sudah disembuhkan atau at least disadari, supaya luka itu tidak dilampiaskan dan ditularkan ke nyawa-nyawa yang tidak berdosa. Apakah sudah cukup merasa bahagia? Kalau belum, gimana kalau bahagiakan diri sendiri dulu, lalu menebarkan rasa bahagia itu ke orang-orang di sekeliling...anyway, semoga tulisan ini bermanfaat, dan semakin banyak teman-teman menjalani hidup ini dengan perasaan cinta dan syukur tiap harinya.
Regards,
Maeya
Maerose11@yahoo.com
No comments:
Post a Comment