"Sepertinya aku berpikir ulang mengenai perjalanan hidup, maaf yah"
Dan perpisahan pun terjadi.
"Sudah kamu tanyakan untuk terakhir kalinya?", tanyaku padanya.
Dia menggeleng saja, tanpa suara.
Baiklah jika ini yang terbaik, kita sudah siap untuk berpisah, dan tolong jangan lagi menengok ke belakang dan menarikku kembali. Seperti yang sudah seringkali terjadi.
"Sejak awal sudah kuperkirakan akan terjadi, kok..."
Dia menunduk, tak berani menatap mata ini. Ya sudah, ndak usah merasa begitu bersalah.
Ini bukan suratan takdir, ini hanya keputusan terbaik.
Apapun yang terjadi, kamu harus berjuang.
Berjuang untuk menjadi bahagia.
Apapun yang kamu pilih harus membuat diri kamu dan orang lain bahagia.
Aku bahagia kalau kamu bahagia.
Pembohong! Bukan itu kan yang sebenarnya ingin kamu katakan. Tanya seseorang yang mampir ke kamar jiwaku.
Kenapa kamu bisa bertanya seperti itu?, balasku.
Ya iyalah, aku tahu apa yang sejujurnya kamu rasakan.
Kamu sakit. Kecewa. Hati menangis. Karena tidak bisa sampai di ujung akhir bahagia dengannya.
Bisa ya. Bisa tidak. Aku masih mencoba membela diri.
Bagaimana mungkin tidak. Akui saja lah. Hidup memang tidak cukup adil bagi kamu.
Sudahlah, aku enggan membahas semua ini. Bisa kan kalau hal ini tidak perlu dibahas lagi.
"Baiklah", jawabnya.
"Jadi, dia jadi juga menikah?", tanyanya.
"Iya, segera, karena permintaan bapaknya", ujarku.
"Kamu bisa melalui ini, kuharap"
"Terima kasih, iya begitulah, aku bisa bertahan, setidaknya", tanggapku.
Bapaknya sudah tua, dan dia berharap bisa menemani bapaknya di masa tuanya. Walau bapaknya bilang tidak perlu, tapi dia memutuskan untuk menepati penawaran janjinya itu.
Kemarin malam dia bilang, dia sudah memikirkan ulang akan bagaimana perjalanan hidupnya nanti dan dia sudah putuskan untuk tidak melangkah terlalu nyeleneh dari aturan keluarga besarnya.
Dan kata maaf sudah dia haturkan. Sebelumnya dia bilang dia berani dan dia ingin dan dia terus berharap untuk bersama dengan aku dan menebas semua benteng aturan norma yang ada. Mungkin karena waktu itu dia sedang galau dan tidak berpikir jernih, akhirnya dia bilang dia sudah siap untuk melepas semua nuraninya kepada orang tuanya. Sekarang dia sudah sadarkan diri, yah dan kenyataan pun sudah ada di depan mata kami berdua. Tidak ada yang bisa dipaksakan di dalam kehidupan ini. Apalagi yang namanya perasaan. Aku mengalah.
"Aku berdoa untuk kamu hari ini", katanya.
"Apa yang kamu doakan?", tanyaku padanya.
"Semoga kita sama-sama bahagia dan ceria", jawabnya.
"Amen...", balasku lagi padanya.
Dua hari lalu, aku dengan kyusuk berdoa, untuk masalah kegelisahan ini. Apa yang harus kita perbuat, tanyaku di dalam doa, dan jawaban datang juga.
Kamu yang menjawab semua doaku selama ini, dengan memberikan kepastian tentang kita. Bahwa kita tidak mungkin bersama. Bahwa kamu masih sadar dengan norma bapakmu dan kamu masih begitu lekat dengan impian untuk bisa terus bersama dengan keluarga besarmu. Tanpa konflik, tanpa gejolak, tanpa emosi yang melelahkan.
Terima kasih dan aku bisa melangkah lebih tenang untuk sekarang.
Di kesunyian malam, sering terdengar sayup suara dan bisikanmu. Entah kamu dimana sekarang. Waktu dan jarak pelan-pelan memisahkan kisah dan kenangan kita.
No comments:
Post a Comment