“Sudahlah, anggap saja gue sudah mati dan nggak ada di bumi ini!”
Pria setengah baya, dengan kulit sedikit keeling itu sekejap menghilang dari ruangan itu dan membawa lengkap semua koper berisi pakaiannya. Lemari pakaian itu kosong sudah.
Si istri terdiam sejenak menatap ke arah jalan, tatapan yang kosong, memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Di sekelilingnya, terlihat pecahan kaca, sedikit lumuran darah, sisa pertengkaran beberapa menit yang lalu. Sejak dulu, semua hal ini sudah sering terjadi. Seperti bom waktu saja, hari inilah hari jadi meledaknya kekesalan itu.
Si istri masih menatap kosong, melihat selembar foto kusam yang sudah sedikit robek, menitikkan air mata. Matanya yang sendu seolah tak berdaya lagi untuk melihat keindahan yang tersisa dari foto itu. Masih teringat dalam benaknya, ketika si suami berlari-lari mengejar dirinya, menarik lalu menggenggam erat tangannya. Mereka pernah bahagia. Itu dulu. Kini semuanya sudah berubah. Si suami pergi entah kemana, merudung pada kekecewaan, kecewa karena harapan tidak bisa terwujud. Harapan yang pernah dijaring dalam sebuah mahligai indah di rumah mungil yang remang-remang tempat mereka 20an tahun tinggal bersama.
Tidak ada yang bisa menjawab kemana perginya si suami. Si istri hanya bisa bertahan dengan luka perih yang disisakan. Bukan bongkahan emas berlian untuk bertahan hidup, tetapi hanya cercahan pedih yang menggorehkan irisan pahit dalam batin si istri. Marah, caci maki, bukan lagi jawaban dari kepedihan itu. Si istri tidak ingin memilih untuk lepas dari semua ini. Si istri hanya yakin, lebih baik ia bertahan saja sampai ajal nanti menghampiri dan sampai luka-luka itu membusuk dan mematikan dengan sendirinya.
No comments:
Post a Comment