Thursday, June 29, 2006

Hari Terakhir di Kantor

Kemarin hari terakhirku di kantor itu.
Ada seseorang yang memberikan ciuman manis di pipi kiri dan pipi kananku. Masih terasa sentuhan kumisnya yang agak tajam. Tapi tak apa, tidak melukai.
Seseorang juga memberikan aku hadiah, tas casual oleh-oleh dari perjalanan dinasnya ke LA.
Kami berjabat tangan. Lalu foto berdua.
Sekretaris baru penggantiku menjadi saksi adegan kami berdua itu.
Rekan-rekan memberikan aku hadiah, tas juga, katanya untuk aku mengajar nantinya.
Aku dapat pelukan hangat dari beberapa orang.
Ada yang tidak kusangka-sangka, memelukku sangat erat sekali seperti tidak ingin melepaskannya.
Ada juga yang memeluk dan curi-curi cium pipiku.
Bahagia.
Bagaimana tidak, walau hanya setahun sebulan tapi sudah menggoreskan banyak kisah diantara aku dan semua yang ada di tempat itu.
Tidak akan bisa terlupakan.
Aku sering menghindar dari kerumunan, mencoba menenangkan diri, mencoba menjadi netral diantara semua tarikan-tarikan neutron yang ada.
Aku cuma belajar satu hal penting, bahwa segala masalah yang kuanggap sulit beberapa bulan ini hanyalah fatamorgana. Semua lewat begitu saja dengan indah. Sangat indah. Terlalu sempurna bahkan. Tidak seperti yang kubayangkan.
Ketakutan dan kegelisahanku menjadi tidak ada artinya sama sekali ketika kemarin aku menyadari segalanya begitu indah ternyata dan keteduhan yang kurindukan ada semua di ruangan sejuk itu.
Atasanku. Rekan sekerjaku. Mereka memberikan sesuatu yang begitu penting bagi fase kehidupanku selanjutnya. Mereka memberikan harapan akan sebuah kasih sayang yang terpendam, yang selama ini selalu kuragukan.
Aku tidak terlalu haus kasih sayang, aku cukup kenyang, tapi aku butuh siraman sedikit untuk mengisi kekosongan hatiku. Dan kemarin adalah bukti dari segala doa dan harapanku beberapa waktu yang lalu. Tangisan air mata tidak sia-sia, karena aku menemukan makna dibalik air mata itu.
Tak ada setetespun air kemarin ketika harus berpisah. Aku tidak sedih. Aku pun tidak merasa bebas dari sebuah kungkungan. Aku hanya merasa lega dan puas. Perasaan lega yang membuat aku bisa terbang bebas seperti merpati, tetapi aku pun bukan merpati yang tadinya terjebak dalam sebuah sangkar tertutup yang menyesakkan. Tidak sama sekali.
Cintaku. Harapanku. Untuk saat ini kulepaskan dulu di tempat ini. Ada tugas penting lain yang sedang menantiku. Tugas yang menuntut aku lebih tegar dan lebih berani menunjukkan hati dan talentaku. Selamat dan selamat.

Sunday, June 18, 2006

Speechless

My favorite movies. Apa film yang paling gue suka? Ada beberapa, yaitu film sejak gue kelas 3 SD: Home Alone 1&2 (unforgettable banget nich), Ada Apa Dengan Cinta, film series Korea : Full House, Stairways to Heaven, dan juga film lain yang bernuansa Natal pastinya.
Talking about Christmas, memang tidak ada habis-habisnya, I really love Christmas, love it crazily. If I could always feel the romance and the peace of Christmas. Winter yang menyenangkan, salju, ornament Natal yang indah, warna merah dan hijau yang menyejukkan, dan juga alunan musik lembut Natal. Buat gue, Christmas adalah momen yang penuh dengan sentuhan indah hidup.
Natal tahun lalu, masih ada rasa luka dan sakit hati gue dengan seseorang, gue kirim sebuah kartu ucapan Natal, di dalamnya tertulis satu kutipan minta maaf dari gue. Honestly, tidak ada yang salah diantara kita, tapi gue tetap menuliskannya. Gue pun tidak mengerti. Hanya ingin menuliskan sesuatu baginya, tidak berharap akan dibalas atau direspon. Ternyata, dia benar-benar tidak merespon, sampai detik ini tidak pernah gue tahu apa sebenarnya salah gue sampai akhirnya dia tidak menyukai diri gue. Ada satu kebencian mendalam yang bisa gue rasakan setiap kali dia melihat diri gue, gue bisa merasakan ada goresan ketidakpuasan dari wajahnya. Tapi…nothing I can do.
Too much destinies have to be happened, and noone could explain why it could be.
Sudah cukup gue memohon maaf atau berbasa-basi lagi dengannya, berharap bisa berdamai dan setidaknya dia bisa tersenyum tulus padaku, berharap dia bisa memperlakukan diriku sama seperti yang lain. Tidak seperti saat ini. Di saat kami berpapasan, kulihat ada senyuman sinis dari bibirnya, tatapan jengah yang tidak bisa berbohong, dan juga nada suara yang mneyiratkan ketidaksenangan dengan keberadaanku di dekatnya.
Masih ingat, tahun lalu, ingatanku termasuk yang tajam. Selama empat hari, dia buang muka, tidak mau menatap mataku, bicara seperlunya saja padaku, itupun kalau aku tanya lebih dulu. Aku mulai gelisah mengapa dia menjadi seperti itu. Kuberanikan diriku untuk bertanya padanya apa sebenarnya yang salah dari diriku.
“…lo tuh terlalu banyak omong, udah deh diem aja….bisa nggak sih, sepertinya lo mau nunjukkin kalo elo bisa segalanya…” sebuah suara melengking melesat di saraf-saraf telingaku. Seseorang sedang meluapkan ketidaksenangannya pada diriku.
“…iya maaf ya….semoga masalah ini tidak merusak hubungan kita berdua….”
“…sorry, gue nggak berminat untuk menjalin hubungan yang lebih dari ini…” pedas, tapi tegas, dan itu pasti bahwa dia memang sudah tidak mau menerima diriku. Sudahlah, usaha sudah kulakukan, jika dia tidak mau menerima diriku, aku harus bisa menerimanya.
Sejak saat itu, kami menjadi aneh, banyak kejadian yang sepertinya kian memperburuk hubungan kami berdua. Dia dengan angan-angannya dan aku dengan jiwa menggelora dalam dada ini. Aku yang berharap bisa menjadi seseorang yang berharga, dan dia yang juga punya harapan lain di dalam pikirannya. Aku tidak pernah mengerti dan tidak pernah tahu apa yang sebenarnya harus kulakukan. Haruskah aku mengorbankan diriku sendiri, anganku, demi menyenangkan hatinya?
Di sini kuberdiri sendiri, sesekali kulihat dari jarak kejauhan, apa yah yang sedang dia lakukan, apakah dia baik-baik saja? Apakah dia marah kalau aku menjauh dari dirinya. Kuakui, aku menghindar dari dirinya, aku takut setengah mati, setiap kali melihat matanya mulai merajalela ke diriku dan sekeliling diriku, setiap kali suara tingginya yang melengking mulai menyuarakan keinginan pribadinya, dan setiap kali aku harus mengalah supaya dia bisa merasa bahagia dan puas dengan apa yang diinginkannya. Sekali lagi, berulang-ulang kali, aku sudah mengalah deminya, padahal siapalah dia, hubungan kami sama sekali tidak intens, kami hanya berpapasan di satu ruas jalan, tapi dia berhasil menguras banyak energi, kesedihan, dan air mata diriku. Malu. Tapi ini memang kenyataan, aku begitu ngeri dengan dirinya. Dia yang begitu misterius dan tidak bisa ditebak, dia yang sepertinya paling benar dan aku yang dimintanya untuk menjadi kurcaci bawang yang mengendap-ngendap dari barisan belakang saja. Tidak boleh maju sembarangan, sebelum dia bisa berada di barisan terdepan.
Terima kasih, dunia, dan wahai kau orang yang sudah mengikatku dalam ketidakbebasan yang selama ini sangat kurindukan. Tidak disangka-sangka, segalanya menjadi seperti ini, berakhir tidak seindah dongeng atau cerita rakyat pada umumnya. Seharusnya kita berdua bisa baik-baik saja jika tidak ada benang-benang kusut yang melukai hati kita berdua ini. Dan kita berdua mungkin saja bisa menjadi sepasang sahabat yang bisa saling percaya dan saling mendukung. Ternyata kita memang tidak berjodoh sebagai sahabat, kita malah lebih berjodoh sebagai rival. Sayangnya, ini bukan rival yang sehat dan bukan rival yang membahagiakan. Ini hanyalah rival yang membuang-buang energi dan waktu, suatu saat rival ini akan menghancurkan salah satu dari kita.
Sebentar lagi, aku akan mengalah demi kebebasanmu dan semoga saja hatimu lebih tenang dari sebelumnya. Aku mengerti bagaimana perasaanmu dan aku memahami sudah terlalu banyak kepahitan yang kau alami, ini kali aku mengalah untuk terakhir kalinya dan tidak ada lagi hal seperti ini lagi di masa akan datang.
Sukses untukmu, Rivalku.

********
Harta…
Rumah…
Bagaimana dengan nasib kami selanjutnya?
Warisan dimanakah warisan itu…
Hentikan!!!!
Sudahkah puas dengan apa yang ada di tangan ini dan apa yang terlihat di depan mata.
Kenapa sih terus saja meminta dan meminta, tidak pernah berhenti berpikir apa sebenarnya yang ingin dicapai dalam hidup ini.
Pergulatan untuk menjadi si nomor 1 sepertinya baru saja dimulai, bahkan baru pada tahap pemanasan saja, juri keadilan mulai melihat sisi kanan dan sisi kiri, manakah yang akan menang dalam pertarungan ini. Pertarungan untuk mendapatkan sebuah warisan, sebuah rumah besar yang diidam-idamkan siapa saja yang pernah menempati rumah itu.
Seseorang hadir mencoba menjadi pemenang yang tegar dan tidak main jalan belakang, ornag yang lain memilih untuk diam sejenak, melihat lebih jelas lagi apa sesungguhnya yang sedang terjadi. Adakah jalan damai yang saling menguntungkan kedua belah pihak, tanpa harus menjatuhkan satu sama lain. Jawabnya, tidak ada, harus ada yang menang dan harus ada yang kalah. Inilah hukum kewajaran alam semesta. Mana yang harus dipilih : harta benda atau harta jiwa? Kuinginkan dua-duanya, karena aku butuh dua-duanya, tanpa benda, aku merasa kosong tak berdaya, tanpa jiwa aku seperti benda mati yang bisa gentayangan sesuka hati, tapi tidak pernah mengerti apa sebenarnya yang harus kulakukan. Kutakbisa memilih. Biar saja aku jalani yang sudah terlanjur terjadi.

******
Tadi pagi, seseorang kirim sms, tanya apa kabar dan dia kok tau yah kalau gue teh udah mau resign, pertanyaan sms isi basa-basi tanya kabar yang sedikit datar bagi gue. Beberapa bulan lalu, gue berharap banget sama dia, sumpeh! Siapapun yang sempet baca blog ini, pasti tau betapa gue pernah berharap dan terus memikirkannya, walaupun tidak ada kisah menarik diantara gue dan dia. Dia yang berasal dari keluarga lurus, tidak pernah merokok, jarang minum, lebih sering di rumah main game. Di saat jam kantor sudah selesai, buru-buru dia pulang ke rumah, bebersih, makan bersama keluarga, dan menikmati kamarnya sambil bermain playstation kesukaannya. Itulah dia. Dunianya jauh berbeda dengan aku. Pertama, aku bukan si lurus-lurus saja, hidupku sudah terlalu berbelok-belok dan melelahkan sekali, tapi aku senang bisa menjalani semua ini.
Seseorang ini sepertinya hanya sambil lalu saja di kisah hidup dan kisah cinta gue. Yap, ada getaran yang justru semakin memisahkan gue dan dia. Kalau orang orang percaya akan adanya jodoh yang sudah ada sedemikian rupa, gue kadang percaya sebaliknya, jodoh apapun sebenarnya tidak ada sedemikian rupa tanpa sebabnya. Gue percaya jodoh antara manusia tergantung pada kejadian-kejadian sebelumnya di antara mereka dan tidak mungkin jodoh terjadi sebegitu cepatnya tanpa stimulus awal yang kuat dan kokoh.
Kemarin malam, seseorang yang lain juga kirim sms, bilang kalau dia tidak bisa pulang liburan yang masih 5 bulan lagi, terlalu lama untuk berpikir soal liburan. Sms basa-basi yang mengharapkan gue untuk bisa merespon lebih. Rasa tertarik tidak bisa dipaksakan. Itu yang gue pelajari dari hubungan gue dengan seseorang ini. Bagaimana mungkin rasa tertarik bisa muncul hanya mengandalkan teknologi sms dan permainan kata-kata saja. Sekali lagi, aku seperti seseorang yang pongah dan berlagak seolah-olah hanya aku yang benar dan hanya aku yang berhak menilai siapapun yang sedang mendekati diri ini.
Huah…kangen banget jadinya gue dengan tetangga sebelah rumah, sekarang di negri panda. Kalo mau diukur, rasa suka gue cukup besar ke dia euy, teman masa kecil gue yang nakal banget tapi sering membuat gue tertawa terbahak-bahak, sampai keluar air mata. Argh….mulai deh nghayal lagi…
Mas Aris Ananda, minta tolong….bagaimana jika ide seringkali terhenti dan tidak bisa kukendalikan. Alunan musik kupasang, kali saja bisa menjadi bahan inspirasi, kali saja bisa membuat suasana lebih baik lagi, semoga saja.
……………………………
……………………………
……………………………
……………………………

ketika kata-kata tidak bisa menggambarkan apa yang sesungguhnya kupikirkan, mungkin saja ini lah makna sesungguhnya sebuah hal yang sunyata.

Nyata…
Ada di pikiran ini…
Melayang….
Ketangkap….nggak…ketangkap….
Sunyata….
Dan nyata kembali…
Terus melayang….menari mengelilingi alam nyata…
Pelan-pelan semua hilang….hilang begitu saja….

*********

Saturday, June 17, 2006

Writer`s Block

…Kalau tahu akan begini jadinya, lebih baik tidak menikah saja sekalian…” Penderitaan sepertinya tidak pernah berhenti berkunjung ke dalam ruang kehidupanku. Dulu, aku bukan pemilik hidup seperti ini, dulu aku penuh dengan keceriaan, dulu aku penuh dengan segala pengharapan, dan dulu aku memiliki segalanya. Udara pun bebas kuhirup. Cahaya pun kumiliki tanpa harus berebut.
Kini, segalanya berubah dalam sekejap. Saat ini kulihat dua sosok mungil di hadapanku, wajah polos tak berdaya mencoba untuk berharap, tetapi sayang sekali tidak ada lagi harapan yang bisa digenggam bagi mereka. Aku menangis melihat mereka, bagaimana mungkin dengan tangan mungil dan langkah kecil mereka itu, mereka harus bertarung sendiri dalam hidup yang keras ini.
Aku kembali tertidur. Kutanya kepada diri ini, di kedalaman hati yang terjujur, siapakah yang menjadi penghalang segala harapan ini. Apa yang membuatku bisa menjadi terjerembab dalam segala kondisi dan situasi ini? Pertanyaan yang terus bergulir, mulai membuat kepala ini pusing minta ampun. Tidak tahan, aku butuh obat penahan sakit dan nyeri ini. Semakin aku berpikir keras mengenai hidup, rasa nyeri akan datang dan tusukan-tusukan perih serasa menghunjam pikiran ini sendiri. Maafkan, pikiran ini seperti bukan milikku lagi.
Seharusnya, akulah yang bisa mengendalikan semua ini, tapi ketika kulihat saat ini juga dua sosok dengan tangan mungil halus itu, berdiri kaku tak tahu apa yang harus mereka lakukan. Tak tahan jadinya, aku pun berteriak dalam hati dan kekosongan, sepi ini, …”…andai saja aku boleh memilih, aku tidak ingin jalan ini…”

******
“…setiap orang memiliki karma masing-masing…”
Kudengar sayup-sayup penjelasan dari seorang pemuka agama di tempatku beribadah, mencoba menjelaskan mengapa setiap orang berbeda, mulai dari nasib, wajah, sampai dengan cara pemikirannya. Karma. Sebuah kata yang seringkali mengusik diriku akhir-akhir ini. Rasanya belum bisa percaya penuh dengan apa yang disebut karma. Jika karma memang ada, siapa yang membuat karma itu ada? Jika segala kejadian dalam hidup ini terjadi karena terhubung dengan karma dari masa-masa lain sebelum sekarang, siapakah yang menghubungkan semua ini. Pikiranku mulai menegang kembali dan seperti biasa, rasa nyeri kembali datang dan menyusupi benang-benang saraf yang membuat tubuh ini bergetar tak karuan.
Bayangan dua sosok mungil kembali membuatku terjaga. Aku ingin memeluk mereka, tetapi kami tidak bisa lagi bersentuhan. Aku ingin memanggil nama mereka saja, tetapi kami sudah terpisahkan benteng besar yang mengikat kami pada perbedaan.
Semua ini terjadi begitu cepat. Beberapa hari yang lalu, aku berjalan sendiri di sebuah jalan kecil, kulihat di sekelilingku penuh dengan orang-orang yang sedang berarak-arak untuk menyuarakan sebuah kebebasan. Ya. Itu yang disebut demo. Demo yang terus muncul dan mengusik ketenangan hati, tapi aku rindu ketika demo tidak lagi hadir menemani hidupku. Aku berdiri di balik tembok dekil penuh goretan yang tidak jelas apa bentuknya. Kulihat sebagian orang mulai berteriak sambil melempar-lemparkan batu, sepertinya mereka sangat kesal, kesal sekali, karena tidak bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan. Tak lama kemudian, sesuatu yang keras sekali melayang di kepalaku. Sejak saat itulah, aku terkapar sambil melayang-layang memandang dari kejauhan dua sosok mungil kesayanganku, yang tak lain adalah dua anakku. Mereka tidak pernah tahu mengapa akhirnya harus melihatku terbaring seperti ini. Mereka menjalani kisah hidup seadanya saja, sambil sesekali melongok ke belakang. Bertanya, kemana yah mama hari ini. Siapa sih yang sudah merebut mama dari aku. Pertanyaan-pertanyaan khas anak kecil yang membuat sebagian orang tersendat-sendat dan gagap untuk menjawabnya. Siapapun dia, tidak pernah tahu apa yang akan terjadi dalam hidup.

******
“…kasihan sekali dia, hidupnya terlalu menderita, pernah saya dengar, dia berkali-kali bilang kalau dia lebih baik tidak menikah jika tahu akan terjadi seperti ini…”
“…ah…ya…ya…dia wanita yang kuat kalau dipikir-pikir….”
Dari kejauhan terdengar percakapan dua orang wanita setengah baya, membicarakan seseorang, pastinya. Membicarakan betapa hidup orang itu penuh dengan kesulitan, betapa merananya jika menjadi orang itu, dan betapa tak berdayanya orang itu terhadap nasibnya sendiri. Hidup sudah penuh tekanan, dan di sisi nun jauh dan nun dekat, selalu terdengar suara-suara kecil yang merenungkan hidup si pemilik kesusahan itu. Manusia memang hidup dalam dua pilihan, sebagai manusia sosial dan sebagai manusia individual. Di saat sendiri, seseorang mendengar apa yang dia inginkan dan melakukan apa yang seharusnya dia mau. Di saat lain, seseorang menjadi sosok yang penuh dengan kendali dari luar. Pilihan sepertinya muncul dari sisi luar, bukan lagi dari sisi kedalaman yang tegar.

Di malam ini kutermangu di hadapan layer yang sorotnya mulai menyilaukan mataku dan membuat mata nyut-nyutan. Sudah malam, kudengar alunan gitar akustik yang tenang tapi terlalu sendu untuk didengar sering-sering di malam hari pula.

Beberapa hari yang lalu…
“…sepertinya kamu sudah terlalu berlebihan, kamu sudah masuk ke jalur yang seharusnya bukan porsi kamu….”, seorang lelaki dengan nada agak tinggi menatap tajam ke arahku.
“...jujur, ini tidak ada unsur apapun juga, ini semua tulus, dia sahabatku, dan aku harus menolongnya...”, seorang gadis muda mencoba menjelaskan apa yang sesungguhnya ia rasakan.
“…udah deh, cape….cuma kamu yang paling benar di dunia ini, cuma satu keinginanku, tolonglah jangan sakiti lagi orang-orang terdekatmu…”, pintu digebrak dengan kencang sekali. Marahkah lelaki itu. Sudahlah, tidak usah digubris. Dia memang selalu saja begitu.

Di malam yang dingin, angin menusuk kulitku, bulu roma membuat aku merasa makin dingin dan tegang. Di malam ini, sudah kuputuskan untuk memilih jalan yang selama ini kuinginkan. Apa sebenarnya yang kuinginkan? Tidak ada jawaban pasti yang kian datang pada diriku.

Lelah…
Selalu saja kuucapkan kata lelah…
Hati lelah…
Tubuh pun menjadi lelah…
Sudah cukupkah kukatakan lelah…
Tubuh menjadi lelah ketika hati kerapkali merasakan lelah…
Lepaskan semua kelelahan…
Regangkan keseimbangan tubuh dan hati yang selama ini telah hilang…
Ibu lelah dan Bapak lelah, sudah lama kuberpikir, bagaimana mungkin jika si lelah enyah saja dari hidup ini…
Apakah semua akan baik-baik saja jika kulempar jauh-jauh perasaan dan kata lelah itu?
Selamat datang, kedamaian. Di saat lelah, masih selalu kuimpikan ada kedamaian suci menghampiriku, tapi dia tidak datang juga.
Terang saja, kedamaian sedang bersembunyi di balik ketidaktentraman dalam hati ini.
Damai takut keluar dari persembunyiannya.
Takut jika dia keluar, semuanya akan menjadi berubah lebih buruk lagi…

Angin malam, pikiranku mulai menerawang tiada arah, mencoba menyusuri kecepatan sekejap pikiran yang pesat bagai kecepatan cahaya dan bunyi.

******
Tadi sore, kutuliskan sebuah kalimat “apa yang tidak terlihat seringkali tidak sama dengan yang sesungguhnya”. Kutuliskan itu sebagai gambaran diriku. Kuakui, aku seringkali berbeda, aku seringkali menyerempet batas-batas kewajaran yang seharusnya kupatuhi. Aku ingin menjadi beda. Aku ingin special dan memuaskan rasa penasaranku.

Writer`s block mulai terjadi. Sudah teruskan saja menulis dan mengetik, itu nasehat dari seorang penulis senior yang kukenal. Jangan terjebak dengan apa yang disebut sebagai writer`s block. Once you got trapped by that phenomenon, you`ll find yourself without control and you might lose your way and your final destination. What kind of destination? Who cares about that? Yang terpenting adalah bagaimana kembali mengatur segala kepingan pikiran yang sepertinya sudah mencar-mencar tidak beraturan. Inikah efek dari musik yang tidak sesuai dengan nuansa hati dan aroma pikiran?

Anyway, seminggu ini cukup berat, banyak pilihan dan keputusan yang sudah kujalani. Keputusan untuk melakukan apa yang ingin kupilih, keputusan untuk bisa menunjukkan bahwa aku punya prinsip yang tidak bisa diusik seenaknya saja, aku bisa berani menunjukkan kalau aku tidak senang diperlakukan tidak adil. Hm…terlalu banyak ketidakadilan yang kualami karena perilakuku sendiri yang tidak bisa berani bersikap adil dan wajar bagi hidup ini.

Darimanakah keberanian itu muncul? Dan kebijaksanaan untuk menentukan mana yang baik dan mana yang kurang baik. Semuanya pasti ada sebabnya, ini semua adalah akibat dari tumpukan-tumpukan kisah masa lampau yang sulit untuk direkam satu persatu dan sulit rasanya untuk mengkategorikannya secara terperinci.

Besok kembali seperti semula. Writer`s block. Sebuah fenomena yang akan mampir sejenak dan mengutak-ngatik pikiran dan permainan kata-kata ketika sedang menulis. Welcome to a writer forest. Disana pohon-pohon kata sudah menanti, dengan batang-batang yang dingin dan keras. Perlahan tapi pasti menjadi sumber keberanian untuk mematahkan block-block. Writer`s block.

Wednesday, June 14, 2006

ICU dan Mama

Jakarta, 14 Juni 2006

Di sebuah rumah sakit besar di Jakarta, siang hari, cukup terik, di sekeliling terlihat beberapa orang menunggu, terbaring di lantai, beristirahat, kelelahan, sudah semalaman menunggu kerabat/ temannya di depan ruang ICU.

“Bagaimana, Dok”, dua orang mata memandang pria berjubah putih, menanti sebuah kepastian mengenai harapan hidup bunda.
“ya terserah mau segera operasi atau tidak”, dengan wajah sangar di dokter menjawab.
“Tapi kemungkinan berapa persen, Dok?”, pertanyaan kembali bergulir, ingin segera kepastian.
“Saya nggak bisa bilangggg!!!!! Semuanya relatif dan saya tidak bisa menjamin setelah operasi semuanya akan langsung beres”, lantang dan pasti, agak mengerikan untuk didengar, tapi sepertinya sangat logis dan masuk di akal.

Di saat harus memilih antara nyawa dan uang, dan ketika uang mengendalikan sebuah nyawa. Nyawa manusia yang terkatung-katung ketika tidak ada kepastian uang yang dimiliki oleh si pemilih nyawa tersebut.

Hati miris melihat pemandangan itu, bagaimana mungkin sebuah nama “uang” bisa menjadi berkuasa di saat genting seperti ini. Tidak ada yang bisa berkutik, uang tetap berbicara, dan siapapun tidak bisa mungkir pada kenyataan. Manakah yang harus dipilih : tetap hidup dengan menghabiskan segenap uang yang dimiliki atau melepaskan satu hidup demi memberikan kenyamanan bagi dua atau tiga hidup lainnya? Sebuah dilemma akan terus muncul dalam kehidupan ini, ketika manusia harus kembali berhadapan dengan kefanaan, uang adalah bukti nyatanya. Selama ini, uang menjadi seperti momok yang mengukung kebebasan dan kebahagiaan seseorang. Tanpa uang, seseorang tidak bisa hidup, tetapi selalu terdengar nyaring wejangan-wejangan bijak mengatakan, jangan terikat dengan uang, ketika diri ini mati, kita tidak bawa uang.

********
“Dok, boleh saya lihat mama saya?”, sebercak wajah memelas dari seorang wanita muda, berdiri kaku dan tegang, di depan pintu ruang ICU, mencoba memohon pada penjaga ruang ICU, untuk berbelas kasih, memberikan kesempatan untuk bertemu dengan mama. Mama yang sedang sekarat.
“Maaf, belum waktunya untuk besuk pasien, silahkan tunggu dulu di luar”, aturan tetaplah aturan, si penjaga ruang ICU tidak akan menggubris wajah sememelas apapun jika A memang harus A, tidak bisa kemudian menjadi B. Itu aturannya.
Wajah si anak murung, kecewa, menangis dalam hati, dan meneteskan air mata, bagaimana bisa di detik itu, untuk bisa bertemu dan melihat wajah mamanya pun harus dijatahkan waktunya. Dalam sekejap, seperti ada jurang pemisah antara si anak dan mama.
“Maafkan, Nak…Bukan maksud Mama menjadi seperti ini”, ada suara-suara kecil di udara ini, mengirimkan pesan dari mama untuk si anak. Mama yang terbaring lemah tak sadarkan diri, saat itu menjadi seseorang yang lepas bebas tanpa kendali dirinya sendiri. Dirinya tidak bisa mengendalikan nyawanya sendiri. Mesin-mesin berdenyut, menderit, mengeluarkan suara-suara khas alat teknologi canggih, mencoba menahan pergerakkan aliran tubuh yang tidak seimbang lagi, karena telah terjadi kekeliruan dalam system tubuh.
Suara mesin yang mengilukan bagi siapapun yang mendengarnya, kabel-kabel berserakan, hembusan nafas berkejar-kejaran, mencoba untuk menahan nyawa supaya bisa tetap bertahan.

Aku terdiam melihat semua ini. Ada jurang antara seorang mama dan seorang anak. Tidak bisa lagi berinteraksi dan saling tersenyum, atau saling merespon sentuhan, tidak bisa lagi bilang “…sedang apa kamu, Nak…” atau “….sudah makan atau belum, Nak…”. Untuk saat ini ruang ICU seolah menjadi saksi pemisahan ironis ini. Hubungan darah bukan lagi jaminan seorang mama dan anak bisa terus bersama. Akan selalu ada awal ikatan lekat, dan akan selalu ada akhir dari segala kelekatan itu.

Ya ampun, sudah terlalu sering dan terlalu banyak kesempatan yang terlepas untuk bisa menjadi anak yang baik kepada seorang mama yang setia dan berkorban terlalu banyak.

Di pagi buta, mama bangun diam-diam dari tempat tidur, supaya tidak berisik dan membangunkan yang lain. Bereskan perkakas yang akan dipakai untuk mulai memasak. Bergegas segera untuk berangkat ke pasar. Biasa….beli sesuatu untuk sarapan pagi anak-anakku. Mereka pasti sibuk bekerja, sibuk belajar di sekolah, dan sibuk segalanya, aku harus melakukan segala cara supaya mereka tetap betah di rumah ini. Aku akan siapkan makanan yang enak untuk disantap, minuman bergizi supaya mereka menjadi orang yang cerdas di tempat mereka bekerja atau sekolah.
Jalan masih sepi, gelap, tapi ada satu dua becak melewati jalan itu. Kususuri jalan ini, angin pagi sedikit menusuk ke tulang tubuhku, tapi untung aku pakai mantel yang tidak terlalu tebal ini. Kulewati jalanan aspal ini, peluh sedikit menetes, tapi itu tidak ada artinya, aku hanya ingin yang terbaik buat si kecil dan si besar di rumahku. Mereka pasti bahagia dengan semua ini. Ya, walaupun mereka tidak bahagia banget, tapi setidaknya mereka tidak perlu repot-repot memikirkan kebutuhan makanan ini.
Kutenteng keranjang dengan beban 10 kilogram ini, ada beberapa daging yang disukai anak sulungku, dan ada beberapa bungkus nasi yang selalu diidamkan anak bungsuku. Ayo, langkah, ayo lebih cepat lagi, sebelum mereka terbangun dan terburu-buru berangkat keluar. Ayo, kakiku cepat, otot agak kaku, mungkin karena belum banyak pemanasan sebelum berjalan dengan jarak cukup melelahkan ini. Sudah terlihat pagar rumahku yang mungil, ayo terus, sedikit lagi, aku ingin melihat senyum anak-anakku di saat kutiba dengan semua kesukaan mereka.
“…Oow, aku kesiangan….Ma, aku jalan dulu ya….ada ulangan yang susah banget sedunia…”, si bungsu berlari-lari sambil mencoba mengikat tali sepatunya, seragam sekolah abu-abu masih cukup berantakan, tidak teratur.
“…Tunggu….ma….” Sudah terdengar suara hentakan pagar rumah ditutup. Si bungsu sudah terlanjur pergi. Padahal sudah ada sebungkus nasi ulam kesukaannya yang kemarin-kemarin terus diungkapkan ke mama, betapa si kecil sudah lama tidak makan nasi ulam di pasar subuh langganannya. Pelan-pelan mama membereskan, dan menutup kembali bungkusan nasi ulam. Ya, masih bisa untuk sore nanti. Kali saja, si kecil masih ngidam nasi ini.
“…Ma, nanti malam aku lembur, tidak bisa makan malam di rumah yah…., bisa jadi nggak pulang ke rumah…”, si besar sambil melilitkan dasi bercorak garis biru vertical terburu-buru sambil melihat arloji di tangannya. Sudah kesiangan untuk berangkat ke kantor. “…Wah, mama udah siapin rendang kesukaan kamu loh, Nak…” Dengan nada keceriaan, mama mencoba membujuk si besar untuk berusaha bisa tetap makan di rumah.
“..liat nanti deh yah, Ma…penting banget nih lembur kali ini, bisa dapat bonus berlipat-lipat…..aku jalan dulu yah, Ma…’
“…Makan dulu nih…”
“…Aduh, udah jam segini, Ma….bisa gawat kalau telat….”
“…Sedikit saja lah….’
“….Nggak ah, Ma…”
Si besar dalam hitungan detik sudah keluar dari ruangan yang semula bisa menjadi tempat mereka berbagi kesenangan bersama, berbagi makanan kesukaan, berbagi nasi ulam langganan mereka. Seorang wanita berdiri sambil tersenyum kecil melihat ke arah luar jalan. Mendeham sedikit, ah….anak-anakku memang sudah besar ternyata.
Semua makanan yang sudah disiapkan dirapihkan secara teratur, ada tudung saji yang sudah siap menutupnya supaya tidak ada lalat menghampiri, sekilas terlihat tudung saji bagai tirai yang akan segera menutup pertunjukkan. Pertunjukkan sudah berakhir, harus segera ditutup dengan tirai merah terang.

Adakah kekecewaan dalam rasa wanita setengah baya ini? Ketika kesepiannya ditemani oleh dentingan jam dinding, suara bajaj yang lalu lalang sibuk sekali, dan juga jarak yang memisahkan sementara dia dan anak-anaknya. Wanita ini duduk di atas kursi kesayangannya yang empuk, memejamkan mata sejenak, meregangkan kepegalan tadi pagi ketika berjalan dengan jarak cukup jauh, dan tersenyum puas ketika membayangkan anak-anaknya sudah tumbuh dewasa. Saat itu juga, ada sedikit tangisan kecil di sudut lain hatinya, aku rindu sekali anak-anakku. Aku ingin tertawa lebih riang lagi seperti waktu dulu mereka masih kecil dan seperti waktu tempo dulu mereka masih penasaran dengan segala jenis jajanan kesukaan mereka.

*********
Di sebuah ruangan ICU yang cukup besar dan terang benderang, terbaring seorang wanita dengan lilitan selang-selang diiantara lubang hidung, alat bantu pernafasan, dan juga jarum infus mungil yang melekat di sisi urat nadinya. Nafas berkejar-kejaran, di sisi kanan terlihat monitor grafik yang terus berubah-ubah. Di samping ranjang serba putih, duduk dua orang anak, si sulung dan si bungsu, menatap tak berdaya. Sudah terlambatkah kami untuk melepas rindu yang selama ini terlupakan? Jika kata maaf sudah tidak ada artinya lagi, perlukah kami mengucapkannya lagi, walau hanya sekali saja, dan terdengar samar-samar saja?

“…Kapan aku bisa makan nasi ulam lagi bersama Mama…?”
“..Kapan kita akan makan rendang andalan Mama?”
“…Kapan, Ma?...”
“…Jawab dong, Ma…”
“…Ma….Mama???..”
- terdengar pacuan suara mesin monitor jantung semakin berlomba-lomba menjad
i suara yang paling lantang -

Tuesday, June 13, 2006

Hari Ketiga

Jakarta, 13 Juni 2006

Hari ini hari ketiga diri menangis tiada henti, kejer, deras, seperti aliran lautan samudra, mulai perih rasanya, bengkak euy. Tapi ada makna yang diri ini dapat. Makna kebenaran, makna penghargaan bagi diri ini. Selama ini terlalu cuek pada diri, terlalu sibuk dengan diri lain, dan akhirnya lelah menjadi diri berbadan dua, berwajah dua, dan berjiwa dua (mungkin). Siapapun sumber kederasan air mata ini, itu tidak penting. Maknanya ada dari dalam diri ini. Bahwa ternyata diri harus lebih mengerti bagaimana cara menabur kasih dan merajut keadilan bagi diri sendiri, bukan keadilan demi yang lain. Persetan dengan rasa empati. Enyah saja kebodohan untuk menjadi simpati pada ketidakberdayaan. Kadangkala, itu semua palsu. Topeng belaka.

Walah, mulai sinis lagi nih.
Terima kasih, air mata.
Diri percaya that there must always be bless in disguise.
Seperti deraian air hari ketiga ini.
Terima kasih untuk seorang sahabat yang sangat senang bercerita, mendongeng mengenai perjalanan hidupnya, anak laki-laki kecilnya yang lucu dan menggemaskan yang mulai bertingkah aneh-aneh menjelang kehadiran adiknya yang masih ada di dalam rahim sahabatku ini.

Tadi sore, aku dan dia duduk berdampingan. Dia yang memberikan ketenangan dan keceriaan, dan syukurlah dia pun merasa tenang berada di dekatku. Ada hubungan menyenangkan di antara kami. I need her and she also does. It`s so amazing. Tidak sering aku bisa mengekspresikan deraian, selain kepada bantal setia dan wajah-wajah orang lama yang sudah bertahun-tahun mendampingiku. Selamat, dialah sahabatku selanjutnya. Sahabat adalah seseorang yang bisa membuatku tiba-tiba ingin menangis di hadapannya. Tidak menyesal dan tidak merasa bodoh sudah menangis di depannya. Terlalu indah malah bisa ditemani si wanita buncit ini. Hitungan hari menjelang cuti melahirkan dia. Bakal sepi deh. Ya, life must go on.

Kemarin kejer dengan seseorang, dengan kemampuan terapi kognitifnya, membuat kejer minta ampun. Hari ini kejer dengan seseorang yang tadinya hanya sekedar menyeletuk-nyeletuk saja, tapi ternyata dia juga ahli dengan terapi perilaku dan terapi psikologis bagi si penangis ini. Hehehehe. Asli, diri tidak menyesal tadi udah menangis dan mampir ke kostnya untuk sekedar cuci muka. Dengan foam lembut Dove, mencoba menghilangkan lebamnya mata ini.

Kalau mau blame the hormone, bisa saja, yeah, tidak disangka-sangka, air mata muncul lagi karena datangnya si M, ini sepertinya sebuah alasan dibuat-buat saja. Tetap saja, ada sesuatu yang mengaduk-aduk kondisi emosi ini, ada deraian dan derasnya segelempuk cairan, gelora, yang tidak bisa terbendung lagi. Ingin meledak, tapi tak kuasa, ingin menampung, tapi tak cukup, alhasil keluarlah segala gejolak-gejolak ini.
Selamat berjumpa lagi, hormonku, sudah hari ketiga, dan diri seperti learned helplessness dengan kondisi fisik sendiri, lucu memang, tapi this is the fact, tidak gampang ternyata untuk bisa memahami diri sendiri. Apa jadinya jika jalan terlalu berliku-liku dan diri tidak kunjung menemukan ujung jalan yang akan ditempuh dan dipijaki.

********
Benar juga apa kata Mundzir, “setiap orang sebenarnya mengalami pengulangan yang sama dalam perjalanan hidupnya, ada pola yang terus berulang terjadi dalam dirinya, entah dari masalahnya, pola pikirnya, atau bentuk kesulitan yang menyita pikiran dan energinya..” walah, bener buanget! Bukan hanya hipotesa kelas teri yang bisa diabaikan. It`s so true in my case. Kalau mau review ulang, most of my problem will end up with tears, then I will be laughing to my past tears, and vice versa.

Ada kumpulan tears yang heboh-heboh dan kalau diingat-ingat lagi kok jadi nggak peting dan nggak banget deh untuk situasi saat ini.
Pas zaman kuliah, dan jadi coordinator seksi acara, acara games lempar-lemparan telor berakhir dengan rusuh dan chaos, peserta yang sebagian besar adalah alumni, komlain habis-habisan. Di kegelapan taman, tanpa lampu (bayangkan), dan my team prepared a games oper-operan telor untuk melatih keseimbangan dan kekompakan. Huehehehe….itu games yang rada riskan dan kalau salah mengoper, telor akan pecah dan melumuri pakaian dan tangan, targetnya : supaya bau amis bagi si penceroboh. Chaos pun terjadi. Gelisah mulai datang dan panic euy. Coba untuk tenang. Tenang, tenang, ayo tenang. Dan alhasil, ngibrit juga ke balik semak-semak, dan ada tears karena kesal kenapa acaranya jadi chaos. Tears, tears, blame alumni kenapa sih nggak menghargai karya adik kelasnya sendiri, dan blame kenapa sih nggak berani tampil di depan umum untuk menjadi seorang presenter dan membawakan suasana acara menjadi lebih asoy. Nah itu tears pertama yang bisa dibahas.
Tears selanjutnya, sama juga, waktu jadi wakil ketua panitia di organisasi gue aktif. Tiap kali rapat, semua berisik nggak ketulungan, ketua pun bingung. Dan hasil tidak maju-maju. Hasil rapat stuck di satu titik dan tidak mengalami kemajuan. Di satu malam, kutelpon seorang senior, curhat abis-abisan. At that time, berpikir negatif, idih kok gitu sih bukan saling membantu malah ngegerecokkin, emang enak apa. Kalau apa suatu hari elo ngerasain di posisi gue, mateng lah yao. Ini tears kedua yang agak berlebihan juga.
Tears ketiga, pas masih bareng dua orang cowok nyebelin, satu gendut pendek belagu tapi tajir dan nggak sombong, satu lagi jangkung childish ngokar melulu tapi ternyata gue pun bisa selama 4,5 jam ngobrol sama dia di telpon. Waktu itu gue diisengin melulu dan dikata-katain, istilahnya di”bullying”, just because ada 1 lagu mengisahkan tentang seorang anak yang sayang mamanya, emosi gue meledak, tears pun muncul. Mereka berdua bengong melihat betapa hebat efek lagu kisah anak dan mama itu membuat gue berlari ke taman sekolah dan melihat papan pengumuman. Dan mohon maaf, again, gue nangis J . Lucu euy. Ini tears yang kalau diinget rasanya mau ketawa dan setiap kali nostalgia pasti ngakak gila-gilaan ampe keluar air mata.
Next is tears ketika berantem dengan seorang dosen senior yang menjadi pembimbing skripsi. Ceritanya begini, saking menggebu-gebu ingin cepet wisuda dan pergi ke negri Panda, rajin-rajin-rajin nulis skripsi, tiap malam nanya kapan dia bisa ada waktu baca skripsi itu tuh. Suatu hari, jam 3 pagi, subuh, I sent her a short message yang meminta dia untuk baca skripsi gue. Ga dibales juga. Besokannya gue nekad, gue telpon dia. Then gue dibentak-bentak ampe dia teriak-teriak, ngamuk siap cakar gue kali dan mau nerkam. Haumm….dan all night long, nangis! Gue terancam nggak lulus karena dia udah marah dan ngamuk dengan sms gue di jam 3 subuh itu. Iya sih gila juga yah. Beberapa hari kemudian, gue temui dia dan say sorry glek…nggak ketinggalan tentunya tears kesayangan gue. Dan kami pun berdamai dan sampai saat ini, she is so caring to me.
Last tears, adalah kisah 3 hari ini. Nggak nyangka oi, setiap fase kehidupan ada tears yang menemani dan melengkapi alur cerita supaya menjadi lebih perfect atau lebih greget lagi buat perjalanan hidup ini.
Ada tears lain yang seperti menjadi santapan rutin : konflik dengan orang rumah, abis itu baean, konflik dengan temen sekolah abis itu jadi sahabatan deket ampe kayak amplop dan tempelan lemnya. Lalu tears pas tau kalau cowo yang gue tunggu ampe ampir 4 tahun, udah mau nikah bo, then tears waktu ketemu macem-macem kejadian simple tapi dibuat jadi complicated, saking terinspirasi dengan kisah-kisah sedih di serial drama yang pernah gue tonton.

**********
Inspirasi, membuatku bernafas.
Nafas terengah-engah tapi pasti.
Di saat kepastian tidak kunjung datang, ada sedikit harapan.
Kali aja harapan bisa menjadi kenyataan?
Nyata sekali sekarang kalau ada keganjilan dari semua ini.
Ganjil rasanya jika belum memahami semua alur kisah yang ada di sukma dan pikiran dan logika dan juga memori ini.
Kisah akan bergulir sampai mati nantinya.
Sampai mati dan lahir kembali di kehidupan selanjutnya.
Asoy, bisa hidup lagi nanti di kalpa yang baru.
Asik, bisa menikmati gadget (mungkin?).
Dan amin, karena bisa berdetak jantung ini berkat inspirasi.
Kekuatan yang tidak ada batasnya pun akan terbatasi oleh lorong-lorong kekeruhan.
Keruhnya hati membuahkan keruhnya hidup.
Hidup tanpa alunan damai seperti makan nasi hambar tapi penuh daging.
Janjiku pada inspirasi.
Satu, kuingin mengesakan dirimu.
Dua, kuharap bisa mengadili keadaan dan menentukan keberadaban yang sesungguhnya.
Tiga, menyatukan semua sinergi ide dan kisah yang tergabung menjadi satu paket.
Empat, mana yang terbanyak dan akan dipilih untuk diputuskan?
Lima, kembali menjadi adil bagi diri sendiri.
Semboyan indah, tapi sulit terjalani.
Banyak inspirasi, banyak rezeki.
Banyak rezeki, banyak kesempatan.
Banyak kesempatan, banyak sela.
Banyak mikir, banyak mabok.
Banyak mesensi, banyak nangis.
Banyak ngeluh, banyak bocor jiwa.
Sudah malam, dewi inspirasi, ini karya di halaman ke tiga kurang, di hari ketiga tears berkumpul menjadi satu.
Siapapun sumber tears, atau apapun sumber tears, ya nggak rugi jugalah, sudah sempat mengenal ….. à (ada telpon masuk) dari sahabat terbaiknya.
- satu sahabat gue, baru aja telp, mamanya masuk ICU, ada pembuluh otak yang pecah-
**********

Monday, June 12, 2006

Selamat Datang, Angin

Minggu lalu seorang pria menikah dengan seorang wanita yang sudah dipacarinya selama hampir 5 tahun. Mereka bersanding bahagia, ada kepuasan baru terpancar di wajahnya. Puas karena berhasil berdiri di pelaminan itu.
Tahun depan di awal bulan akan ada seorang pria lain menikahi wanita pilihannya, wanita yang tidak seperti yang ia sungguh harapkan, tetapi ia akan pilih wanita itu. Wanita yang berhasil meruntuhkan benteng keangkuhan dan keakuannya. Wanita yang mampu membuatnya tenang walaupun kegetiran terus menepis dirinya.
Pria-pria yang beruntung. Wanita-wanita yang bisa menjadi dewi fortuna sesaat baginya.
Di sudut terjauh dan terselubung, berdiri sesosok kesedihan dan kekosongan, sambil menantikan keabadian yang akan menarik segala kesepian dan kegelisahan ini.
Siapapun dia? Tidak pernah ada yang tahu siapa dia sesungguhnya, hanya angin bisu yang bisa merasakan getaran apa dari sosok itu. Selamat berbahagia. Keberuntungan mungkin sekedar mampir saja atau justru akan melekat terus dalam hidup kalian. Bergegaslah, kejar, dan temukan keabadian yang sesungguhnya. Tidak semuanya bisa teraih dengan kesemuan dan keluguan.. Naifnya manusia tidak akan mengoleskan kepolosan apapun. Ketulusan bisa terhapus sekejap oleh kejamnya angin malam yang jengah dengan segala kepalsuan. Terima kasih, angin malam, kutanya siapa sajakah yang sudah kau hampiri dan kau jawab dengan ketiadaan.
Tiada lagi sepi, tapi gelisah segera datang menemani.
Tiada lagi kepalsuan, tapi topeng-topeng malam siap menghadang.
Salam. Salam. Salam. Siapapun angin itu. Ingin kutantang angin dengan sebuah kecupan manis, tanda kehidupan dari diriku.
Suatu hari angin akan datang menggurai segala ketidakberdayaan ini. Angin akan datang dan bersuara di saat yang sudah ditunggu-tunggu. Itu pasti. Pasti. Pasti.

**********
Jakarta, 12 Juni 2006

Setiap orang berhak menentukan arah hidupnya sendiri dan tidak ada seorangpun selain dirinya yang bisa mengatur-atur atau menentukan apa yang bisa membahagiakan dirinya. Setiap orang haus akan kebebasan, kebebasan untuk menentukan pilihan yang selamanya ini dibatasi oleh norma-norma dan aturan yang tidak pernah bisa ditelusuri siapa yang sudah menentukan dan membuatnya.

Jika kita sering mendengar adanya hukum alam, hukum yang sudah ada sedemikian adanya dan bukan siapa-siapa yang menciptakannya. Ya, kita harus mengakui memang sudah ada hukum alam semesta yang menyatu dalam diri kita dan tidak dapat dipungkiri, hukum ini berjalan sebagaimana adanya. Mulai dari hukum sebab akibat, lingkaran masa, dan juga serentetan jodoh yang saling tarik menarik.

Di tulisan ini, saya tidak ingin mencoba menentang adanya hukum alam yang membuat hidup terkekang dengan aturan dan hidup seperti sudah terencana dengan begitu adanya. Saya percaya bahwa setiap orang bisa merencanakan hidupnya sendiri dan bisa
menentukan ingin dibawa kemana arah hidupnya dimana. Jika manusia dikatakan sebagai mahluk individu dan mahluk sosial, suatu pandangan yang sebenarnya bertolak belakang sekali. Ketika menjadi individual, seseorang dituntut untuk bisa menentukan dirinya sesuai dengan nilai yang dipegang. Namun ketika menjadi mahluk sosial, seseorang dituntut untuk bisa menyesuaikan diri dengan norma-norma yang ada. Alhasil, kehidupan seseorang menjadi lebih condong sebagai mahluk sosial yang segalanya menjadi tergantung pada norma sosial dan aturan sosial yang ada. Apa yang akan dipilih, tidak bisa terlepas dari tuntutan sosial yang ada di luar dirinya. Apa yang terjadi, seringkali dikatakan sebagai efek dari kehidupan sosial. Dan ketika ada fenomena sosial terjadi, sisi individual kembali dungkit dan dikatakan bahwa semua masalah sosial yang ada terjadi karena tidak terlepas dari sisi individual masing-masing.

Jengah juga bukan jika segala hal ditentukan oleh orang-orang maupun situasi di luar diri kita.

*******

Sosok Bung Hatta
Tidak pernah mengeluh.
Tabah dan tegar.
Disiplin.
Kecintaan pada buku. Bahwa buku ada sumber dari segala pengetahuan dan sebuah Negara tidak bisa menjadi lebih maju tanpa sebuah buku.

********
Jika air mata menetes terlalu mudah, apa jadinya yah?
Ini adalah yang kurasakan.
Setiap malam setiap kali aku mendengar sebuah lagu, beberapa lagu lain yang sangat sedih. Alunan melodi yang sendu mampu membuatku menangis.
Jika segalanya menjadi begitu sepi dan aku mulai berlari dalam kesenduan di hati ini.
Air mata hadir menemani diriku.
Ia mencoba untuk menghapus segala kepedihan yang pernah tertoreh di dalam kulit lembut yang mulai tergores-gores irisan halus sebuah perasaan sakit.
Sulit sekali pikiran ini lepas dari segala kegalauan hati, apa iya, segalanya akan baik-baik saja?
Masih suka ragu dengan kepastian itu.
Saat ini ada lagi senandung lagu. Ada memori di balik-balik not-not sederhana yang merdu ini.
Bulan-bulan itu, kami duduk berdua di dalam dinginnya ruangan remang.
Kata per kata mengalur dari bibir kami. Tentang impian kami. Tentang harapan kami. Tentang masa lalu kami. Aku dan dia, semuanya melebur jadi satu. Saat itu.
Memori indah jadi tergambar kembali di dalam awang-awang kepeningan ini. Rindu aku dengan dia. Dia yang lucu. Dia yang selalu menciptakan kesegaran. Dia yang selalu percaya kalau segalanya akan baik-baik saja. Dia yang mencoba menyembunyikan kepiluan dan kesepiannya di balik hembusan asap tembakau yang menyengat.
Dia yang mencoba bangkit dari segala luka masa lalu. Dia yang ingin menjadi dia yang sesungguhnya, dan dia yang sepertinya masih sering terlelap dalam ketidaknyamanan dirinya sendiri dan juga ketidakpastian hidupnya.
Aku rindu. Rindu setengah mati. Di kepala ini bisa kulukiskan jelas dengan segala rona warna tentang wajahnya. Di telinga ini, syaraf-syaraf bisa meresapkan jelas tentang memori ku tentang dia.
Di malam hari sebelum tidur, dia hadir temani aku. Dia ingin dengar suaraku, aku setengah mati menantikan bisa mendengar suaranya juga. Aku benar-benar meresapi kehadirannya. Aku bahagia bersamanya, aku tenang mendengar suaranya, aku bergejolak berada di dekatnya, dan aku sakit merana terpisah jauh darinya. Dan aku tak segan jika harus berhadapan dengan kenyataan. Dia bukan untukku dan dia akan selalu menjadi sisi lain dari hidupku saja. Begitu juga diriku, aku hanya akan menjadi kepingan sepi bagi kekosongannya.

Salam kangen. Gila gue kangen banget gila ama elo!!!

************

Sunday, June 11, 2006

Too Easy To Cry

Jakarta, 11 Juni 2006

Aku terlalu mudah untuk menangis. Setiap saat aku teringat dengan kisah lama yang mengungkit masalah keluargaku, ayahku khususnya, aku bisa langsung menangis. Menangis, karena takut dan merasa terancam. Ya, hari ini aku berlari dari kamar kakakku, dan aku menangis di atas tempat tidur kamarku. Keputusanku untuk berhenti dari pekerjaan di sebuah perusahaan televisi besar memberikan tekanan yang cukup besar bagi diriku sendri.

Tidak semua orang akan bisa mengerti rencanaku kali ini, jika orang lain menginginkan kemapanan, pekerjaan kantoran yang tetap, gaji yang rutin, justru aku malah meninggalkannya begitu saja. Tidak ada masalah mendasar yang patut aku pertimbangkan sehingga melepas pekerjaan ini. Jujur kata, ini adalah intuisiku sendiri, ada ketukan besar dalam diriku, aku harus berhenti dan aku harus berani mengambil risiko kali ini. Sejak dulu aku ingin menjadi seorang penulis, jika ingin mengejar popularitasnya, aku sebaiknya mengikuti kontes kecantikan atau lomba-lomba modeling saja, tapi sudah kuputuskan aku ingin memilih jalan ini.

Beberapa hal yang sepertinya mengancamku adalah cercaan orang ketika aku nanti gagal, omongan orang, dan juga kekecewaan orang mengenai kenekadan aku ini. Dari kecil aku selalu mendengar kata-kata…”apa gue bilang….”, “apa coba…dari dulu kan gue udah bilang…”, “….see….emangnya semudah itu…”, “..udah deh nggak usah muluk-muluk, yang pasti-pasti aja hidup itu mah….”. okeh, dan apa lagi yang akan aku dengar nantinya? Saat ini aku berumur 24 tahun. Aku tumbuh menjadi seorang wanita yang ambisius, setiap tahun ada target yang ingin kucapai, ambisi tepatnya, aku ingin A, setelah A kudapat, aku ingin B, dan seterusnya seperti itu.

Salahkah aku jika aku selalu membuat ambisi baru tiada hentinya? Semakin orang mencerca, aku semakin terpacu untuk membuktikan kalau aku bukan sembarang bicara, kalau aku sungguh-sungguh dengan niatku ini. Kalau aku tidak main-main dengan apa yang kurencanakan ini. Tidak banyak yang tau dan bisa menerima betapa ambisiusnya diriku. Tapi, aku harus melakukan apa yang kuinginkan. Aku tidak akan bisamaju jika terus terpaku dengan omongan orang lain dan terus-menerus menjadi robot hidup yang dikendalikan oleh komentar-komentar orang lain yang konvensional dan lebih sering angkuh dan meremehkan kemampuanku sendiri.

Tulisan ini muncul, karena aku harus menyadarkan diriku, aku tidak boleh main-main dengan rencanaku kali ini. Aku takut malu! Itu saja. Klise, tapi itu nyata, aku harus menjaga nama baik keluargaku yang sudah bertahun-tahun diinjak dan berpuluh-puluh orang mencibir setiap kali melihat aku, keluargaku, dan diri kami dilihat setengah hati saja, tidak ada pesona berarti yang dianggap berharga untuk dilirik. So sorry, aku harus menekankan, aku bukan orang yang gila hormat, tapi aku orang yang normal dan butuh kewajaran saja kok. Aku tidak butuh pengakuan, karena aku bisa menilai dan mengakui sendiri siapa diriku. Aku pun tidak butuh belas kasihan, karena aku yakin aku bisa bangkit dengan seberat apapun kondisinya. Aku yakin, aku punya kekuatan besar dalam diriku, dan yang terpenting adalah aku punya sahabat-sahabat yang tidak pernah menjatuhkan impianku.

Setiap kali aku bermimpi, seorang sahabatku bilang…”…Ayo, jalani, kamu pasti bisa, aku yakin banget…” Ada juga sahabatku bilang, …”setelah aku lihat bertahun-tahun, aku melihat sesuatu yang besar dalam dirimu, kamu bisa mendapatkan apa yang kamu inginkan…”
Aku serius mendengar kata-kata dan komentar itu. Pernah kubaca di salah satu buku pembangkit motivasi, kita tidak boleh menyerap semua komentar yang ada di luar diri kita, karena pelan-pelan mau tidak mau, kata-kata itu akan menggerogoti diri kita, nilai diri kita, dan juga pikiran kita. Itulah yang coba kulatih saat ini.

Baru saja, kakakku meragukan aku apa iya aku bisa menjadi penulis seperti yang kuinginkan, sampai akhirnya aku melepas pekerjaan berharga ini.
“…nggak gampang, itu harus ada bakat…”
“…jadi gue nggak ada bakat maksud lo?...”, aku mulai emosi dengan apa yang kakakku ungkapkan ke aku.
“…nggak deh, ada anak SMA baru SMA udah bisa nerbitin buku, tau nggak itu kenapa? Itu karena dia ada bakat….kalau elo?...”
“…Oh…”, aku speechless, di dalam hati ada juga tersimpan sedikit ketakutan dan keraguan apakah omongan itu bisa ada kebenarannya. Aku takut!!!! Jika itu menjadi kenyataan, matilah. Aku nggak tau mau jadi apa diriku selanjutnya.

*******

Dua tahun lalu ketika kau baru saja lulus sebagai sarjana di salah satu universitas negri yang terkemuka, aku diragukan oleh orang-orang di sekitarku. Mereka, ibu-ibu glamour yang membicarakan betapa mahalnya tas mereka, betapa hebatnya anak-anak mereka yang sedang bersekolah di luar negri, dan juga betapa cerahnya masa depan anak-anak mereka. Lain halnya dengan aku, bagi mereka, masa depan aku sangat mengkhawatirkan dan mereka kuatir aku akan menjadi sarjana usang yang tidak terpakai dan menjadi orang yang tidak ada gunanya lagi.

Padahal, untuk masuk ke universitasku itu bukan hal yang mudah. Hampir satu tahun aku mempersiapkan diriku untuk bisa lolos ujian seleksi yang sangat ketat. Setiap hari Jumat dan Sabtu, pukul 14.30 aku berlari-lari memanggil bajaj dan langsung ke rumah untuk mandi dan langsung bergegas kembali berangkat ke tempat kursus bimbingan supaya bisa lolos seleksi ketat itu.

Dengan dibonceng motor, aku kerapkali tertidur, beberapa kali hampir saja terjatuh dari motor. Di dalam ruangan kelas, aku berbeda sendiri, kulit dan mataku berbeda, aku benar-benar asing dan tak jarang aku dilirik sebelah mata, seperti ada kata-kata yang ingin diucapkan…”..mau ngapain seh elo disini….tempat lo bukan disini tau…”
Kutahan diriku, kukuatkan diriku, aku harus kuat…sungguh harus kuat.

Akhirnya aku berhasil lolos dan kuliah juga di tempat idamanku itu. Tetap saja ada komentar tidak enak dan kadang tidak penting untukku. “…ih, mau ngapain sih ke situ…”, “…ih, awas ya kalau kamu salah pilih pacar….”, dan “….bahaya loh, kalau ke daerah seperti itu…” dan berbagai komentar lainnya yang tidak pernah berhenti melayang ke telingaku.

Setelah aku lulus kuliah. Ok. Komentar kembali terhujam dan aku siap dikuliahi. Kali ini kuliah yang berbeda. Isinya tidak jelas apa arahnya, bukan untuk membangkitkan, tetapi lebih untuk menakut-nakutin aku, menghujani aku dengan segepok mitos-mitos tidak penting. ‘…udah nih coba aja jadi sales di PT ini…lumayan kali gajinya….daripada nganggur gitu…”. Kulihat guntingan lowongan itu, ya ampun, lowongan menjadi sales dengan gaji sekitar 600 ribu. Sebuah penghinaan. Kurobek kertas itu. Maaf sungguh maaf, bukannya aku sombong dan belagu, teman-teman. Tidak ada masalah dengan jenis pekerjaan dan gaji ini, bukan pekerjaan rendahan karena tetap membutuhkan lulusan S1. yang menjadi beban aku adalah, caranya. Cara penyampaiannya yang ingin mengatakan padaku betapa kasihannya hidupku dan betapa kecilnya harapan aku untuk bisa menjadi orang besar di bumi ini.

Aku tidak muluk-muluk ingin menjadi manusia besar di bumi ini. Aku hanya ingin menjadi orang yang bisa membuktikan siapa diriku, apa yang kusenangi, dan apa yang ingin kupilih. Aku butuh kebebasan, aku jengah dengan penjajahan pikiran seperti itu. Mengapa orang-orang itu merasa dirinya paling hebat dan paling berguna di bumi, selain mereka, yang lain hanyalah sampah tak berguna dan selain mereka, yang lain hanyalah mahluk-mahluk yang membuat bumi ini lebih sempit saja.

Puas hatiku. Sudah dua kali aku bisa membuktikan kalau aku bisa menjadi seperti yang aku mau, dan aku bisa memilih jalan yang memang kusenangi, dan aku bisa menentukan ke arah mana hidupku akan kubawa. Bukan sebaliknya, mereka ingin mengendalikan hidupku dan pelan-pelan menaruh diriku ke bagian pojok paling belakang supaya aku tidak pernah lagi bersinar dan supaya hanya mereka dan penerus generasi mereka saja yang berhasil menjadi pusat perhatian.

Maaf sungguh maaf, jika tulisan ini sepertinya penuh dengan hujaman kemarahan, ya aku marah, baru saja aku marah, bagaimana tidak, jika ada orang lain yang mencoba mengusik hidupku dan menocba menjadi dewa dari kehidupanku, sedangkan ketika aku benar-benar susah nantinya, mereka mungkin akan berkilah dengan segala alasan. “..aduh, sorry aku juga lagi ada masalah berat….” Atau “….aduh, i`m so sorry to hear that, I wish I could help you, but I couldn’t…”.

Sudah kuputuskan dan kemantapkan langkahku, hello everybody, the glamour ladies, aku sudah mulai perjalananku, tolong jangan usik-usik langkahku kali ini.
Siapapun dia, betapa hebatpun dia, dan seperkasa apapun dia, aku tidak mau sekali-kali dia mengusik dan mencoba menyentuh zona-zona penting dalam hidupku. Tidak juga manusia-manusia yang menganggap dirinya suci dan paling benar sedunia ini. (apa iya ada orang yang paling benar di dunia ini, jika ada, tolong perkenalkan ke aku, hubungi aku di email ini yah : maeturelove@yahoo.com kalau memang ada orang-orang paling benar di dunia ini).

Yang terpenting dalam hidup ini bukanlah apa yang terlihat di mata, tetapi apa yang terjadi di balik yang sudah terjadi itu.

***********
Aha, sudah tulisan di halaman ke 4. ada satu orang yang membuatku terus optimis dengan rencanaku kali ini, yaitu seorang bapak muda, yang baru saja punya bayi berusia 1 bulan. Dia manager di kantorku dan dia pernah juga menjadi atasanku. Dia seorang penulis senior yang sangat rendah hati dan tidak angkuh. Ketenangannya kadang mengerikan. Dia jarang unjuk gigi, karena dia hanya turun perang ketika saat sudah genting saja.

Sebulan lalu, kutemui dia di ruangan kerjanya. Sunyi, dia tidak banyak bicara. Aku bilang aku akan segera berhenti dari pekerjaan ini. Dia hanya tertawa.
“..hahaha….kamu sudah tidak sabar yah dengan kondisi saat ini?...”, tak disangka itu ternyata reaksi pertamanya.
‘…mas, aku sungguh ingin menulis dan someday karyaku akan terjual berjuta-juta eksemplar….”
Dia hanya terdiam tanpa ekspresi dan dia menasehatiku dengan kebijaksanaannya. “…yang terpenting saat ini bukan bagus/ tidaknya tulisan kamu, yang terpenting adalah banyak/ tidaknya kamu sudah pernah menulis…”
Impian jangan ditaruh terlalu dangkal di dalam sebuah sumur, taruhlah lebih dalam lagi, kita menulis bukan untuk popularitas tapi lebih untuk eksplorasi siapakah diri kita dan kemanakah karya kita akan mengalir. Itu yang terpenting.

Ada kesejukan setiap kali aku melihat matanya dan dia memang sungguh bijaksana. I swear to the moon. Dia memang seorang yang hebat dan mahaguru di tahun-tahun akan datang, aku akan datang berterimakasih padanya, karena telah menjadi inspirasi terbesar dalam keputusanku kali ini.

Mari menulis…lebih dalam lagi…tidak hanya untuk sekedar oplah yang meningkat dan nama yang mencuat.

**************
Ancang-ancang. Aku sedang mempersiapkan beberapa ancang-ancang untuk melaju dengan pasti ke arena yang kutuju.
Keraguan masih sering muncul. Di malam yang dingin dan sepi, aku merenung, apa mungkin keputusanku ini akan merugikan diriku di masa mendatang.
Langkah pertama, aku butuh waktu lebih banyak untuk menulis, membaca, memperbaiki bahasa Inggrisku, dan memperbaiki kehidupan spiritualku.
Langkah kedua, aku ingin memenangkan satu pertarungan lagi, menguji kemampuan diriku, untuk bisa melanjutkan kuliah S2 ku tanpa biaya, bisa ke luar negri tanpa biaya sendiri, dan bisa menang di antara berjuta-juta kandidat yang lain. Ups, ini bentuk ambisiusitas diriku yang sangat jelas sekali.
Langkah ketiga, aku ingin menyusun kurikulum pakem di sekolah mingguku untuk menjadi bahan panduan sampai nanti aku tidak bisa lagi menjadi penanggungjawab sekolah rohani ini. Dan aku ingin merombak konsep majalah rohani yang selama ini masih amburadul, dan aku ingin mencetak penulis-penulis muda untuk menjadi tombak berharga di majalah rohani ini. Club menulis kreatif. Ya, aku akan menjadi founder sebuah komunitas penulis muda kreatif yang bisa menuangkan imajinasinya dan harapan-harapannya ke dalam tulisan. Seperti yang sudah kulakukan selama ini.
Langkah keempat, merintis usaha bisnis lembaga SDM dengan beberapa temanku dan tidak lagi sekedar berkicau mengenai idealismeku, tapi lebih bertindak dengan nyata.
Langkah kelima, lebih menikmati hidupku, tidak lagi meratapi nasib, mencoba melepas bebas diriku dari keterikatan fana dunia ini. Mencoba untuk berdiri tegak sendiri tanpa harus mengikat diriku hanya pada kesementaraan saja. Aku ingin mencoba bahagia dengan caraku yang lebih kekal dan tidak hanya mengandalkan keindahan dunia saja.
Untuk semua langkah-langkahku ini, aku akan terus mengolah diriku menjadi manusia yang maksimal. Jika Einstein bisa menciptakan rumus abadi E=MC nya, aku pun harus bisa menciptakan sebuah karya abadi yang bisa digunakan sepanjang masa nantinya untuk generasi berikutnya. Julukan Madam Mae tidak lagi sekedar angan-angan, karena sebentar lagi pasti menjadi nyata.
Terima kasih untuk pertengkaran hari ini dengan kakakku dan kebencian beberapa menit kepada seorang wanita glamour yang kukenal. Karena hal-hal yang rasanya menyesakkan, aku jadi bisa menulis hari ini sebanyak 5 halaman kurang. Kakakku yang baru saja meragukan diriku, dan baru saja bilang kalau aku sombong, karena aku kerap menangis, ketika cerita pengalamanku bekerja di gudang dan hampir tertimpa kardus berat. Aku menangis, dan ketika kakakku bingung kenapa aku jadi sewot setiap kali dia bercerita mengenai pandangannya mengenai rencana kedepanku. Argh….ternyata segala hal bisa menjadi inspirasi dan aku jadi teringat setiap kali aku baru bertengkar hebat dengan ibuku, aku pasti bisa menulis panjang dan kata-kata mengalir dengan derasnya. Dan baru saja kejadian bertengkar dengan kakakku dan di genggamanku ada buku biografi Stephen King yang berkali-kali gagal sebelum menjadi penulis. Aku memutuskan, harus segera menulis, saat ini juga!
Dan inspirasi lain, seorang pria yang sering memuji aku cantik, dan dia pun ganteng, dia sering datang di saat sepiku dan tersenyum miris melihatku dari kejauhan, dan dari bibirnya, dia bilang tanpa suara, “…kamu cantik…”. Rayuan gombalnya mampu merasuki diriku dan aku langsung terbang melayang dan hanyut dalam derasnya tulisan indah dan karya pun muncul lagi, karena dia memuji aku cantik. Dan smsnya yang sering kali mengajakku berimajinasi kalau kami berdua adalah sepasang suami istri yang sedang sibuk-sibuknya mengurus anak kami. Hanya imajinasi, tapi mampu menusuk ke kedalaman hatiku yang paling sunyi dan misterius tanpa ada kejelasan dimana titik terang cahaya yang bisa membuatnya lebih pasti dan jelas.

**********

Saturday, June 03, 2006

Searching...

Searching for the meaning of life. I`ve been searching for many years, from the beginning of high passion till I almost lose my energy, from the moment I refused to know everything about the truth till I realize how painful the story will be.

A soulmate, is someone I can lay on and I can trust on.
My husband, is my inspiration for a change, for being a tough woman, I need my husband everytime, bad times, good times, and I wish I could also be by his side everytime he wants me to be.

Writing, some people said that a writer is someone who is not afraid of being alone and lonely, used to being in a quite situation and at that time, concentrate on what he wants to create and to imagine any kind of reflection of world inside or outside.

I forgot what I want to type, right 10 minutes before I was so motivated to switch on my computer and start writing. Well, I just thought about my conversation with my boss through sms, when he asked me if I was practicing writing during my last weekend. I said no. Well, I told him how big my desire to be a writer, and he said that it`s good, you need to practice and learn from the expert one. Thank you. I really appreciate him at that moment, not like what I imagine for the real actually. I thought he just responded my desire as something simple without special meaning. But what truly happened is he made me so passionate and more confidence in respect to realize my desire, to be an inspirational writer here.

Writer writer writer…
One of an expert told me to write, nomatter you know what to write or not, just write it down, don’t just hope to be a writer, but even write a piece of paper, you can`t.